Pov Alfa
Namaku Alfa Mahendra asli Bandung. Aku memperkenalkan diri dihadapan mahasiswa sejumlah sekitar 40 orang. Baru dua bulan aku lulus studi doktoral di kampus ternama di Singapura, yaitu NTU. Aku mengambil spesialis Analisis. Hari ini pertama aku masuk kelas untuk menggantikan dosen senior yang sedang bertugas ke luar kota. Aku akan mengampu mata kuliah analisis riil. Ada kata riil artinya nyata, berarti isinya tentang matematika di dunia nyata. Mungkin itu pemikiran para mahasiswa, tetapi setelah mereka melihat-lihat isi buku tebalnya yang bertuliskan real analysis, maka akan terjadi perbedaan arti. Riil yang dimaksud adalah bilangan riil. Jadi, analisis riil mempelajari kaitannya dengan bilangan riil.
"Setelah ini nanti akan ada lanjutannya yaitu mata kuliah analisis kompleks," ucapku dengan tegas, sontak membuat seisi kelas berteriak horor.
"Hwaaa, macam mana itu, Pak?" ucap salah satu laki-laki bernama Galang.
Ternyata dia hanya mewakili suara teman-temannya. Kenyataannya dia sangat paham isi materi analisis karena dia salah satu mahasiswa yang sering ikut olimpiade matematika dan tak jarang mendapat penghargaan. Aku mendapat info ini sebelumnya dari dosen senior yang membimbing olimpiade karena sebentar lagi akan menambah tugasku menggantikan beliau.
Di kelas, aku berusaha memecahkan keheningan dari rasa takut mereka terhadap mata kuliah yang belum dikenalnya. Analisis riil ini butuh pemikiran yang lebih dibanding kalkulus atau aljabar linear yang lebih banyak porsi teknis perhitungan.
Dari sekian mahasiswa yang histeris, aku memicingkan mata ke salah satu mahasiswi yang tak berekspresi sama sekali, justru dia sering menutupi wajahnya baik dengan buku ataupun kedua tangannya seraya menundukkan kepala.
"Kamu tidak apa-apa?"
Perempuan itu masih menunduk sambil menggelengkan kepala.
"Aneh, seisi kelas hanya dia yang termenung."
"Namanya Riyanti, Pak Alfa. Biasa dipanggil Yanti, soulmatenya Amel dan Putri serta pasangan sejatinya, Galang!" teriak salah satu mahasiswa yang duduk di pojok.
"Apa kamu nggak suka ikut kuliah saya?" tanyaku tapi dia masih tetap diam dalam posisinya.
"Riyanti...!" teriakku.
"Ah iya, Pak!" pekiknya sembari mengangkat wajah, menyisakan aku yang tersentak kaget saat mengetahui dia perempuan yang berebut pindang denganku di warung dekat kontrakan.
"Maaf, Pak Alfa," pintanya dengan lirih namun tulus. Aku yakin dia merasa bersalah dengan kejadian kemarin, hingga takut memandangku yang kenyataannya adalah dosen pengganti di kelasnya.
Terbesit ingin mengerjainya dengan sebuah pertanyaan yang kuajukan.
"Jadi, apa isi mata kuliah yang akan kita pelajari nanti, Yanti?"
"Eh … hmm."
Dia menoleh ke kanan kiri mencari pembelaan. Ada perempuan yang kemarin bersamanya saat di warung kini sedang ditolehnya dan menggelangkan kepala. Dia beralih ke belakang ke arah Galang, tapi segera kupanggil namanya lagi.
"Riyanti, jawab!"
Dia semakin bergetar dan gugup. Mahasiswa yang sederhana, tapi tak kalah cantik dengan mahasiswi lainnya yang pintar berdandan. Kenyataannya, dia hanya berdandan tipis atau bisa jadi tanpa make up.
"Baiklah, Yanti. Apa jawabanmu?"
"Hmm, analisis riil mempelajari hal nyata yang tidak nyata."
Terdengar riuh tawa teman-teman sekelasnya yang membuatnya tertunduk malu karena kentara tidak mendengarkan penjelasanku tadi.
Aku melanjutkan mengisi kuliah sampai 10 menit menjelang waktu kuliah berakhir. Kugunakan sisa waktu untuk memberikan kesimpulan dan materi yang harus dipelajari berikutnya. Tak lupa kuberikan tugas untuk dikerjakan secara kelompok guna menambah pemahaman mereka.
Aku mendekati Yanti yang masih takut menatapku.
"Berikan nomer ponselmu!"
"Buat apa, Pak?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Biar saya mudah kasih info kalau ada perubahan jadwal."
"Nomernya Galang saja Pak, dia ketua kelasnya."
"Saya minta Galang juga, barangkali salah satunya lagi off."
"Siap Pak!" seru Galang, yang aku tau Riyanti sudah memelototinya.
Akhirnya Galang mengirimkan nomer ponselnya beserta nomer Riyanti. Aku menutup pertemuan dengan salam dan bergegas menuju ruangan. Namun seperti ada langkah yang membuntutiku dari belakang. Saat kutoleh ternyata Riyanti yang mengikutiku sambil menyeret Amel temannya.
"Ada apa kalian mengikuti saya?" tanyaku dengan ekspresi datar, niatku hanya ingin mengujinya sampai mana dia berani saat berada di kampus. Apakah keberaniannya masih sama seperti saat berdebat pindang di warung. Ah, aku jadi kesal sendiri mengingatnya karena gagal memberi makan kucing yang sering mendatangi kontrakanku.
"Hmm, ada yang ingin saya sampaikan pada Pak Alfa," ucapnya lirih dan masih tersirat rasa takut di wajah manisnya saat tersenyum simpul.
'Dasar ni otak, kenapa aku malah memuji orang yang sudah membuatku kesal dan berujung kucing kesayanganku lapar.'
"Oh, kalau begitu ayo di ruang saya saja!"
Mereka mengikutiku dengan patuh, sementara otakku sudah berkeliaran mencari ide untuk mengerjainya. Saat memikirkannya justru membuat hormon endorpinku meningkat.
'Bolehkan aku mengerjai muridku, biar jadi pembelajaran positif untuk tidak selamanya ingin menang sendiri.'
"Silakan duduk!"
Digeretnya dua kursi tepat di depanku yang terhalang meja kerja masih kosong karena aku baru menempatinya hari ini.
"Pak Alfa, saya mau minta maaf atas kejadian kemarin."
"Kejadian yang mana? Memangnya kita pernah bertemu sebelumnya?" kilahku. Sontak dia menahan kesal karena terlihat guratan di keningnya lantas menyikut lengan Amel.
"Itu Pak kejadian di warung makan dekat kos kami," ucap temannya membela.
"Iya, saya salah sudah merebut kesempatan Pak Alfa untuk makan pindang kemarin. Seharusnya saya tidak seperti itu, maafkan saya," ucap Riyanti tulus sambil tertunduk.
"Oh, saya nggak nyangka kalau yang berdebat dengan saya kemarin adalah seorang mahasiswi. Kirain penjual buah di pasar." Wajahnya terlihat kesal namun lucu.
"Jadi, Bapak memaafkan sayakan?" mohonnya dan aku jawab dengan anggukan.
"Tapi ada syaratnya."
"Haah, syaratnya apa?"
"Seminggu ini kamu harus belikan pindang untuk makan."
"Apa?" tanya dia, tampak sekali Riyanti menimbang-nimbang saling berpandangan dengan Amel.
"Baiklah, lalu pindangnya saya bawa ke ruang sini?"
"Antarkan saja ke kontrakan saya! Nanti saya kirim ke ponselmu alamatnya."
Dia mengangguk lesu dan bergegas pamit dengan muka kusutnya, sedangkan aku menahan diri untuk tidak tertawa di depannya supaya tidak membuatnya tersinggung. Sampai di pintu dia menoleh kembali kearahku.
"Mulai kapan saya antar pindangnya, Pak?"
"Besok siang. Ingat ya selama seminggu," ucapku penuh penekanan.
"Astaghfirullah, seminggu," jawabnya sambil menghentakkan dua kakinya yang tertutupi sepatu. Ekspresinya lucu sekali menurutku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
Pov Riyanti"Mulai kapan saya antar pindangnya, Pak?" seruku pada Pak Alfa dosen baruku yang tampan tapi mahal senyum, atau dia hanya ketus padaku saja gara-gara pindang."Besok siang. Ingat ya selama seminggu," jawabnya."Astaghfirullah, seminggu." inginku berteriak, tapi aku hanya menghentakkan dua kakiku yang tertutupi sepatu murah yang kubeli di pasar. Semoga sepatuku tidak jebol keseringan aku hentakkan dengan lantai.Ini pertama kali aku ketemu dosen baru yang mengesalkan. Dia mengerjaiku untuk membelikannya pindang selama seminggu. Apakah dia seorang maniak pindang? Dia nggak tahu dompet ini selalu dijaga untuk tidak tergesa kempes karena masih harus menunggu sebulan untuk dapat HR privat."Kamu kenapa, Ti?""Aku kesal tahu nggak, Mel. Pak Alfa maksa banget sih minta dibelikan pindang selama seminggu.""Hahaha." Amel sudah menertawakanku karena ulahku sendiri."Jangan gitu dong, Mel. Bantu aku s
Pov Riyanti"Kamu nggak apa-apa? Kenalkan saya Hendra, Papanya Niko.""Oh, saya Riyanti, Pak." Aku balas memperkenalkan diri saat Pak Hendra mau menyalamiku, tapi kubalas dengan menangkupkan kedua tanganku."Terima kasih sudah mengajar anak saya, Yanti.""Sama-sama, Pak. Alhamdulillah Niko cepat kok memahami materi yang saya jelaskan.""Syukurlah, besok ke sini lagi bisa?""Insya Allah."Aku mengayuh sepeda membelah jalanan yang sudah mulai ramai karena senja telah tiba. Beginilah aktivitasku selain di kampus, aku mengajar privat hingga senja tiba. Ini menjadikanku menyukai senja yang indah dipandang mata. Sepanjang aku mengayuh sepeda, tak henti-hentinya aku bersyukur karena hari ini mengajar dua anak artinya dapat HR 2x. Selain itu, aku gembira karena telah membawa pindang pesanan Pak Alfa.Tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar tertera nama "Dosen Alfa".‘Haah, Pak Alfa pasti mencariku.'
Pov RiyantiBaru saja aku menerima pesan singkat dari ibuku. Beliau butuh uang untuk membayar cicilan mingguan. Di kampung memang sedang gencar pinjaman praktis sekitar 500rb sd 1 juta hanya dengan modal FC KTP. Banyak tetangga yang tergiur tak terkecuali ibuku. Oh tidak, kini ibuku terjebak pinjaman dari orang yang bisa dikatakan lintah darat. Padahal kalau dihitung-hitung ini sangat memberatkan, bunganya pun tergolong tinggi. Alhasil, warga yang pinjam jadi terlilit hutang dan dikejar-kejar angsuran mingguan.‘Oh ibuku, bisakah aku segera menjadi orang kaya saja supaya hidup kita tidak susah?’ ratapku dalam hati.Flashback onSaat aku SMA, ada tamu seorang juragan kaya raya datang menyambangi rumah."Pak Rahmat, kapan kalian akan mengembalikan uangnya? Katanya bulan ini, hah," ucapnya setengah berteriak. Aku menguping pembicaraan di ruang tamu. Sebenarnya bukan sengaja menguping, tapi karena sua
Pov AlfaNetraku tak salah bukan, atau aku yang hanya berhalusinasi saja. Kenapa wajah Riyanti selalu terpampang di pelupuk mataku. Ah, lama-lama aku bisa gila kalau hanya memikirkannya. Segera aku memicingkan mata ke arah bangunan belakang kontrakanku. Aku sedang menjemur pakaian kerjaku karena hari ini tidak ada jadwal mengajar, jadi waktu luang aku pakai untuk mencuci baju. Sebenarnya bisa saja dilondry tapi kalau tidak sibuk, aku lebih suka mencucinya sendiri.Mataku mengerjap beberapa kali dan benar saja, bisa kupastikan itu Riyanti. Ngapain dia ada di sana. Itukan tempat para pekerja menjahit baju orderan. Kontrakanku memang dekat dengan industri tailor. Apa dia juga bekerja di sana? Apa dia benar-benar maniak kerja? Kenapa dia tak sayang dengan badannya. Apa dia sengaja memporsir tenaganya, memangnya sekuat apa dia. Berbagai tanya melintas dibenakku. Kenapa aku jadi peduli padanya, kenapa aku tak suka dia sok kuat. Aku bahkan ingin selalu mengaw
Pov Riyanti Hari ini ada kuliah Pak Alfa di jadwal pagi. Aku dan Amel sudah berangkat lebih awal karena tidak mau terlambat dan jadi bahan bullyan di kelas pastinya. Karena Pak Alfa suka bercanda di kelas dengan contoh-contoh mahasiswanya yang tidak disiplin. Mengingat kejadian kemarin di Graha Tailor membuatku tak berhenti mengulas senyum. "Ti, pagi-pagi udah senyum sendiri. Ada apa sih? Aku perhatiin dari kemarin pulang nyampai kos juga gitu." "Kamu pasti nggak nyangka kalau aku ceritain, Mel." "Sini-sini bisikin aku dong." "Kemarin aku di Graha Tailor lihat Pak Alfa jemur baju." "Haah, serius? Keren dong. Astaga Riyanti, kamu sudah kesengsem pesona Pak Al..." Aku langsung membungkam mulut Amel yang nggak kira-kira ngomongnya. Tiba-tiba putri dan Galang masuk ke ruang kuliah. Di belakangnya pun ada sosok yang sedang kami bicarakan. "Haa, Pak Alfa datang Mel. Isshh kamu teriak nggak kira-kira sih Mel.
Pov AlvaAku mengantar Riyanti sampai ke rumah muridnya. Dia berpesan supaya aku meninggalkannya. Kalau kalian berpikir aku akan ninggalin dia jawabnya enggak. Aku memilih menunggunya di mobil sampai dia selesai ngajar. Dia sebenarnya perempuan sekuat apa sih, seharian kuliah dan kerja part time. Refreshing sebentar sudah kerja lagi. Aku nggak habis pikir, apakah dia sempat memikirkan kesehatannya. Apa dia ingat dengan jam makannya hingga kelihatan kurus begitu. Hufh, kenapa aku jadi perhatian banget sama Riyanti. Aku mengacak rambutku sendiri karena bingung dengan pikiranku. Aku melihat Riyanti dan muridnya belajar di teras. Tampak sekali kalau dia mengajar dengan sabar. Tak jarang muridnya tertawa senang belajar dengannya.Setengah jam berlalu, aku mendengarkan musik sambil menscroll email atau materi yang ada di ipad. Kulihat ada laki-laki paruh baya entah papanya atau kakeknya si murid. Tapi kurasa dia lebih cocok kakeknya deh. Dia mendatangi Riyan
Pov RiyantiMas Alfa mengantarku sampai kos malam itu. Eh, bolehkan aku memanggilnya dengan Mas kecuali di kampus harus tetap panggil Pak. Aku sangat bersyukur dia sudah menyelamatkanku dari laki-laki brengsek itu. Tapi aku tidak bisa berhenti begitu saja mengajar Niko. Kasihan dia tidak salah apa-apa. Pak Hendra juga baik sudah memberi HR ku di awal. Setidaknya aku harus membayar kembali dengan tetap mengajarnya.Mas Alfa memintaku mengajar Niko di kontrakannya tepatnya di teras depan yang lumayan luas. Dia tidak ingin kejadian yang menimpaku terulang lagi. Aku heran kenapa Mas Alfa baik padaku sekarang. Aku merasakan lebih dekat dengannya atau hanya perasaanku saja, barangkali dia memang baik dengan semua orang. Buktinya bukan hanya aku yang akan mengajar les dikontrakannya. Ternyata dia membuka jasa les dengan mahasiswa yang akan mengajar. Ada aku, Gilang, Amel dan Putri yang sementara menjadi staf pengajar.Selesai mengajar, Mas Alfa mengham
Pov Riyanti Weekend ini aku merasakan tak sabar menerima HR pertama dari Graha Tailor. Kerja kerasku dari skill yang diajarkan ibukku. Meski sedikit yang kudapat tapi aku merasa bahagia mendapat uang dengan cara halal. Aku masih terngiang-ngiang ucapan Pak Hendra yang mengatakan telah mentransfer uang sebesar yang aku minta. Tapi kenyataannya saat aku tanya adikku nominalnya 2x lipat. Setelah aku konfirm ke Pak Hendra ternyata yang transfer waktu itu adalah ayahnya, yang tak lain adalah kakek Niko, karena Pak Hendra baru memimpin meeting besar. Pantas saja kakek Niko berbuat seenaknya padaku waktu itu. Aku merasa telah berhutang pada laki-laki brengsek itu. Aku berjanji dalam hati harus bisa melunasi hutang itu karena aku takut jika sampai ajal tiba tapi masih berhutang, bisa terhalang jalan masuk ke surga."Hmm, ada yang mau traktiran nih?" Galang sudah mencoba menggodaku karena bahagia mendapat HR pertama d