Bab 13C"Bukannya Pak Aryo ada keperluan?" Nay masih berusaha menolak dengan halus tawaran dosennya."Nggak jadi. Oya, batik di Narita itu bagus-bagus lho. Seperti baju yang kamu pakai kemarin Nay, beli disana juga, Kan?""Eh, iya. Itu yang belikan tante saya kok, Pak.""Oya? Tante kamu ada yang tinggal di Bandung?""Tante saudara jauh, iya kan, Ci?" Cici hanya mengangguk mengikuti skenario konyol sahabatnya. Nay merasa repot sendiri, sekali menutupi kejujuran, ia harus berusaha menutupi yang lainnya. Ia spontan menepuk jidatnya.Sepanjang perjalanan naik mobil Pak Aryo, Nay menahan kesal karena Cici memaksanya duduk di kursi samping kemudi, menyebalkan. Jelas Pak Aryo tidak mau seperti sopir taksi kalau kedua mahasiswinya duduk di belakang. Akhirnya, Cici duduk di belakang sendiri sambil menahan senyum penuh arti.Setengah jam membelah jalanan yang macet, akhirnya mobil memasuki kompleks perumahan milik Bu Maya."Pak, kami turun di sini saja! Itu rumah tante saya di depan." Nay turun
Bab 14"Paper bagnya tolong antar ke kamar di samping TV ya Mbak Nay. Ada ponakan saya di sana.""Siap, Bu."Sementara Cici membantu Bu Maya, Nay menuju kamar yang dimaksud, lalu mengetuk pintunya. Bu Maya bilang kalau ponakannya laki-laki, tetapi Nay bingung memanggilnya apa, karena tidak tanya namanya. Ia berinisiatif mengetuk pintu. Panggilan pertama tidak ada jawaban, Nay mengulangnya."Mas. Saya mengantar barang Bu Maya." "Ya, sebentar." Terdengar kaki melangkah, Nay masih setia berdiri di depan pintu."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Terilhat satpam rumah mendekati Nayla yang tengah membawa paper bag di tangannya. Merasa menunggu agak lama pintu belum juga dibuka, Nay memutuskan kembali membantu Bu Maya. Ia menitipkan barang tadi ke satpam."Sudah ketemu ponakan saya, Mbak Nay? Ganteng kan? Masih single lho, padahal sudah pantes berkeluarga. Tapi...." Nayla hanya mengulas senyum, lalu saling pandang dengan Cici yang menahan tawanya."Tapi kenapa, Bu?" Justru Cici yang antusias in
Bab 15"Kira-kira jodohku nanti siapa ya, Ci? Teman kuliah, polisi, dokter, atau....hiks tukang parkir?" celetuk Nay setengah bercanda."Ishh, berprasangka yang baik, Nay. Ucapan adalah doa.""Astaghfirullah. Iya ya, Ci. Apa aku juga boleh berharap bisa mendapat pasangan yang sholeh, cerdas, dan kaya ya Ci?" Nay bertanya seraya terkekeh pelan, menertawakan diri sendiri sepertinya konyol pertanyaannya."Tidak mustahil kata Oma tadi, Nay. Tidak mustahil bagi Allah menentukan takdir untuk kita. Tapi ingat kita juga harus berusaha.""Hmm, ustadzah Cici, nih," celetuk Nay."Apaan, aku cuma niru kata Oma. Tuh dengerin lagi, jangan berisik!" Nay mencubit lengan Cici hingga mengaduh tertahan, tak mungkin menjerit. Bisa-bisa jeritannya menjadi pusat perhatian.Mereka kembali fokus mendengarkan lagi tausiyah Oma Icha.Sebelum memasuki jenjang pernikahan, ada proses yang akan dilalui. Pemilihan jodoh, khitbah, keberlangsungannya hingga ke akad pernikahan, pemahaman hak dan kewajiban, serta tahap
"Itu tantemu?" Nay menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia sudah kepalang basah ketahuan berbohong."Maaf." Hanya satu kata yang mewakili wajah bersalahnya. Nay segera duduk di kursi di samping dosennya."Kenapa harus berbohong?" "Hah?! Nayla tertunduk malu dengan ulahnya sendiri.Sepuluh menit terasa lama, Nayla menarik napas lalu menghembuskan kasar. Ia mengaku sudah bersalah karena berbohong pada laki-laki yang tengah cuek memainkan ponsel."Pak Aryo."Laki-laki itu hanya berdehem. Nayla berniat mengulang panggilannya. Namun, deheman kembali yang terdengar hingga membuat perasaannya dongkol."Pak!" Sedikit menaikkan suaranya, Nay memanggil dosennya dengan raut wajah kesal karena dicuekin."Kemejanya saya kembalikan kalau sudah di cuci. Lusa semoga sudah beres." Nay mencoba mengalihkan topik. Ia masih gengsi untuk mengakui kebohongannya."Ya." Aryo mengulas senyum, hanya jawaban singkat yang terlontar dari mulutnya."Ishh menyebalkan," guman Nay seeaya beranjak dari duduknya."Ma
Bab 16B"Saya ingin mengenalmu lebih jauh." Nay tersentak, beruntung minuman jahe yang baru mau diseruput tidak membuatnya tersedak."Maksud Pak Aryo apa?" Nay terbata menjawab tanya dari laki-laki dewasa yang duduk di sampingnya memainkan gelas setelah menyesap susu jahe."Apa orang ini sedang melamarku? Ckk, konyol sekali, melamar di warung bubur. Duh, mau ditaruh mana mukaku." Nay mengernyitkan dahinya. Sesekali melirik pelayan yang juga berprofesi sebagai mahasiswa part time di kampusnya. Nay jelas kenal dengan pelayan di warung borjo langganannya kalau malam dilanda kelaparan."Saya mau menjalin hubungan serius denganmu, bukan pacaran." Lidah Nayla menjadi kelu. Pikirannya kalut mendadak ditembak dosennya, di warung burjo lagi. Nay hanya bergeming, tapi jantungnya berdesir. Ia takut memberi jawaban yang salah. Bagaimanapun Nay takut kecewa, juga mengecewakan."Pikirkan saja dulu, jangan dijawab sekarang! Ayo balik, sudah malam nggak enak ngobrol di sini.""Lha itu tahu, kenapa ng
Bab 17Nayla teringat janjinya kalau Andra sudah membantunya belajar dan memberinya info murid untuk di privat, ia ingin memberinya hadiah kecil. Ia sedang berpikir hadiah apa yang cocok untuk diberikan. Sekilas teringat kemeja Pak Aryo. Terlintas ide memberikan kemeja saja untuk Andra. Namun ada keraguan apa Andra mau menerima pemberiannya. Terlebih sudah ada Cindy di sampingnya sekarang. "Tidak apa-apalah, setidaknya memberi kenang-kenangan sebagai rasa terima kasih." Nayla meyakinkan dirinya. Dia mengambil ponselnya untuk mengirim pesan.[assalamu'alaikum. Mas Andra apa kabar? Lagi dimana nih?][wa'alaikumsalam. Kabar sehat Nay, semoga kamu juga. Lagi di kos barusan pulang tadi.][aku mau ngasih sesuatu karena mas sudah bantu aku belajar dan memberi murid untuk di privat.][nggak usah repot repot Nay, saya mbantu kamu ikhlas kok.][enggak repot mas, anggap aja sebagai kenang kenangan.][kalau kamu maksa. Hadiahnya kamu berikan buat Cindy aja.]Deg, membaca pesan yang barusan dik
Bab 18Sampai di kampus, Nayla menuju taman dekat kantin yang ada tempat duduk dan meja permanen biasa dipakai mahasiswa untuk duduk santai atau mengerjakan tugas. Di sana sudah ada Riyan, dan Mika serta dua mahasiswi satu kelas Nayla. Ternyata mereka sedang membahas tugas kelompok untuk mata kuliah kewirausahaan. Kebetulan Nayla tidak satu kelompok sama mereka."Assalamu'alaikum. Wah asyik sekali diskusinya." Nay menyapa teman-temannya dengan senyum khas dan wajah yang selalu ceria disaat bahagia ataupun sedih. Yang membedakan kali ini, pakaiannya lebih banyak model tunik. Ia menerima pemberian Bu Maya lagi, karena baju-baju putrinya masih tergolong bagus, bahkan ada yang masih baru."Wa'alaikumsalam." Mereka menjawab dengan kompak.Nayla mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi kosong sambil meletakkan tas punggungnya di meja depannya dan paper bag berisi kemeja ditaruh di atas tasnya."Kalau begitu, nanti siang kita lanjut lagi ya diskusinya," kata Rita."Iya nih, aku sama Rita m
Bab 19“Masalah hati memang tidak bisa dipaksakan. Kalau bukan dari diri sendiri yang berusaha mengobati maka dia akan selamanya terpuruk.”Siang hari yang terik, azan zuhur berkumandang, gegas Nayla ke masjid kampus untuk menunaikan sholat. Ia berencana memberikan bingkisan ke Cindy seusai salat. "Mbak Cindy ini ada bingkisan untuk Mbak." Nayla memberikan dengan tetap berusaha tersenyum. Walau hati berkecamuk, ia tetap"Apa ini, Nay?" Kening Cindy berkerut menyiratkan penasaran."Hanya sedikit tanda kasih Mbak. Kata Mas Bagas aku diminta ngasihkan ke Mbak Cindy. Semoga suka ya." Nay segera undur diri takut ditanya lebih jauh tentang pemberiannya."Makasih banyak Nay." Ucap Cindy sedikit berteriak karena Nay sudah berlalu akan pergi."Sama sama Mbak."@@@@Esok paginya suasana di kampus terasa kurang menyenangkan. Hari-hari Nayla akan berubah, dia merasa kurang bersemangat hari ini. Entahlah kenapa sejak tahu Andra jadian dengan Cindy, membuat semangatnya lesu. Seperti pagi ini dia