Entakkan musik senam SKJ memekakkan telinga tepat di balik ruang perawat yang dibatasi jendela kaca dengan teralis besi di area ruang Flamboyan yang berbentuk U. Di tengahnya para pasien bergerak mengikuti arahan Okin yang menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan sambil berkacak pinggang. Lelaki tambun berkulit eksotis tersebut berteriak penuh semangat mirip pelatih sepak bola seakan-akan tak peduli sinar matahari mulai merangkak ke ubun-ubun membakar kulit. Jangan dikira menyuruh pasien dengan berbagai gangguan kejiwaan untuk menyamakan gerakan itu mudah, tidak semua dari mereka mau mengikuti olahraga menyehatkan ini. Ada yang duduk-duduk di pojokkan sambil memandang kosong ke arah barisan di depannya, ada yang berdiri seraya garuk-garuk kepala tak mengerti, dan ada juga yang mendekati Okin dengan suara centilnya.
Tidak hanya Okin, dia dibantu tiga mahasiswa dari instansi la
"Aduh sayangku ... akhirnya hamil juga," teriak Sofia begitu sampai di rumah menantunya ketika Valentina tengah mencicil laporan kasusnya di ruang tamu.Gadis itu membeliak, buru-buru beranjak namun ditahan oleh Sofia yang tidak ingin menantu yang sudah dianggap anak sendiri tersebut kecapaian. Di belakangnya, sang suami muncul dan berjalan tertatih-tatih karena tengah menderita asam urat di bagian jempol kaki. Mereka baru saja kembali dari klinik dokter kemudian iseng-iseng ingin mampir ke rumah Raditya sekadar memastikan bahwa berita kehamilan Valentina itu memang benar adanya.Valentina sungkan jikalau hanya duduk tanpa menyambut mertuanya dengan benar. Dia berdiri mengabaikan perintah Sofia lantas menyalami mereka dan berkata, "Makasih tapi ... Mama tahu dari--"
"Nanti pulangnya tunggu aku dulu ya," titah Raditya ketika sampai di area parkir mobil RSJ Menur. "Semangat Ayang, cium dulu." Dia memajukan bibir untuk menerima ciuman pagi sebelum berpisah dengan istri kecilnya.Valentina menepuk pelan bibir Raditya. "Dilihat orang. Kamu lama-lama kok jadi om-om mesum sih!""Namanya juga sama istri sendiri." Raditya terkekeh namun beberapa saat rasa mual kembali datang.Buru-buru dia mengambil kantong plastik dari boks kecil di sisi kiri untuk menampung ludah atau muntahannya. Sial! Lagi-lagi tidak ada yang keluar dari perut melainkan gelombang tak mengenakkan merangkak ke kerongkongan. Dia melirik Valentina sinis masih kesal sensasi itu masih mengaduk-aduk lambungnya dan belum reda juga. Malah pagi tadi, Raditya terpaksa mengakh
"Siang, Pak," sapa Raditya saat mengunjungi salah satu pasien konsulan di bangsal paru. "Saya dokter Raditya yang menggantikan dokter Adam yang sedang berhalangan datang hari ini. Yang dirasakan sekarang apa, Pak?"Lelaki paruh baya yang sempat mengalami sesak napas beberapa jam lalu, memegang dadanya seraya berkata, "Masih ampek dada saya, Dok."Raditya yang dibuntuti dua koas pun bertanya, "Udah dikasih diuretik sesuai arahan saya kan?""Sudah, Dok. Langsung dua ampul.""Urin tampung dan tensi terakhir berapa?" tanya Raditya lantas memeriksa pasien dengan stetoskop. Dia mendengar suara jantung lelaki renta itu dengan teliti sembari berpikir bagaimana menurunkan tekanan darah pasien padahal sudah diberi kombinasi o
Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan ..."Ck!" Raditya berjalan cepat menyusuri lorong rawat inap menuju parkiran mobil setelah kunjungan malam juga menyelesaikan laporan kasusnya. Pukul sepuluh lewat beberapa menit, dia baru bisa keluar dari rumah sakit setelah hampir dua belas jam lebih berkutat dengan pasien-pasien.Sejak tadi sore setelah Valentina memutuskan sambungan telepon akibat adanya kesalahpahaman, Raditya berusaha menghubungi istrinya lagi. Namun bolak-balik dia tidak kunjung menjawab panggilannya justru dialihkan ke kotak suara. Julia yang melihat itu salah tingkah dan buru-buru meminta maaf sudah membuat masalah baru. Raditya menggeleng, menepis anggapan tersebut dan berkata jika Valentina memang sensitif saat hamil.Ta
"Kamu telepon 112!" perintah Raditya begitu turun dari mobil. "Bisa kan lapor kondisi pasien?""Bisa!" seru Valentina mengeluarkan ponsel dari dalam tas sementara Raditya menyuruh orang-orang yang mengelilingi lelaki yang masih kejang itu sedikit menjauh."Saya Dokter Raditya," kata Raditya mengenalkan diri sembari memberi alas di kepala darihoodieyang dilipat agar tidak terjadi cedera. Kemudian, membersihkan area mulut yang berbuih dengan tisu tanpa rasa jijik. Dia memiringkan kepala pasien perlahan-lahan agar tidak terjadi sumbatan jalan napas dan membuka kancing atas kemeja serta melonggarkan ikat pinggang lantas bertanya, "Ini kejangnya berapa lama?"Perempuan paruh baya yang kemungkinan keluarganya itu berkata, "Barusan. Barusan saja, Dokt
"Ngapain kamu di sini?" tanya Rini--teman satu angkatan Valentina beda stase. Gadis berkacamata dengan tahi lalat di hidung itu menatap penuh selidik ketika Valentina datang untuk periksa kandungan.Dia sudahmendengar desas-desus bahwa Valentina sudah menikah dengan seorang PPDS yang praktik di rumah sakit ini. Termasuk ketika temannya dilabrak kekasih sang residen, bertengkar hebat dengan Brian hingga menjadi bahan perbincangan dosen-dosen juga adik kelas. Awalnya tak percaya karena beranggapan kalau selera Valentina terlalu tinggi untuk digapai. Namun, pemikiran tersebut buyar manakala Raditya mendekat membawakan tas Valentina dan berkata, "Aku ke toilet bentar."Valentina hanya mengangguk tanpa menimpali ucapan Raditya. Ekor matanya melirik Rini yang curi-curi pandang sambil mengenakan sarung tangan. Sudah bukan raha
Tidak punya banyak waktu untuk menghilangkan jejak bau yang memenuhi si putih ketika pada akhirnya Valentina membuat kesalahan tuk kedua kali. Dewi batinnya ingin menyuruh agar segera membersihkan muntahan yang berceceran di dasbor mobil kesayangan Raditya sampai mengenai karpet mobil, namun tertahan dengan gelombang yang berulang kali datang tanpa memberi Valentina kesempatan bernapas. Dia meminta maaf kepada Raditya karena tahu kalau si putih seperti anak pertama yang tidak boleh terkena dosa sekecil apa pun.Air matanya tumpah tanpa bisa dihentikan meski Raditya sudah memaafkan Valentina. Gadis itu tahu arti ekspresi yang ditunjukkan Raditya bukanlah sebuah keikhlasan menerima petaka. Lihat saja kerutan di dahi juga sorot tajam seakan ingin mencabik-cabik Valentina menjadi potongan-potongan kertas. Ditambah seberkas ingatan saat Valentina mencoret si putih dengan cat semp
Raditya mengamati Julia yang sedang tertidur di atas kasur dengan selang infus yang terpasang di tangan kanannya. Setelah mendapat telepon dari teman satu kelompok bahwa Julia pingsan akibat demam tinggi juga faktor kelelahan, Raditya langsung meluncur ke rumah sakit. Dia pikir sakit flu yang dialami mantan kekasihnya itu biasa-biasa saja, tapi ternyata Julia juga mengalami radang tenggorokan ditambah typhus. Satu perpaduan penyakit yang bikin orang enggan untuk memasukkan makanan ke dalam lambung. Yang disayangkan adalah kenapa Julia menahan sakitnya seorang diri dan berlagak baik-baik saja. Padahal dia bisa saja bilang kepada Raditya untuk ijin digantikan teman-teman yang lain. Apa Julia benar-benar menjaga jarak darinya? Bukankah masalah yang terjadi sudah berlalu? Raditya pun berusaha bersikap profesional dan mengesampingkan urusan pribadi yang pernah terjadi. Atau ... masih adakah secuil perasaan yang tertinggal di hati Julia hingga dia menyiksa diri sendiri? Bukannya dia udah