Share

BAB 4

Yudhistira ingin menenggelamkan dirinya di laut Antartika detik ini juga.

Bagaimana bisa dia bertindak impulsif seperti yang dilakukannya semalam? Meskipun dia juga tidak memungkirinya, akhir-akhir ini Julia terlalu mempengaruhinya.

Seolah tak cukup dengan tindakannya, Yudhistira selalu menghabiskan malamnya selama seminggu lebih untuk berdiam diri tanpa melakukan apa-apa di depan rumah Julia.

Seolah ada yang menarik paksa dirinya untuk tenggelam ke dalam rumitnya hubungan perempuan itu dan kekasihnya.

Menghela nafas panjang, Yudistira menyandarkan punggungnya ke belakang. Mendadak kepalanya terasa pening, bersamaan dengan seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Siapa lagi kalau bukan Bayusuta atau anggota Diamond Squad lainnya? Tidak orang yang berani melakukannya, sekalipun itu Julia.

“Kenapa lo lesu gitu?” tanya Bayusuta sembari mengangsurkan paper cup ke arah Yudhistira, seolah tahu jika pria itu membutuhkan energi untuk memulai hari ini.

“Nggak apa-apa,” ujar Yudistira dengan santai. “Gimana perkembangannya?”

“Aman. Tinggal nunggu keputusan dari pihak kepolisian saja. Tapi sebelum keputusan itu keluar, gue sih, udah memastikan kalau mereka bakalan membusuk di penjara.”

“Bagus lah. Mereka harus mendapatkan ganjaran yang setimpal atas tindakannya." Yudhistira menyesap kopinya. "Lo mau ke rumah sakit sekarang?”

“Iya. Gue mau gantiin J buat jagain si Anak Singa. Sejak semalam dia belum tidur, gue nggak mau teman gue mati gara-gara nggak tidur.”

“Sialan lo!”

“Oh, ya Dhis. Gue minta tolong hari ini gantiin meeting sama Pak Yosha, ya? Julia udah ada bilang sama lo?

"Belum."

"Ya itu tadi. Siang ini di Continental Restaurant. Asli, gara-gara masalah ini gue lupa buat ngurusin. Wait, Julia jadi belum kasih proposal sama lo, ya? Habis ini gue mampir ke Julia biar ngasih ke lo, ya?”

“Elah, harus mendadak banget gini?”

Bayusuta hanya nyengir. “Santai, Nyet. Nanti lo ditemenin sama Julia, kok. Lo tahu, kan Julia bisa diandalkan?”

Yudhistira menghela napas panjang. “Dia nggak sibuk?”

“Mahesa lagi koma, Nyet. Semua project yang kita kerjaan untuk sementara waktu ditunda. Cuma untuk yang satu ini aja, sih. Gue nggak bisa menundanya karena udah janji sama Pak Yosha, sejak berbulan-bulan yang lalu. Mahesa sudah approved, kok.”

“Ngomong-ngomong soal kantor, nyokapnya Mahesa nggak turun gunung, kan?”

Bayusuta mengedikan bahunya dengan santai. “Kayaknya yang kali ini Ibu Suri nggak bakalan ikut campur. Cuma nggak tahu ya, kalau doi berubah pikiran.”

“Ya udah kalau gitu. Lo udah pastikan bahan buat meeting-nya udah ada di Julia, kan?”

“Udah. Gue udah bilang sama dia juga kalau lo bakalan gantiin posisi gue.” Bayusuta lantas menepuk pundak Yudhistira. “Gue Cabut ya, kalau semisal ada apa-apa, kasih tahu gue aja.”

“Oke.”

Sepeninggalnya Bayusuta dari ruangannya, Yudistira mendesah pelan. Pria itu lantas melirik line telepon yang ada di atas mejanya, ragu untuk menghubungi Julia atau sebaliknya.

Bukan tanpa alasan Yudhistira meragukan dirinya. Semenjak kejadian semalam, bahkan dia sama sekali belum bertemu dengan perempuan itu.

Namun baru saja Yudhistira hendak menekan line teleponnya, suara ketukan dari luar sudah lebih dulu mengalihkan perhatiannya.

“Permisi, Pak?”

Yudhistira mengatupkan bibirnya, lalu mengerjap. “Ya?”

“Saya mau mengantarkan bahan meeting untuk siang nanti dengan Pak Yosha.”

Perempuan itu berjalan mendekati meja Yudhistira, lalu menggeser sebuah berkas ke arah pria itu.

“Oke. Pukul sebelas, kan?”

Julia menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Ya, kalau begitu permisi dulu, Pak.”

Tanpa mengatakan apa-apa Julia lantas meninggalkan ruangan Yudistira. Mendadak rasa canggung menyelimuti keduanya. Mendengar bagaimana Julia menolaknya secara terang-terangan, membuat hati kecil Yudhistira tersentil karenanya. Namun siapa yang akan menduga jika Yudhistira justru semakin ingin gencar mengambilnya.

Meskipun perasaan Yudhistira masih abu-abu, namun dia dengan sadar mengatakan semua itu semalam, dan dia sama sekali tidak menyesal.

Bukankah cinta akan datang karena terbiasa? Yudhistira pria normal, dia pasti bisa membuat dirinya jatuh cinta saat dia memutuskan untuk mengusahakan segalanya.

Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang, saat Yudhistira keluar dari ruangannya. Pria itu mengayunkan langkahnya, bersamaan dengan Julia yang sudah menunggunya di depan meja kerjanya.

“Berangkat sekarang?”

Julia mengangguk. Perempuan itu lantas meraih tas dan berkas yang ada di mejanya, lalu keduanya berjalan beriringan menyusuri koridor yang tampak tapi siang itu. Pun begitu dengan Yudhistira yang tidak tahu harus bicara apa dengan Julia.

Begitu mereka tiba di parkiran, mereka lantas masuk ke dalam mobil. Sedetik kemudian Yudhistira mulai melajukan mobilnya meninggalkan area basement, dan segera bergegas menuju Continental Restaurant detik itu juga.

Sepanjang perjalanan mobil melaju membelah kemacetan siang itu. Laju mobilnya yang lambat, tak lantas membuat keduanya saling bicara satu sama lain.

Entah sudah berapa kali Yudhistira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tidak tahu harus mulai bicara dari mana.

“Jul?”

“Iya, Pak?” Julia yang semula fokus ke depan, lantas menoleh.

“Saya nyalakan musiknya, ya?”

Julia mengangguk. “Boleh silakan, Pak.”

Yudhistira kemudian menjulur tangannya ke depan, jarinya menekan beberapa tombol yang ada di sana. Lalu tak berselang lama salah satu lantunan lagu The Beatles terdengar. Sesekali Yudhistira mengetuk-ngetukkan jarinya di atas kemudi, kemudian menoleh ke arah Julia.

“Kamu juga suka sama The Beatles, Jul?”

Merasa diperhatikan, Julia kemudian menoleh. “Hah? Gimana, Pak?”

“Saya sering nggak sengaja lewat di depan meja kamu, lalu dengerin lagu-lagunya The Beatles. Saya nggak tahu kalau kamu menyukai musik aliran seperti ini.”

“Gimana saya nggak suka, Pak? Bukannya Pak Mahesa dan yang lainnya juga suka? Bapak kebayang, dong gimana kalau kerjaan yang dikasih Pak Mahesa ke saya itu adalah minta saya ngumpulin playlist The Beatles dan diklasifikasikan per album? Saya pikir apa waktu itu, dan saya baru tahu kalau Diamond Squad menyukainya.”

Julia hanya menggeleng jika mengingat hal itu. “Dan saking seringnya saya dengerin lagu itu, saya nggak sadar kalau jadi suka sama lagu-lagunya. Not bad lah, Pak.”

Yudistira tersenyum kecil. "Jul?”

“Hm-mm?”

“Saya minta maaf, ya?”

Julia mengatupkan bibirnya. “Minta maaf untuk apa, Pak?”

“Kamu nggak lagi menghindari saya, kan Jul?" tembak Yudhistira tanpa memalingkan wajahnya dari depan.

Julia lantas mengerjap, lalu tersenyum canggung. "Nggak, kok Pak. Lagipula kenapa saya harus menghindari Bapak?”

"Saya khawatir kamu marah sama saya soal semalam. Maaf kalau yang semalam itu—”

“Bapak cuma bercanda gitu, kan Pak? Saya udah nggak memikirkannya, kok Pak. Jadi Bapak nggak usah khawatir,” potong Julia dengan cepat.

Yudhistira tak langsung menjawab. Pria itu menghentikan laju mobilnya saat lampu lalu lintas menyala merah, lalu dia menoleh ke arah perempuan itu. “Nggak, Jul. Saya nggak bercanda soal apa yang saya katakan ke kamu semalam.”

Mendengar hal itu, Julia lantas mengerjap. "Maksudnya?"

“Soal yang saya katakan ke kamu semalam, saya benar-benar dalam keadaan sadar saat mengatakannya, Julia. Saya serius, dan saya mau kamu sama saya saja.”

Julia menganga begitu mendengar ucapan Yudhistira. "Bapak tahu, kan kalau saya sudah punya pacar?"

Yudhistira menganggukkan kepalanya. "Tahu, tapi masih ada kemungkinan untuk bisa ditikung, kan?"

"Jangan bikin saya ingin menyebut Bapak orang gila, ya!" sungut Julia tampak kesal.

"Sebut saja boleh, kok Jul.” Yudhistira tertawa, sebelum kembali menginjak pedal mobilnya. “Anggap saja saya memang sedang gila. Saya lebih rela disebut orang gila, kalau itu artinya kamu mengizinkan saya merebut kamu dari dia.”

“Dasar gila!”

Beruntung tak lama setelahnya mereka tiba di Continental Restaurant. Baik Yudhistira dan Julia lantas turun dari mobil dan langsung bergegas masuk ke dalam.

Setelah mengatakan kepada petugas resepsionis, rupanya tamu yang diundang belum datang. Mau tidak mau Yudhistira dan Julia menunggu di salah satu meja yang sudah sudah direservasi mereka sebelumnya.

"Mau pesan minum dulu?" tawar Yudhistira memecah keheningan.

"Boleh, Pak. Kebetulan saya juga haus."

"Kenapa nggak bilang kalau haus, kan bisa pesan duluan, Julia."

"Biasanya nggak dibolehin, Pak," tanya Julia sedikit heran.

"Emang kenapa nggak ngebolehin?"

"Pak Mahesa Yang Maha Benar lah, siapa lagi? Saya tuh, gampang haus, Pak. Apalagi udara Jakarta panas begini. Kalau meeting di luar sama Pak Mahesa itu paling malesin, mesti nunggu kliennya dulu baru boleh pesan. Jadinya, ya saya suka nyolong-nyolong minum di toilet."

"Minum air keran wastafel maksud kamu?"

"Eh, bukan. Maksudnya saya pesan mineral water, terus saya bawa ke toilet, Pak."

Yudhistira sontak tergelak. "Astaga, Jul. Sampai sebegitunya Mahesa?”

“Iya, Pak. Mr. Perfectionist paling nyebelin sedunia, tapi juga malang sekarang!”

“Meeting sama saya, kamu boleh pesan minum sekarang, kok. Kamu mau pesan apa?”

Yudhistira lantas melambaikan tangannya ke arah waiter, lalu meminta Julia memesan minuman lebih dulu.

"Bapak sekalian?" tanya Julia saat menggulirkan halaman menu yang ada di tangannya.

"Boleh. Saya mineral biasa saja satu."

“Saya juga, deh.”

Tak lama setelahnya, minuman yang dipesan mereka akhirnya tiba di meja. Julia mengangsurkan satu botol minuman ke arah Yudhistira, baru kemudian dia meraih miliknya sendiri. Namun, Yudhistira yang kini tengah membuka botol minuman itu lebih dulu, kemudian mengangsurkannya ke arah Julia. Baru setelahnya Yudhistira meraih botol yang ada di tangan Julia. Dan tindakan pria itu sejenak membuat perempuan itu tertegun.

“Sebenarnya project dengan Pak Yosha ini sudah sampai tahap final saja, sih Jul. Jadi kayaknya meeting nggak bakalan lama,” ujar Yudhistira, pria itu lantas meneguk air mineral itu langsung, tanpa menggunakan gelasnya.

“Jul?”

Baru sedetik kemudian Julia mengerjap. “Ya? Em… iya maksudnya, Pak.”

“Lagi mikirin apa, sih?”

“Ng… nggak ada, kok Pak.” Cepat-cepat Julia menuangkan mineral water itu ke dalam gelas.

"Kamu lucu," kata Yudhistira tiba-tiba “Maafkan saya, ya?”

“Maaf soal apa lagi ini, Pak?” tanya Julia dengan mata memicing.

“Maaf kalau setelah ini saya akan berusaha keras untuk merebut kamu dari dia. Jadi… jangan lengah, ya?”

Mendadak kepala Julia terasa pening, ingin rasanya dia mengumpati Yudhistira detik ini juga, namun kehadiran tamu yang ditunggu mereka, sudah lebih dulu menghentikannya.

Julia ikut bangkit dari duduknya, lalu bersalaman dengan Yosha. Namun tubuhnya mendadak kaku, begitu Julia sadar bahwa tamunya datang bersama orang lain yang cukup familiar baginya.

Dengan cepat Julia menundukkan wajahnya.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status