Revan sungguh tidak menyangka, tadinya ia sungguh yakin jika Valeria adalah wanita yang menghabiskan malam bersamanya saat itu. Tapi, tiba-tiba semua firasatnya terbantahkan oleh pengakuan Laura. Entah kenapa mengetahui bahwa wanita itu adalah Laura, ia sedikit kecewa.Revan segera melepaskan cengkeramannya pada Laura lalu berkata, "Baiklah aku mengerti."Laura terlihat terkejut melihat Revan yang kembali melepaskan dirinya, "Anda tidak ingin bicara atau membahas apapun tentang malam itu?""Kita bicarakan ini lagi nanti,"Laura hanya melongo mendengarnya. Apa-apaan ini? Kenapa semuanya sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan? Padahal ia sudah mengaku bahwa ia adalah wanita itu, tapi kenapa Revan sama sekali tidak terlihat senang?"Tapi Pak, saya–""Kita bicara lagi nanti, silahkan keluar."Laura seketika terperangah, namun melihat sorot mata Revan yang menusuk ia segera membuka pintu ruangan atasannya itu lalu beranjak pergi. Laura menggigiti jari jemarinya dengan seba
"Anda mengatakan sesuatu Pak?" tanya Valeria saat mendengar gumaman kecil Revan.Revan yang masih tersenyum seketika merubah wajah datarnya, kini ia sudah menemukan wanita itu, ia harus bisa mengkonfirmasinya dari mulut Valeria sendiri."Tidak, tidak ada. Sepertinya kamu salah dengar,""Ah begitu, saya akan membawa berkas-berkas ini.""Tunggu sebentar, Valeria."Valeria tersentak saat Revan tiba-tiba bangkit lalu mendekat ke hadapannya. Wajah mereka sangat dekat hingga membuat Valeria merasa gugup seketika."Ada apa, Pak?""Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudku di luar kantor?"Mata Valeria melebar sempurna mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Revan. Apa Revan menyadarinya? Apa pria itu tahu bahwa mereka pernah bertemu di suatu bar?"Kenapa Anda bertanya seperti itu?" Tanya Valeria dengan gugup."Entah kenapa kamu terlihat mirip dengan seseorang yang saya temui di suatu bar."Mendengar hal itu Valeria segera mengibaskan tangannya dengan cepat, "Saya ini wanita rumahan Pak,
Jawab saya Valeria."Revan semakin mendekat, wajah mereka begitu dekat hingga Valeria menjadi semakin gugup."Jawab saya atau saya bisa melakukan hal yang tidak bisa kamu bayangkan."Valeria kembali tersentak saat wajah mereka hanya berjarak tinggal beberapa inchi saja."Itu adalah milik saya!" Teriak Valeria kuat saat Revan terus menekan dirinya. Bibir Revan hampir saja menempel jika Valeria tidak segera bertindak. Valeria tersentak saat sebuah senyuman lebar terlihat di wajah Revan Mahendra."I got you. Akhirnya kamu mengaku."Mata Valeria melebar sempurna mendengar ucapan Revan, kepalanya mulai mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi."Bapak menjebak saya?""Saya harus melakukan itu karena kamu selalu menghindar."Valeria seketika terperangah, dengan kesal ia mendorong tubuh Revan dari hadapannya, "Bapak tidak perlu melakukan hal ini untuk membuat saya mengaku, saya pasti akan mengganti kemeja Bapak," lanjut Valeria dengan nafas terengah-engah."Apa?""Bapak membuat keributan k
Valeria yang melihat Laura yang ditarik oleh Erik segera menahan mereka."Ada apa ini?""Ini semua gara-gara kamu, Valeria! Gara-gara kamu!"Valeria terlihat mengerutkan dahinya mendengar teriakan Laura. Namun, belum sempat ia kembali bertanya, Erik terlihat menahan dirinya, "Sebaiknya kamu jangan terlibat, ini keputusan Pak Revan,"Valeria hanya bisa terperangah tidak mengerti. Belum selesai dengan kebingungannya, ponselnya yang berada di dalam saku bajunya bergetar dengan kuat. Valeria segera melihat pesan itu, matanya seketika melebar sempurna melihat siapa yang mengirimkannya, Revan Mahendra."Temui saya sepulang bekerja."Valeria menggigiti jari jemarinya lalu merutuk kuat. Gawat! Revan pasti akan kembali mengungkit pembicaraan mereka tadi. Apa yang harus ia lakukan?Maka sebelum Revan keluar dari ruangannya, Valeria segera melesat keluar dari bilik kerjanya lalu memasuki lift. Sesampainya di sana, Valeria terlihat menghela nafasnya panjang, berpikir bahwa Revan tidak mungkin men
Besoknya Valeria segera bergerak menuju ke ruangan Revan. Emosinya yang belum terkontrol oleh tindakan keluarganya membuat Valeria tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia segera mengetuk pintu ruangan Revan dengan terburu membuat Revan yang sedang melihat suatu berkas seketika mengangkat wajahnya."Saya ingin bicara soal penawaran Anda kemarin, Pak,""Setelah kau menghindariku berkali-kali ketika aku ingin bicara, sekarang kau yang menawarkan diri sendiri untuk bicara denganku. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa itu karena kejadian di restoran saat itu?"Valeria terhenyak mendengar ucapan Revan yang tepat sasaran. Tidak ingin menjelaskan lebih detail tentang Rio dan Lucia, Valeria segera berkata, "Itu tidak penting untuk kita bahas, yang pasti saya butuh Anda untuk datang ke acara pernikahan mereka yang sepertinya akan diadakan tidak lama lagi.""Wah... Jadi mereka sudah akan menikah? Sepertinya pria itu sudah mengambil keputusan untuk membuangmu. Sebenarnya apa hubunganmu dengannya? Apa
"Mana mungkin, sepertinya Kak Rio salah memberikan kartu kepadaku. Sebentar aku akan bertanya padanya." balas Lucia.Valeria mengangguk, ia terdiam di samping Lucia menunggu adik tirinya itu menelpon Rio. Saat samar-samar ia mendengar suara operator yang mengangkat panggilan Lucia, Valeria hampir saja tergelak. Lucia terlihat menggerutu dengan kesal karena panggilannya terabaikan. Lihat, bukan? Baik Lucia ataupun Rionandra sepertinya mereka banyak beromong besar saja."Bagaimana, Lucia sayang?" ujar Valeria dengan nada sindiran yang masih melekat."Kak Rio sepertinya sedang meeting penting di kantor, aku tidak seharusnya menggangu. Aku akan membeli gaun ini lain kali," balas Lucia dengan tergeragap.Mendengar ucapan Lucia, pegawai yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Lucia yang angkuh segera berkata, "Tidak bisa, Anda sudah berjalan kesana kemari dengan gaun itu sejak Anda mencobanya, saya khawatir gaun itu akan kotor,""Saya akan membelinya sebentar lagi, kenapa harus ribut sih?
Mata Valeria seketika melebar sempurna mendengar ucapan Revan di hadapannya. Cium? Gila! Kenapa harus ada pilihan seperti itu?"Bapak jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan ya!" tukas Valeria tidak senang.Revan terlihat mengulas senyumnya, "Kenapa? Bukankah kita pernah melakukan hal yang lebih dari ini? Kau tidak mau mengulanginya?"Wajah Valeria sudah memerah. Memang mereka pernah melakukan hal yang lebih dari itu sebelum ini, namun itu saat ia sedang mabuk. Sekarang, ia merasa sadar sepenuhnya, bagaimana mungkin mereka bisa mengulangi hal-hal yang begitu intim seperti itu dengan atasannya sendiri?"Tidak, sama sekali tidak!""Kau mau atau tidak, aku akan tetap melakukannya."Valeria seketika tersentak mendengar ucapan Revan. Ia memejamkan matanya dengan cepat ketika wajah Revan semakin mendekat kepadanya.Melihat Valeria yang terpejam, Revan tertegun melihatnya. Wajah cantik itu membuatnya benar-benar gemas.Tuk!"Aww!"Valeria meringis saat merasakan pukulan kecil di keningn
"Aish... Berisik!" umpat Valeria sebal saat mendengar bunyi ponselnya yang berdering dengan teramat nyaring. Karena kejadian sore hari bersama Revan yang begitu mengejutkan, Valeria sampai tidak bisa tidur. Kepalanya terus saja dipenuhi oleh bayangan Revan hingga ia merasa sangat frustasi. Kini saat ia baru tidur beberapa jam ponselnya tiba-tiba berdering. Ini adalah waktu liburnya, sebenarnya siapa yang menelepon dirinya dan mengganggu dirinya yang baru terlelap?Valeria sudah menutup telinga dengan bantal, berharap siapapun yang meneleponnya itu akan menyerah. Namun rupanya pemikirannya salah, hingga deringan ke empat, deringan ponselnya tidak mau berhenti. Astaga.Dengan sebal, Valeria segera meraba-raba nakas mengambil ponselnya yang tergeletak, tanpa melihat siapa yang meneleponnya, Valeria segera mengangkat panggilan itu dengan mata setengah terpejam."Ha-llo? Anda bisa menghubungi saya nanti, saat ini saya sangat mengantuk, jadi–" gumam Valeria kecil."Valeria? Kamu masih tidur