Share

Bab 4

Karin diam termangu dengan kepala mendongak, ingin tahu seberapa tinggi gerbang besar yang ada di depannya saat ini. Gerbang merah pembatas kehidupan antara kaum bangsawan iblis yang hidup abadi dengan warga Alfansa yang menggantungkan perekonomian pada bangsawan iblis. Tak ada satu pun warga Alfansa biasa yang bisa memasuki gerbang ini, selain hanya mereka yang terpilih seperti Karin.

Ayahnya dulu pernah bercerita mengenai siapa saja yang ada di balik gerbang merah ini. Para warga biasa yang bekerja disana karena memiliki kemampuan yang mumpuni ataupun para gadis calon pengantin bangsawan iblis. Para bangsawan itu memiliki kekuatan luar biasa dan hidup abadi, namun hanya satu kelemahan mereka. Tidak bisa bereproduksi dengan sesama. Jadi mau tak mau para bangsawan itu harus mencari calon pengantin dari warga Alfansa.

Gerbang merah itu perlahan terbuka, dan di depannya Karin bisa melihat ribuan gedung tinggi dan juga pemandangan kota yang tak kalah indah dengan kota Alfansa.

"Bangsawan Bagaskara tidak membedakan wargany,." bisik James ketika dia membaca pikiran Karin.

Karin juga melihat para bangsawan iblis berlalu lalang dan semua orang tampak biasa seperti kebanyakan warga Alfansa. Jika saja dunia mereka tidak dipisah, mungkin Karin tidak bisa membedakan yang mana warga Alfansa biasa dan mana bangsawan iblis.

"Dimana Katon?" tanya Karin sambil berjalan melihat sekeliling.

"Tuan Katon sedang banyak urusan," jawab James sopan. Dia mempersilahkan Karin untuk kembali masuk ke dalam mobil.

"James, ibuku akan baik-baik saja kan?"

"Tentu. Kamu bisa mengunjunginya setahun sekali, tapi hanya melihatnya dari jauh,"

jelas James. "Setelah kamu menikah nanti, kamu bisa meminta para anjing Tuan Katon untuk menjaga ibumu."

"Anjing? Jadi anjing yang waktu itu menolongku adalah anjing Katon?"

"Iya. Tapi aku turut menyesal atas kepergian Albert."

Karin meraba leher belakangnya, "Apakah tato di leherku ini inisial Katon?"

James melirik Karin dari balik spion tengah. Dia tersenyum kecil.

"Aku tak menyangka Tuan Katon bisa begitu sopan. Biasanya bangsawan yang lain membuat tanda itu di tempat sensitif calon pengantinnya."

Karin mengerutkan dahi tanda tak senang, "Tanda apa ini? Kalian kira kami hewan peliharaan?"

"Bayangkan saja jika tanda itu tak ada, Karin."

"Ya! Kalau tanda ini tak ada aku bisa bebas sekarang."

"Kalau tanda ini tak ada, para anjing tak bisa menjagamu. Mereka selalu mengawasi di belakangmu dan menyerang saat dibutuhkan."

"Aku tidak suka tato ini!" Karin membuang muka, kesal kepada Katon namun dia lampiaskan pada James.

"Sekarang kita mau kemana?"

"Kita akan menuju asrama sekolah wanita Sofia."

"Kenapa?"

"Bukankah kamu tetap perlu sekolah? Kamu akan tinggal disana sampai hari pernikahanmu tiba."

Karin tak menanggapi. Semua hal yang terjadi sungguh berjalan dengan sangat cepat hingga setiap helaan nafasnya bisa berarti bagi hidupnya. Semua kemalangan dan ancaman yang dia alami dalam hidup, yang kebanyakan wanita menyukainya karena dikejar oleh banyak lelaki justru menjadi mimpi buruk bagi Karin. Dia lebih memilih menjadi perawan tua daripada harus kehilangan ayahnya dan menikahi orang yang tidak pernah dia temui.

"James!" Terlihat seorang wanita berlari memeluk James saat dia keluar dari dalam mobilnya. Karin membuka sedikit kaca mobil untuk menguping pembicaraan mereka.

"Pengantin Katon sudah tiba? Mana dia?" Wanita paruh baya itu tampak sangat penasaran ingin bertemu Karin. James menoleh ke belakang dan dengan isyarat mata menyuruh anak buahnya membuka pintu untuk Karin.

Wanita paruh baya itu ternganga sambil memegangi kedua pipinya saat melihat Karin. Matanya berbinar senang dan bahkan dia sedikit berseru.

"Kamu pengantin Katon? Sungguh cantik sekali!" serunya seraya meraih tubuh Karin.

Karin merasa terjerembab kaget.

"Pantas saja Katon memilihmu! Perkenalkan, aku Nyonya Wina, kepala asrama disini."

"Karin Nevada." balas Karin singkat namun tak mengindahkan tawaran jabat tangan dari Nyonya Wina.

"Karin, barang-barangmu sudah ada di kamar dan selanjutnya kau aku serahkan pada Wina," James pamit, tak lupa menepuk bahu Karin untuk bersabar. Bukannya senang, Karin justru mendengus kesal tak mengerti kenapa dia harus bersabar dengan semua ini.

Nyonya Wina mengantarkan Karin menuju kamarnya yang ada di lantai 3 di ujung selatan. Karin mengitari pemandangan sekeliling asrama dan mulai merasa sedikit aman karena ternyata dunia para bangsawan sama saja dengan dunianya.

"Ini kamarmu," Nyonya Wina menyerahkan kunci pada Karin.

"Sendirian?"

"Tentu saja! Bagaimana Katon bisa menemuimu kalau ada orang lain sekamar?" Nyonya Wina melambaikan tangan dan berlalu pergi.

Tinggallah Karin yang masih ragu untuk masuk namun tak ada pilihan lain. Dia masuk ke dalam kamarnya dan betapa terkejut saat tahu kamar itu amat sangat mirip dengan kamarnya di rumah. Bahkan di meja belajarnya terdapat foto dia dan ayahnya semasa kecil. Karin bersimpuh tak kuat lagi membendung tangisnya. Andai saja ayahnya masih ada disini, dia tidak akan merasakan penderitaan ini. Pasti ayahnya akan berjuang sekuat tenaga untuk mencegah Karin datang ke sini.

* * *

Nyonya Wina sudah menyiapkan seragam sekolahnya yang baru beserta peraturan tertulis di asrama yang tercetak dalam selembar kertas. Bahkan tanpa diminta Nyonya Wina sudah menempelkan kertas peraturan itu di dalam kamar Karin. Sepertinya wanita itu tak suka ada yang membangkang dan melanggar aturan.

Jam 7 setiap siswi wajib sarapan pagi di kantin asrama bersama-sama dengan menu yang berbeda setiap harinya. Hari ini adalah hari Senin, dimana untuk sarapan kantin menyediakan sandwich isi telur, salad sayur dan segelas susu soya. Karin memandangi makanannya tanpa selera.

"Mau sampai kapan dilihatin terus?" tegur seorang siswi yang duduk tepat di samping Karin.

Siswi itu tersenyum dan semakin mendekatkan posisinya pada Karin, "Hai, aku Tanya. Kamu pasti murid baru ya?"

Karin mengangguk enggan menjawab.

"Kalau boleh tahu, kamu pengantin siapa?"

"Kamu nggak boleh tahu," jawab Karin singkat.

Tanya mengangkat alis, tak menyangka akan mendengar jawaban yang culas dari Karin. Namun sedetik kemudian dia tertawa.

"Kamu malu dengan calon suamimu? Ayolah, walaupun calon suamimu hanyalah bangsawan kelas rendahan, tapi kamu tetap pengantin bangsawan iblis," tawa Tanya. "Dibandingkan hidup sebagai warga biasa, tentu derajatmu lebih tinggi."

"Aku lebih suka jadi warga biasa," balas Karin singkat. Dengan sorotan matanya dia mengisyaratkan pada Tanya bahwa dia tidak ingin diganggu.

"Oke, baiklah. Terserah kamu," Tanya sepertinya mulai kesal, karena dia menggeser tubuh menjauhi Karin.

Bel berbunyi, tanda sarapan sudah selesai dan waktunya mereka berangkat ke sekolah. Malam hari sebelumnya Nyonya Wina sudah bercerita panjang lebar pada Karin mengenai sekolah yang akan dia jalani nanti. Dia akan berada di sebuah sekolah bernama Sofia dimana seluruh pemuda bangsawan iblis berkumpul serta mengenal calonnya lebih jauh. Namun di tengah perjalanan, bisa saja bangsawan iblis memutuskan untuk tidak menikahi calon pengantinnya. Dan itu mengakibatkan si calon pengantin iblis menjadi seorang free agent, dimana jika dalam setahun dia tidak menemukan calon suami pengganti, maka dia harus mati.

Dan Karin mendapatkan jawaban dari Nyonya Wina bahwa ada satu orang calon pengantin seusianya yang telah dibuang oleh calon suaminya. Orang itu adalah Erna, mantan teman satu sekolah dengan Karin. Maka hari ini misi Karin adalah menemukan Erna karena hanya dialah satu-satunya orang yang tinggal satu wilayah dengan Karin saat di Alfansa.

"Hai!" tegur seseorang tiba-tiba saja menepuk pundak Karin.

"Kamu murid baru?" tanyanya dengan wajah sumringah.

"Ya."

"Kenalin, aku Dewi," Dia memperkenalkan diri tanpa diminta. "Kamu tahu Tanya?" Dia menunjuk sosok Tanya yang berjalan tak jauh di depan mereka.

"Ya, kenapa?"

"Dia cewek paling populer dan paling beruntung di angkatan kita. Dia calon pengantin Katon Bagaskara."

"Katon?!" Karin berseru tanpa sadar.

Dewi mengangguk yakin. "Iya, dia bilang gitu ke semua orang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status