Kara lantas melangkah cepat menuju lift. Ia ingin segera pulang, karena tak mau lagi berada satu gedung dengan Barra.Tak peduli dengan Jack yang masih belum ia kabari, wanita itu nampak sangat tak tahan dengan situasi yang amat membuat hatinya berkecamuk ini. Kara ingin segera menyendiri di rumah, tanpa harus melihat Barra tepat di hadapan wajahnya lagi."Tunggu, Kara!" Barra berhasil menghadang langkah kaki Kara yang amat tergesa-gesa. Netranya masih terarah pada Arka yang terus menangis di dalam gendongan wanita tersebut. Hingga akhirnya setelah berhasil menarik napas dan menenangkan diri, ia maju selangkah dan menatap penuh memohon padanya."Biar aku tenangkan Arka lebih dulu, setidaknya sampai dia berhenti menangis," ucap pria itu rendah yang seketika membuat dua alis Kara tertekuk dengan dalam."Tenangkan?" ucapnya membeo seraya menggeleng cepat kemudian. "Tidak usah dan tidak perlu, Barra! Aku tentu bisa sendiri menenangkannya sendirian, karena akulah bundanya!"Setelahnya Kar
"Huwaaa! Bunda! Bunda jangan marah-marah lagi! Arka takut!"Kara mendesah lelah, ketika tangis Arka semakin meledak setelahnya. Ia sungguh tak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi sekarang, padahal sebelumnya Arka sangat jarang sekali menangis meraung-raung seperti ini."Bunda enggak lagi marahin kamu, Sayang," ucap Kara pelan sambil mencoba menimang sang anak dan sesekali mengecup ujung kepalanya.Namun sayangnya bukan berhenti Arka malah bergerak memberontak. Tanpa Kara sadari satu tangan mungilnya terulur ke arah Barra. Hingga pria itu langsung segera membalasnya dan menggenggam erat jari jemari mungil tersebut, meski Kara berulang kali bergerak menjauhinya."Arka mau sama om?" Barra akhirnya mengajak langsung Arka berbicara saja. Kalau menunggu persetujuan Kara, itu tentu terlalu lama. Wanita tersebut pasti tidak akan memberikan izin untuknya, karena masih merasa sangat kesal padanya."Mau! Hiks! Hikss! Arka takut sama Bunda!"Kara lemas setengah mati mendengarnya. Ia sama seka
"Jack!"Napas Kara tercekat, tepat ketika ia melihat siapa sosok yang tiba-tiba datang menghadang dengan sebuah motor yang entah punya siapa jelasnya.Untuk yang pertama kalinya, seluruh tubuh Kara benar-benar sangat membeku. Dirinya tak tahu hendak menjelaskan seperti apa pada Jack nanti, karena pastinya pria itu akan sangat marah jika saat ini mengetahui keberadaan Barra yang sedang bersamanya satu mobil.Ah, lagipula kenapa hal ini harus terjadi?! Kara tak mau membuat dia pria dewasa tersebut kembali ribut, apalagi saat ini keadaannya masih dijalan bersar yang lumayan cukup ramai."Biar aku yang turun!" Barra berucap, seraya langsung menyerahkan Arka yang sedang ada di dalam dekapannya ke Kara begitu saja. Lidah wanita itu terasa kelu tak dapat membicarakan semua kata-kata yang ada di dalam otaknya, sehingga alhasil Kara tak sempat melarang pria tersebut untuk keluar lebih dulu.Bughhh!Sebuah pukulan kencang langsun
Bughhh!Nampaknya Kara terlalu terlambat untuk memperingati, hingga sedetik kemudian tubuh Jack langsung jatuh tersungkur dengan mulut yang mengeluarkan rintih kesakitan yang amat memilukan."Barra! Stop! Sudah cukup!"Kara segera menghampiri Jack yang sudah tergeletak di bawah. Ia menggeleng sesaat ketika melihat sekilas ke arah Barra, hingga setelahnya langsung mencoba membantu Jack untuk kembali berdiri dengan sekuat tenaganya."Kau sudah terlalu keterlaluan, Barra!" ujar wanita itu kembali, dengan menatap sinis pria yang wajahnya juga sebenarnya tak jauh babak-belur dari Jack.Barra menggeleng tak menyangka mendengarnya. Tidak mungkin jika Kara tak melihat kejadian yang sebenarnya. Ia tahu seperti apa rasa empati wanita tersebut, sehingga dirinya cukup terkejut juga dengan tanggapan yang seperti ini.Sungguh, Barra sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Kara yang sekarang. Padahal pada kenyataannya sedari awal tadi dir
"Jangan sembarang mengakui, Barra! Ingat, aku belum pernah mengatakan siapa ayah kandung anakku padamu!"Kara berbicara dengan lantang, meski terselip sedikit rasa getar di sana. Ia berusaha kuat untuk sekali lagi mengahadapi Barra, walau pada kenyataan yang sebenarnya sedang merasa sangat takut kehilangan Arka dari sisinya.Mau ditutupi seperti apa pun, Kara yakin lambat-laun Barra pasti akan mengetahuinya. Terlebih sedari awal pria tersebut sudah sangat menyakini hal itu, meski dirinya telah berusaha sebisa mungkin untuk tak mengakui apa pun di hadapannya."Aku yakin kau tahu apa alasanku bisa seyakin ini, Kara! Bukankah sedari awal kita bertemu untuk yang kedua kalinya kita sudah membahas masalah ini? Jadi, rasanya kita tidak perlu mengulanginya lagi sekarang."Barra berucap, membuat Kara semakin kesulitan membasahi tenggorokannya sendiri. Lama-kelamaan, jantung wanita itu berpacu dengan cepat. Kara merasa sangat takut dan khawatir, apalagi saat ini tatapan pria tersebut semakin me
"Jack? Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"Dari sekian banyak waktu, akhirnya Kara memilih bertanya pada detik ini. Ia terlihat sedikit ragu, apalagi pria yang baru saja makan di hadapannya ini tak langsung menjawab pertanyaannya."Maaf, Kara. Aku terlalu menikmati mie instan buatanmu! Sungguh, ini rasanya benar-benar sangat enak!"Kara tersenyum menanggapinya. "Biasa saja, Jack. Jangan terlalu berlebihan. Semua rasa mie instan memang seperti ini, mungkin karena tadi kamu tiba-tiba saja lapar ketika kita bicara tadi? Sehingga, rasanya jadi terasa lebih enak.""Ah, benarkah? Aku sebenarnya lupa, karena rasanya sudah lama sekali tak makan mie instan seperti ini!" Jack mengaku, seraya menguyah suapan terakhirnya.Kara menggeleng sambil tertawa sekilas. Ini memang cukup aneh, akan tetapi tak begitu aneh kalau sosok tersebut adalah orang kaya berkelas seperti Jack."Sudah? Apa mau aku masakan lagi, Jack?" tanya Kara seraya menatap sekilas sebuah piring yang kini isinya sudah tandas diha
Seperti apa yang telah direncanakan, kini Barra menunggu di sebuah taman pinggir kota untuk bertemu dengan Kara. Ia sengaja memilih tempat ini sebelumnya, agar nantinya Arka bisa senang bermain dengan bebas di tengah hamparan rerumputan dan juga beberapa alat permainan yang cukup aman."Hufftt! Aku benar-benar tidak sabar menunggu mereka berdua!" Barra bergumam sambil terus menoleh ke kanan dan kirinya.Jujur, pria itu memang sudah rindu dengan anak kecil yang tadi siang sempat menangis di dekapannya. Walau Arka masih terlihat kesal dengan dirinya, Barra masih tetap bisa merasa yakin kalau sosok mungil nan menggemaskan tersebut masih mempunyai rasa sayang yang sama sepertinya.Tak ada satu pun sudut tempat yang pengusaha muda itu lewati dengan pandangannya. Ia menyisir semua lokasi dengan semangat yang sangat menggebu, sambil sesekali melirik ke arah deret angka yang ada di jam digital mahal miliknya."Sudah lama menunggu?"Degghh!Barra sedikit terkejut, ketika mendengar suara seoran
Aroma obat-obatan, seketika langsung menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Kara. Wanita itu kini nampak begitu lunglai menatap sang anak, yang entah kenapa tiba-tiba bisa terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan dan demam yang cukup tinggi hingga membuatnya tak bisa benar-benar tidur dengan pulas.Selepas menghadiri acara peresmian jabatan Jack kemarin, Arka memang sempat sangat rewel hampir dua harian ini. Anak kecil itu sempat menangis lama dan terus menangis setelah berada di rumah, hingga kemudian Kara menyadari tubuhnya yang sedikit panas dan tak ingin makan dan minum apa pun yang telah diberikannya."Cepat sembuh ya, Sayang? Bunda tidak bisa melihatmu berlama-lama seperti ini," lirih wanita itu pelan dengan netra sembab yang entah dari kapan sudah mengeluarkan air mata lagi.Panik? Ya, itu tentu jelas! Kara sangat khawatir karena anak lelakinya, karena sebelumnya Arka sangat jarang seperti ini. Biasanya,