Pov Riyanti
Namaku Riyanti sering dipanggil Yanti, tetapi bukan artis Kridayanti lho.
Siang hari, selepas Zuhur aku bersama Amel pergi ke warung nasi rames yang berjarak sekitar 300m tidak jauh dari kos. Kalau ditanya kenapa kami suka membeli makan di situ, jawabnya karena penjualnya sangat ramah. Pemiliknya suka dipanggil Mbok Nem, beliau asli dari Bandung. Entah nama asli atau bukan, tetapi itulah panggilan akrab para pelanggan terbanyaknya yang tak lain adalah anak-anak kos. Aku dan Amel termasuk pelanggan setianya, karena membeli makan di sini tergolong ramah di kantong.
Aku dan Amel kuliah di jurusan matematika di salah satu universitas ternama wilayah Yogyakarta. Kami memang senasib masuk dengan tanpa tes, yakni mengandalkan nilai raport. Alhamdulillah, kami beruntung berasal dari SMA swasta di daerah pelosok, aku dari lereng gunung Sumbing Magelang Jateng dan Amel dari lereng Lawu Jatim. Kami termasuk berprestasi dari sekian gelintir murid yang ada dan mendapat kesempatan kuliah di kota pelajar.
"Mau makan apa hari ini, Ti?" tanya Amel yang sejujurnya nggak perlu dijawab pasti dia sudah tau makanan favoritku saat dompet masih lumayan tebal.
Lama tak kujawab, hanya senyum yang kulontarkan.
"Pasti pindang."
"Tau aja kamu, Mel."
"Kamu kan habis dapat honor privat, haha."
Amel hapal benar denganku yang memilih menu makanan disesuaikan budget. Kalau dompet lagi tebal maka kami pilih menu makanan yang sedikit lebih mewah dan bergizi macam pindang. Saat dompet menipis, kami akan memilih nasi sayur lauk tempe tepung. Beginilah nasib anak kos yang ingin berusaha menjaga status gizi dengan pengeluaran sehemat-hematnya.
"Neng Yanti dan Amel, pindang tinggal satu nih!" seru Mbok Nem, saat kami mendekati lemari kaca tempat menu makan dihidangkan. Warung ini seperti swalayan alias mengambil sendiri-sendiri. Amel yang tahu aku suka sekali dengan pindang segera mengibaskan tangan ke Mbok Nem dan beralih memilih menu lain.
Karena waktu menjelang siang hari, wajar pelanggan warung banyak berdatangan. Aku segera mengambil piring dialasi kertas minyak karena kami terbiasa beli nasi bungkus untuk dimakan di kos.
Aku mengisinya dengan Nasi, oseng kangkung dan terakhir pindang yang sudah menggoda mata. Segera kutusukkan garpu pada pindang yang hanya tersisa satu di wadahnya. Tapi hal tak terduga terjadi, ada satu garpu lagi yang sudah tertancap tepat disisi garpuku.
"Maaf, ini saya dulu yang ambil," ucapku.
"Jelas saya yang menancapkan garpu duluan," katanya tak mau kalah.
Sekilas terdengar suara seorang laki-laki, tetapi aku belum berani menatapnya. Kalau boleh aku ingin egois karena pindang ini membuat selera makanku naik yang berefek moodku bagus. Tentu hal ini akan mendongkrak aktivitas keseharianku yang tak lepas dari kesibukan kuliah, organisasi, serta mengajar privat.
"Ladies first," ucapku yang masih kekeh.
"Budayakan antri, FCFS (first come first served/pertama datang pertama dilayani)," balasnya.
Seketika aku teringat mata kuliah teori antrian. Aku dan Amel yang kini menginjak semester enam harusnya lebih dewasa, bukan seperti anak kecil yang berebut antrian. Eh, tunggu dulu, diakan juga kelihatan seperti bukan mahasiswa baru. Kuberanikan menatap wajahnya.
Duh malunya aku, segera kutolehkan wajahku ke samping tak berani lama-lama menatapnya.
'Kenapa wajahnya harus seadem ini?' gumanku yang segera disenggol Amel.
Sahabatku rupanya ikut malu melihatku berebut sambal pindang yang tinggal satu dengan seorang laki-laki tampan berusia sekitar 26 tahun. Dia mempesona, berkulit kuning rambut lurus disisir rapi. Badannya atletis terlihat dari kaos slim yang dikenakannya, pasti dia rajin berolahraga. Satu kata lagi fix dia tampan, tapi sikapnya tidak mencerminkan fisiknya. Rasa kagumku langsung menguap entah kemana.
"Maaf Mas, ini sambal pindang kesukaan Neng Yanti. Gimana kalau Mas pilih yang lain?"
Aku tersenyum penuh kemenangan mendapati Mbok Nem membelaku, tetapi tidak dengan laki-laki itu. Dia masih menatapku dengan tatapan dingin.
"Mbok lain kali budayakan antri, siapa yang lebih dulu ya dapat duluan," sarannya.
Ada sedikit rasa nyeri di dadaku tepatnya sakit hati kenapa laki-laki ini tak mau mengalah pada perempuan. Teori antrian yang telah kupelajari sudah tidak aku praktekkan karena mengincar sambal pindang. Sudah bisa kupastikan dia tercoret dari list kriteria calon pasanganku meski dia tampan. Mungkin aku kepedean mengklaimnya di list calon pasanganku. Akhirnya dia mengalah dan membiarkanku tersenyum bahagia sementara dia menggerutu.
"Ti, kamu kenapa ngotot sih. Malu-maluin tahu," bisik Amel padaku.
"Nggak tau juga, Mel. Aku cuma mau menunjukkan ladies first. Apa dia masuk golongan yang menggaungkan slogan itu, ternyata enggak. Amel hanya menggelengkan kepalanya. Akhirnya kesampaian juga aku makan siang dengan sambal pindang setelah berdebat dengan laki-laki yang asing bagi Aku dan Amel, karena dia baru kali ini terlihat di warung Mbok Nem.
"Hey, jangan makan sambil senyum-senyum sendiri! Mbayangin laki-laki yang tadi, huh?"
Aku hanya tersenyum simpul.
"Sebenarnya aku malu, Mel. Aku berharap kita nggak akan ketemu lagi sama orang itu."
"Ya mana kita tahu. Barangkali dia satu kampus dengan kita, hayo?"
"Ah, jangan nakut-nakuti aku, Mel."
Seketika Aku merasa takut dan bersalah pada laki-laki itu. Takut kalau benar adanya kami akan ketemu di kampus yang sama dan bersalah telah merebut pindang karena jelas dia yang menusuk garpunya duluan.
'Oh tidak, aku tidak mau pusing memikirkanmya. Banyak yang harus aku pikirkan dari pada mikirin laki-laki itu.'
Aku harus memikirkan kuliah, menjabat sekretaris diorganisasi, dan mengajar privat beberapa murid. Terkadang ada juga job ngajar kelas di luar kota saat akhir pekan, tapi hanya tertentu saja.
Semua kulakukan demi mengembalikan senyum Bapak dan Ibu yang sudah tujuh tahun sirna bersamaan dengan bangkrutnya bisnis Bapak.
---
Pagi-pagi sekali aku sudah berdandan dengan tunik motif floral sepanjang lutut dan celana hitam serta jilbab marun senada baju. Tak lupa kupoles tipis bedak tabur dan lipstik harga murah untuk melembabkan bibir yang kering karena sering terpapar sinar mentari. Sementara itu, Amel lebih pintar berdandan. Dia lebih tahu fashion yang modis, tetapi masih sopan. Dia sama berhijabnya denganku.
Kami sudah sampai di ruang kuliah setelah berjalan dari kos. Kami masih sedikit terengah-engah saat duduk karena ruangnya di lantai tiga gedung C. Kali ini kami ada jadwal kuliah analisis riil.
Tiba-tiba ada tepukan di bahuku dari Amel, yang mengisyaratkan aku untuk melihat arah pintu.
‘Astaghfirullah, doaku ternyata tidak terkabul.’
Pagi ini ada mahasiswa baru muncul secara tiba-tiba di kelas kami. Ternyata tebakanku salah, dia duduk di kursi dosen.
"Astaga, dia laki-laki kemarin, bukan?" ucap Amel berbisik di telingaku. Aku hanya terbengong dan menyambar buku yang dipegang Putri sahabatku, juga Amel untuk menutupi wajahku.
'Ya Rabb, dari sekian banyak orang kenapa harus ketemu laki-laki itu di sini. Ingin rasanya kutenggelamkan saja wajahku di bantal kamar kosku.'
“Mbak, yang pakai baju bunga-bunga!” serunya yang masih terdengar ditelingaku.
Deg!
Jantungku berdetak tak karuan karena merasa dia memanggilku.
Pov AlfaNamaku Alfa Mahendra asli Bandung. Aku memperkenalkan diri dihadapan mahasiswa sejumlah sekitar 40 orang. Baru dua bulan aku lulus studi doktoral di kampus ternama di Singapura, yaitu NTU. Aku mengambil spesialis Analisis. Hari ini pertama aku masuk kelas untuk menggantikan dosen senior yang sedang bertugas ke luar kota. Aku akan mengampu mata kuliah analisis riil. Ada kata riil artinya nyata, berarti isinya tentang matematika di dunia nyata. Mungkin itu pemikiran para mahasiswa, tetapi setelah mereka melihat-lihat isi buku tebalnya yang bertuliskan real analysis, maka akan terjadi perbedaan arti. Riil yang dimaksud adalah bilangan riil. Jadi, analisis riil mempelajari kaitannya dengan bilangan riil."Setelah ini nanti akan ada lanjutannya yaitu mata kuliah analisis kompleks," ucapku dengan tegas, sontak membuat seisi kelas berteriak horor."Hwaaa, macam mana itu, Pak?" ucap salah satu laki-laki bernama Galang.Ternyata dia
Pov Riyanti"Mulai kapan saya antar pindangnya, Pak?" seruku pada Pak Alfa dosen baruku yang tampan tapi mahal senyum, atau dia hanya ketus padaku saja gara-gara pindang."Besok siang. Ingat ya selama seminggu," jawabnya."Astaghfirullah, seminggu." inginku berteriak, tapi aku hanya menghentakkan dua kakiku yang tertutupi sepatu murah yang kubeli di pasar. Semoga sepatuku tidak jebol keseringan aku hentakkan dengan lantai.Ini pertama kali aku ketemu dosen baru yang mengesalkan. Dia mengerjaiku untuk membelikannya pindang selama seminggu. Apakah dia seorang maniak pindang? Dia nggak tahu dompet ini selalu dijaga untuk tidak tergesa kempes karena masih harus menunggu sebulan untuk dapat HR privat."Kamu kenapa, Ti?""Aku kesal tahu nggak, Mel. Pak Alfa maksa banget sih minta dibelikan pindang selama seminggu.""Hahaha." Amel sudah menertawakanku karena ulahku sendiri."Jangan gitu dong, Mel. Bantu aku s
Pov Riyanti"Kamu nggak apa-apa? Kenalkan saya Hendra, Papanya Niko.""Oh, saya Riyanti, Pak." Aku balas memperkenalkan diri saat Pak Hendra mau menyalamiku, tapi kubalas dengan menangkupkan kedua tanganku."Terima kasih sudah mengajar anak saya, Yanti.""Sama-sama, Pak. Alhamdulillah Niko cepat kok memahami materi yang saya jelaskan.""Syukurlah, besok ke sini lagi bisa?""Insya Allah."Aku mengayuh sepeda membelah jalanan yang sudah mulai ramai karena senja telah tiba. Beginilah aktivitasku selain di kampus, aku mengajar privat hingga senja tiba. Ini menjadikanku menyukai senja yang indah dipandang mata. Sepanjang aku mengayuh sepeda, tak henti-hentinya aku bersyukur karena hari ini mengajar dua anak artinya dapat HR 2x. Selain itu, aku gembira karena telah membawa pindang pesanan Pak Alfa.Tiba-tiba ponsel di sakuku bergetar tertera nama "Dosen Alfa".‘Haah, Pak Alfa pasti mencariku.'
Pov RiyantiBaru saja aku menerima pesan singkat dari ibuku. Beliau butuh uang untuk membayar cicilan mingguan. Di kampung memang sedang gencar pinjaman praktis sekitar 500rb sd 1 juta hanya dengan modal FC KTP. Banyak tetangga yang tergiur tak terkecuali ibuku. Oh tidak, kini ibuku terjebak pinjaman dari orang yang bisa dikatakan lintah darat. Padahal kalau dihitung-hitung ini sangat memberatkan, bunganya pun tergolong tinggi. Alhasil, warga yang pinjam jadi terlilit hutang dan dikejar-kejar angsuran mingguan.‘Oh ibuku, bisakah aku segera menjadi orang kaya saja supaya hidup kita tidak susah?’ ratapku dalam hati.Flashback onSaat aku SMA, ada tamu seorang juragan kaya raya datang menyambangi rumah."Pak Rahmat, kapan kalian akan mengembalikan uangnya? Katanya bulan ini, hah," ucapnya setengah berteriak. Aku menguping pembicaraan di ruang tamu. Sebenarnya bukan sengaja menguping, tapi karena sua
Pov AlfaNetraku tak salah bukan, atau aku yang hanya berhalusinasi saja. Kenapa wajah Riyanti selalu terpampang di pelupuk mataku. Ah, lama-lama aku bisa gila kalau hanya memikirkannya. Segera aku memicingkan mata ke arah bangunan belakang kontrakanku. Aku sedang menjemur pakaian kerjaku karena hari ini tidak ada jadwal mengajar, jadi waktu luang aku pakai untuk mencuci baju. Sebenarnya bisa saja dilondry tapi kalau tidak sibuk, aku lebih suka mencucinya sendiri.Mataku mengerjap beberapa kali dan benar saja, bisa kupastikan itu Riyanti. Ngapain dia ada di sana. Itukan tempat para pekerja menjahit baju orderan. Kontrakanku memang dekat dengan industri tailor. Apa dia juga bekerja di sana? Apa dia benar-benar maniak kerja? Kenapa dia tak sayang dengan badannya. Apa dia sengaja memporsir tenaganya, memangnya sekuat apa dia. Berbagai tanya melintas dibenakku. Kenapa aku jadi peduli padanya, kenapa aku tak suka dia sok kuat. Aku bahkan ingin selalu mengaw
Pov Riyanti Hari ini ada kuliah Pak Alfa di jadwal pagi. Aku dan Amel sudah berangkat lebih awal karena tidak mau terlambat dan jadi bahan bullyan di kelas pastinya. Karena Pak Alfa suka bercanda di kelas dengan contoh-contoh mahasiswanya yang tidak disiplin. Mengingat kejadian kemarin di Graha Tailor membuatku tak berhenti mengulas senyum. "Ti, pagi-pagi udah senyum sendiri. Ada apa sih? Aku perhatiin dari kemarin pulang nyampai kos juga gitu." "Kamu pasti nggak nyangka kalau aku ceritain, Mel." "Sini-sini bisikin aku dong." "Kemarin aku di Graha Tailor lihat Pak Alfa jemur baju." "Haah, serius? Keren dong. Astaga Riyanti, kamu sudah kesengsem pesona Pak Al..." Aku langsung membungkam mulut Amel yang nggak kira-kira ngomongnya. Tiba-tiba putri dan Galang masuk ke ruang kuliah. Di belakangnya pun ada sosok yang sedang kami bicarakan. "Haa, Pak Alfa datang Mel. Isshh kamu teriak nggak kira-kira sih Mel.
Pov AlvaAku mengantar Riyanti sampai ke rumah muridnya. Dia berpesan supaya aku meninggalkannya. Kalau kalian berpikir aku akan ninggalin dia jawabnya enggak. Aku memilih menunggunya di mobil sampai dia selesai ngajar. Dia sebenarnya perempuan sekuat apa sih, seharian kuliah dan kerja part time. Refreshing sebentar sudah kerja lagi. Aku nggak habis pikir, apakah dia sempat memikirkan kesehatannya. Apa dia ingat dengan jam makannya hingga kelihatan kurus begitu. Hufh, kenapa aku jadi perhatian banget sama Riyanti. Aku mengacak rambutku sendiri karena bingung dengan pikiranku. Aku melihat Riyanti dan muridnya belajar di teras. Tampak sekali kalau dia mengajar dengan sabar. Tak jarang muridnya tertawa senang belajar dengannya.Setengah jam berlalu, aku mendengarkan musik sambil menscroll email atau materi yang ada di ipad. Kulihat ada laki-laki paruh baya entah papanya atau kakeknya si murid. Tapi kurasa dia lebih cocok kakeknya deh. Dia mendatangi Riyan
Pov RiyantiMas Alfa mengantarku sampai kos malam itu. Eh, bolehkan aku memanggilnya dengan Mas kecuali di kampus harus tetap panggil Pak. Aku sangat bersyukur dia sudah menyelamatkanku dari laki-laki brengsek itu. Tapi aku tidak bisa berhenti begitu saja mengajar Niko. Kasihan dia tidak salah apa-apa. Pak Hendra juga baik sudah memberi HR ku di awal. Setidaknya aku harus membayar kembali dengan tetap mengajarnya.Mas Alfa memintaku mengajar Niko di kontrakannya tepatnya di teras depan yang lumayan luas. Dia tidak ingin kejadian yang menimpaku terulang lagi. Aku heran kenapa Mas Alfa baik padaku sekarang. Aku merasakan lebih dekat dengannya atau hanya perasaanku saja, barangkali dia memang baik dengan semua orang. Buktinya bukan hanya aku yang akan mengajar les dikontrakannya. Ternyata dia membuka jasa les dengan mahasiswa yang akan mengajar. Ada aku, Gilang, Amel dan Putri yang sementara menjadi staf pengajar.Selesai mengajar, Mas Alfa mengham