"Will! Lo mau ke mana?" seru Reinan seraya mengejar William, yang tiba-tiba saja pergi setelah mendengar info dari pacarnya. William tidak menjawab. Pria itu terus saja melangkah cepat, bahkan setengah berlari ke arah parkiran. Membuat Reinan berdecak kesal di tempatnya. "Fad, buruan!" Reinan berbalik sejenak, meminta Fadly ikut mengejar William. Meski masih bingung. Fadly tetap patuh dan gegas mengikuti Reinan yang mengejar William dalam keadaan linglung. "Kita mau ke mana?" tanya Fadly saat melihat Reinan menaiki motornya. "Ikutin William. Buruan!" titah Reinan tegas. Menunjuk arah laju motor salah satu kawannya yang hampir menghilang cepat. Gegas, Reinan pun menarik gas dan melaju kencang mengejar William. Fadly pun segera mengikuti. Turut melaju kencang bersama dua kawannya yang sudah terbang di jalanan. Sesuai dugaan, William ternyata memang menuju arah rumah Navisha. Dan benar saja, ia pun langsung menemuka kondisi rumah tersebut seperti yang diinfokan Febby. Tergembok da
Beberapa saat lalu. Navisha menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Matanya menyorot salah satu gedung pencakar langit dengan berat hati. Sungguh, Navisha merasa Tuhan memang suka sekali bercanda dengannya. Dulu saja, saat dia mati-matian ingin dekat dengan William, melakukan berbagai cara bahkan sampai merendahkan diri dan di benci semua orang. Tuhan tak pernah sekali pun mempermulus jalannya. Sementara sekarang? Giliran Navisha tidak ingin bertemu pria itu lagi dan ingin melupakan William, selalu ada saja hal yang mengharuskannya dekat dengan pria itu. Seperti halnya saat ini. Jelas-jelas semalam dia mengatakan tak ingin melihat William dan meminta pria itu menjauh. Eh, malah kini ia yang datang ke perusahaan pria itu. Untuk apa? Tentu saja untuk ikut serta dalam meeting perencanaan acara perusahaan tersebut. Ah, jangan lupakan kalau mereka masih ada kerja sama yang belum rampung.Huft .... Ingin sekali rasanya menolak dan meminta Nissa atau Naira mewakilkan
"William, sebenarnya apa mau mu?" Sekuat tenaga Navisha mempertahankan nada suaranya agar tidak bergetar. Hatinya sudah ketakutan luar biasa sebenarnya saat ini. Namun, Navisha tidak boleh memperlihatkannya, kan?Lagi, bukannya menjawab, William malah menarik Navisha ke arah sofa yang ada di sana dan mendudukkan Navisha dengan paksa. Membuat rontaan gadis itu tak berguna sama sekali."Will--""Kita harus bicara." William kali ini mulai mau membuka suara. Meski dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Tidak kreatif ya, dia?"Bicara apa lagi sih, Will? Bukankah sudah kubilang, sudah tidak ada--""Kembalilah padaku, Nav. Aku masih sangat mencintaimu!" sela William syarat akan ketegasan dan keseriusan.Kalau dulu, mendengar ungkapan cinta seperti barusan dari William pasti akan langsung membuat Navisha malehoy, jejingkrakan bahkan sampai koprol kalau saja mampu. Sayangnya, ia bukan Navisha yang dulu, yang masih jadi bucinnya William. Alih-alih meleleh mendapat ungkapan cinta dari Wi
"Maaf, Nav. Maafkan aku," lirih William syarat akan rasa sesal. "Lepaskan!" Navisha mendorong kuat dada tegap William. "Jangan menyentuhku seenaknya. Aku bukan barang milik umum yang bisa bebas kau sentuh!" murka Navisha dengan sorot nyalang."Maaf, Nav. Bukan itu maksudku." William buru-buru membujuk. "Ck, itu saja terus yang kau ucapkan. Bosan aku mendengarnya," sahut Navisha sinis. "Sudahlah, aku tidak ingin membahas apa pun lagi denganmu. Sekarang biarkan aku pergi." Navisha menambahkan seraya bangkit dan bersiap pergi dari ruangan William. Capek dia lama-lama menghadapi sifat pria keras kepala itu. "Nav?" William tak begitu saja mengijinkan. Kembali mencekal lengan Navisha seenaknya. Cekalan itu pun lekas Navisha hela kasar. "Kubilang jangan menyentuhku seenaknya!" murka Navisha. "Okeh! Okeh! Aku minta maaf." William mencoba mengalah. "Tapi, Nav. Kita belum mencapai kesepakatan apa pun," imbuh pria itu semakin kurang ajar. "Sudah kubilang, sampai kapan pun aku tak mau kemba
"Are u crazy!" Sentak William lantang, setelah mendengar syarat pernikahan dari Navisha"Kenapa? Kau takut?" tantang Navisha dengan berani. Tak gentar sama sekali, dengan delikan tajam dan intonasi nada tinggi William. Pria yang pernah memiliki hatinya di masa lalu."Bukan takut, Nav. Hanya saja ...." William terlihat bingung menjelaskan isi pikirannya. Karena dia benar-benar tak menyangka, Jika Navisha-nya sudah sangat berubah sekali saat ini. "Hanya saja apa, Will?" ulang Navisha dengan santai."Hanya saja Aku tidak menyangka, kalau kamu sekarang sangat memuja kekayaan," beritahu William dengan gamang. Takut menyinggung perasaan Navisha.Kiranya, Navisha akan tersinggung, atau mencoba membela diri seperti dulu. Tapi ternyata, Navisha malah melipat tangan di bawah dadanya. Seraya tersenyum miring dengan menyebalkan."Ini bukan perkara memuja kekayaan atau tidak, Will. Tapi aku hanya membalas kau yang seenaknya memanfaatkan putriku untuk egomu. Tidak salah kan kalau aku juga mencari
Navisha meregangkan tubuh setelah berhasil menyelesaikan sebuah pesanan kue custom milik seorang pelanggan. Menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan hingga terdengar bunyi 'krek' dari tulang lehernya. Sumpah, dia lumayan lelah hari ini. "Aida, ini tinggal finishing aja. Tolong kamu handle, ya. Saya mau istirahat sebentar," ucap Navisha pada salah satu chef lainnya di cafe. Aida yang dimintai tolong tidak menjawab. Hanya menaikan dua jempol saja sebagai tanda setuju. Setelah itu, meneruskan pekerjaannya sendiri yang sedikit lagi selesai. Sementara Navisha langsung melepaskan apron dan beranjak keluar dapur menuju pintu belakang. Niat Navisha ingin mencari angin seraya melepaskan penat sejenak. Namun, siapa sangka, di sana ia malah menemukan Naira yang tengah melamun sepertinya."Heh! Ngelamun aja. Kesambet baru tau rasa, lo!" sentak Navisha. Membuat lamunan Naira langsung buyar begitu saja."Sial, lo! Ngagetin aja!" dengkus Naira kesal. Navisha hanya terkekeh pelan melihatnya, "
Beberapa menit setelah Naira pergi, Navisha masih dilema di tempatnya. Antara meminta bantuan William atau tidak usah. Beruntung Raid tiba-tiba menelepon Nissa. Membuat Navisha lega dan tidak harus menelepon William untuk meminta bantuan. "Ya, udah! Pokoknya awas aja kalau sampai Naira kenapa-napa. Tidur di luar kamu satu bulan!" ancam Nissa pada Raid, sebelum menutup panggilannya dengan raut yang masih syarat akan kekesalan. Navisha sedari tadi meringis diam-diam mendengar omelan panjang kali lebar Nissa pada suaminya. Apalagi ketika mendengar ancamannya barusan, Navisha bingung harus kasian atau tertawa untuk nasib Raid."Gimana?" tanya Navisha memberanikan diri."It's okey, Nav. Laki gue udah turun tangan." Meski tadi menggebu mengomeli suaminya dari balik telepon. Namun, kelegaan pun dapat Navisha lihat dari sorot mata Nissa kini. "Alhamdulilah ... semoga Raid bisa cepet nyusul Naira, ya?" Navisha berdoa dengan tulus. "Uhm ... kalau itu kayaknya gak bisa deh, Nav. Soalnya laki
Navisha membuka, lalu menutup mulutnya dengan ragu. Begitu saja terus sampai beberapa saat. Saking syoknya, ia sampai bingung harus berucap apa pada kegilaan William. Pria ini gila. Sungguh! Bagaimana bisa dia melakukan ini? Padahal Navisha kan hanya ...."Will, kamu--""Sshhtt ..."Huft ... Navisha membuang nafas panjang akhirnya, saat melihat William meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Pria pemilik rahang tegas itu memang terlihat kesakitan sekali saat ini."Sudahlah, kita bicarakan nanti. Ayo masuk dulu." Navisha pun memutuskan mengabaikan kegilaan William. Karena memang kondisi pria itu lebih penting saat ini. "Tapi ... kamu sekarang sudah mau kan, menikah denganku."Tuhan ... pria ini benar-benar, ya?"Kita bahas itu nanti, Will. Sekarang ayo masuk. Aku bantu kamu obati lukamu.""Tapi, Nav--""Will?" sergah Navisha gemas. "Kondisi kamu sekarang sedang begini, loh. Jangan bandel, bisa gak sih? Pernikahan kan bisa kita bicarakan nanti. Besok atau lusa gitu, loh. Pokoknya