"Nai.""Hm?" Rinai bergumam pelan, tanpa menoleh ke arah Rafko yang berdiri tepat di belakangnya.Tampak ragu, tapi akhirnya Rafko menceritakan apa yang baru saja ia temukan di layar gawainya. Sembari mengarahkan portal berita yang sejak tadi ia baca. "Angkasa ditemukan tewas di kamarnya," jelas Rafko.Awalnya Rinai terlihat enggan untuk mengamati layar ponsel yang Rafko sodorkan ke arah matanya, tetapi kalimat sepupunya itu berhasil menyita perhatian Rinai hingga dia bergerak refleks untuk meraih benda pipih itu dan menggulir layarnya.Keningnya mengerut, lantas menggigit ujung bibirnya berulang kali. Jemarinya terus mencari-cari berita yang berkaitan dengan insiden tersebut."Pihak kepolisian sudah menyatakan kalau Angkasa bunuh diri, tapi beberapa rumor aneh juga lagi beredar di Indonesia."Rinai mengangkat wajahnya, menatap Rafko dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya.Seolah tahu maksud dari tatapan itu, Rafko pun segera mengatakan, "Ada rumor yang mengatakan kalau Angkasa se
Tiga tahun telah berlalu…"Jangan takut membuka hati hanya karena masa lalumu. Trauma bisa dipulihkan, jadi jangan abaikan orang-orang yang ingin mendekatimu hanya karena ketakutanmu mengulang kisah pahit di masa lalu."Rinai tetap fokus pada layar laptopnya, mengabaikan pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya—bahkan, berada di sisinya puluhan bulan terakhir."Rinai… semua orang ada masanya, setiap masa, pasti ada orangnya. Kamu pernah dengar itu, kan?" bisiknya lagi meksipun dia tahu, Rinai akan tetap mengabaikannya. "Nai, biarkan aku menjadi orang yang akan menghapus jejak-jejak luka di hatimu. Siapa tahu, akulah orang yang dijadikan Tuhan sebagai jawaban dari doa-doa yang selalu kamu minta."Suara tawa Rinai memecahkan keheningan yang sedari tadi berusaha diciptakan olehnya. Beberapa kali pukulan pelan melayang ke lengan lelaki yang ikut terkekeh melihat bagaimana kedua mata Rinai terpicing karena tawanya. Meskipun berulang kali menyatakan cinta, dan berulang kali juga diabaika
"Nai…" Langkah Sambara terhenti di ambang pintu masuk hotel mewah, tempatnya akan bertemu klien penting hari ini. Tangannya bergerak cepat menahan pergelangan Rinai, lalu tersenyum bimbang ke arah perempuan yang justru mengerutkan keningnya dengan heran. "A—aku boleh minta tolong, nggak?""Hm? Kenapa? Tolong apa?" balas Rinai dengan balik bertanya. "Kamu sakit? Pusingnya kumat? Atau gimana? Diare lagi? Panic attack-nya kumat-kah?" todong Rinai dengan cemas, mengusap-usap lengan dan bahu Sambara dengan khawatir.Di tempatnya, Sambara mengangguk samar. Meminta Rinai menggenggam jemarinya—seperti biasa setiap kali dia panik—hanya saja, kali ini Sambara tidak benar-benar sedang mengalami gejala panic attack seperti biasa.Dengan cemas, Rinai menautkan jemari mereka tanpa ragu sedikitpun. "Tenang, Sam… Ada aku di sini, kamu nggak sendiri kok. Tenang ya, tarik napas dalam dan lepaskan perlahan," ucap Rinai berusaha menenangkan Sambara yang mengikuti ucapan wanita itu tanpa pikir panjang.Beb
"Kita kan nggak bisa memilih, pada siapa hati ini akan jatuh."Rakha menatap mata Rinai dengan lekat. "Ya, kita nggak pernah bisa memilih tentang jatuh cinta. Tapi kita bisa memutuskan, siapa yang akan menetap dan bertahan di hati kita. Dan aku tahu, aku nggak cukup berarti untukmu kan, Nai?""Hm?""Karena pada akhirnya kamu memilih untuk pergi dan meninggalkanku tanpa penjelasan," jawab Rakha dengan tenang."Untuk kebahagiaan kamu, Kha.""Untuk kebahagiaanmu, bukan aku."Rinai mengulas senyum tipis seraya mengangguk pelan. Seakan tengah mengiyakan pernyataan Rakha barusan. "Kamu harus melepaskan sesuatu agar kamu bisa memulai hal yang baru.""Seperti kamu yang memulai semua dengan Sambara?" tembak Rakha."Mungkin," dusta Rinai yang sebenarnya belum memulai hubungan dengan siapa pun.Mendengar jawaban Rinai, tentu saja itu membuat pikiran Rakha langsung menggila. Ia condongkan wajahnya pada perempuan itu, lebih dekat dan lebih rapat lagi. Rakha tancapkan tatapan matanya, tepat di mani
Rinai masih merasa terpukul atas berita pertunangan suaminya sendiri dengan wanita lain yang terus saja berseliweran di media sosial beberapa jam yang lalu. Berita itu pun langsung ramai diperbincangkan, dan lagi-lagi… Rinai terseret dalam rumor itu, makin menyudutkan posisinya.Dia berniat untuk menghubungi sang suami—Kalantara, tepat saat pintu kamarnya diketuk berulang kali dari arah luar. Sontak, Rinai beranjak dari ranjang dan segera membukanya."Selamat malam menantu papa," sapa pria paruh baya yang langsung tersenyum lebar saat pintu kamar dibuka oleh menantunya. "Kok kaget?" tanyanya saat melihat perubahan drastis di wajah Rinai.Rinai tidak bisa untuk tidak terkejut saat melihat pria yang telah merenggut kesucian serta merusak masa mudanya berdiri santai di ambang pintu, ayah mertuanya tersebut tersenyum penuh gairah dengan tampang tak berdosanya di sana. Ingatan Rinai seakan ditarik paksa pada kejadian beberapa tahun lalu, saat Angkasa mengurungnya di ruang kokpit dan mengga
Rinai menatap pantulan dirinya di depan cermin. Memar di wajahnya, tidak bisa mendustai rasa sakit yang hampir terasa di sekujur tubuhnya saat ini.Tapi bagi Rinai, rasa sakit ini tidak sebanding dengan sakit di hatinya—menusuk hingga ke relung terdalam. Bagaimana tidak, sudah dua hari berlalu dari kejadian naas yang menimpanya, dianggap sebagai menantu gatal dan nakal yang kepergok menggoda ayah mertuanya, lantas dianiaya oleh ibu mertuanya hingga Rinai harus merelakan anak yang ada di dalam rahimnya.Yang lebih parahnya lagi… bahkan hingga empat puluh delapan jam berlalu, Rinai tidak menemukan batang hidung suaminya sama sekali.Ya, Kala masih tetap tidak bisa dihubungi sama sekali. Membuat Rinai berpikir, bahwa saat ini, Rinai tengah berjuang sendiri untuk pernikahannya. Rinai berjuang sendiri melawan patah hati terberat seorang ibu—yakni kehilangan buah hatinya. Tanpa ada Kala yang ikut menguatkannya."Kamu masih berharap, kalau Kala akan datang ke rumah sakit ini?"Rinai menoleh
"Bagaimana dengan tawaran mamamu kemarin lusa?"Langkah Rinai terhenti di ujung tangga saat mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut Angkasa, ayah mertuanya.Rinai baru saja pulang dari rumah sakit dan dia pikir, tidak ada seorangpun di rumah ini. Toh juga Rinai pulang menggunakan taksi tanpa ada yang menghiraukan kepulangannya. Rinai membalikkan badan dengan ragu dan juga sedikit canggung, khawatir kalau Shakira tiba-tiba datang dan kembali menghajarnya seperti empat hari yang lalu.Sejujurnya, ada luka dan trauma di hati Rinai. Membayangkan bagaimana Shakira memukulnya tempo hari, masih bagai mimpi buruk baginya."Nai," panggil Angkasa dengan lembut.Rinai memejamkan matanya untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk bertemu tatap dengan Angkasa. "Saya nggak mau ada salah paham lagi," lirih Rinai pelan."Saya minta maaf, Nai." Angkasa mendekat ke arah Rinai dan menatap perempuan itu dengan teduh. Terlihat ketulusan dari pancaran matanya saat ini. "Maaf un
Rinai menghampiri Kala ke kamar mereka setelah puas menangis di lantai dasar rumah mewah tersebut. Setelah meluapkan kekesalan pada sang ayah, lelaki itu memutuskan untuk naik ke kamarnya di lantai dua, serta mengabaikan Rinai yang terus menangis dengan terisak-isak di sana.Banyak kemelut yang kini bagai benang kusut di dalam pikiran Kala. Merasa tidak dianggap penting oleh istrinya, kesedihan karena mengetahui fakta bahwa Kala telah kehilangan calon bayi yang ia tunggu-tunggu kelahirannya—juga kenyataan bahwa Angkasa—ayahnya sendiri mencintai Rinai lebih dari rasa cinta seorang ayah mertua terhadap menantunya.Kala merasa dikhianati oleh dua orang yang ia sayangi sekaligus."Kamu nggak bisa ya tanya baik-baik?" tanya Rinai begitu tangisnya reda dan hatinya sudah jauh lebih tenang. "Kamu nggak bisa sedikiiiit… saja berempati sama aku? Kamu nggak penasaran, apa yang terjadi sampai aku harus kehilangan anak kita? Nggak mau tahu juga, seberat apa hari-hari yang aku lewati tanpa kabar da