Pagi itu, tiba-tiba saja, Lintar ditelepon Dewi. Ia diminta untuk segera datang ke kediaman kekasihnya itu, entah ada urusan apa? Lintar pun tidak mengetahuinya, karena Dewi tidak menjelaskan maksudnya. Setelah meletakkan ponselnya, Lintar hanya duduk termenung. "Kira-kira ada apa yah, Dewi memintaku untuk datang?" desis Lintar bertanya-tanya. Setelah itu, ia bangkit dari duduknya. Lintar melangkah masuk ke dalam kamar hendak mengganti pakaian, karena saat itu ia akan langsung berangkat ke rumah Dewi. Setelah berpakaian rapi, Lintar langsung beranjak dari kediamannya dengan menggunakan sepeda motor barunya pemberian dari Dewi. Ketika dirinya hampir tiba di kediaman Dewi. Tiba-tiba saja, motornya mengalami bocor ban. Lintar tampak kesal dan segera menuntun motornya ke sebuah bengkel tambal ban yang ada di depan jalan raya tidak jauh dari kediamannya Dewi. "Maaf, Bang. Tolong tambalkan ban motor saya, sekalian saya titip, yah." "Iya, Mas," jawab seorang pria tambun bersikap sopan k
Dengan demikian, Lintar langsung meraih dompet dari saku celananya, dan mengambil selembar uang pecahan seratus ribuan, lalu ia berikan kepada pria paruh baya itu. "Ini uangnya, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja!" kata Lintar lirih. "Iya, Mas. Terima kasih banyak," jawab Pak Fendi meraih uang tersebut dari tangan Lintar. "Saya yang harus berterima kasih sama Bapak," kata Lintar tersenyum lebar memandang wajah Pak Fendi. Pak Fendi dan balas tersenyum sambil mengangguk pelan. Setelah itu, Lintar pun langsung pamit dan langsung melanjutkan langkahnya menuju ke arah beranda rumah megah yang memiliki halaman begitu luas. Rumah tersebut adalah rumah Dewi yang kini sudah menjadi kekasih Lintar. "Aku tidak boleh memberitahu Dewi tentang kejadian tadi, aku takut dia khawatir dan mencemaskan aku," desis Lintar sambil terus melangkah. Ketika sudah berada di depan pintu rumah kekasihnya itu, Lintar langsung menekan bel pintu tersebut. Mirna yang kebetulan sedang berada di ruang tengah langsu
Sekitar pukul setengah sepuluh siang, Dewi mengajak Lintar berkunjung ke rumah sahabat baiknya yang tidak jauh dari lokasi kediamannya. "Kamu ikut aku ya," kata Dewi lirih. Lintar berpaling ke arah Dewi, lalu menyahut, "Ke mana, Wi?" "Ke rumah sahabatku, kamu hari ini tidak ada acara lain, 'kan?" "Hari ini, aku sengaja datang karena aku sedang tidak ada aktivitas. Pokoknya hari ini spesial untuk menemani kamu," jawab Lintar tersenyum lebar memandang wajah Dewi "Ya, sudah. Kamu ikut aku saja! Aku mau bilang dulu ke Mirna, tunggu sebentar!" Dewi bangkit dan langsung melangkah menaiki anak tangga menuju ke sebuah ruangan yang ada di lantai atas. "Mir! Mirna!" teriak Dewi. Dengan cepat, Mirna pun langsung menyahut panggilan sang nyonya, "Iya, Bu." Mirna langsung melangkah menghampiri Dewi yang sudah ada di depan pintu ruangan tempat keberadaannya. "Mohon maaf, ada apa, Bu?" tanya Mirna ketika sudah berada di hadapan Dewi. "Kamu hati-hati di rumah! Aku mau keluar sebentar," jawab
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan Lintar sudah berhenti di bahu jalan. Tepatnya di depan pintu gerbang rumah mewah milik rekan bisnis Dewi. Lintar langsung menyalakan klakson dua kali, 'Tid! Tid!' Perlahan pintu gerbang rumah mewah itu terbuka dengan sendirinya. Lintar kembali menginjak gas melajukan mobilnya masuk ke dalam halaman rumah tersebut. Tampak dari kejauhan seorang wanita cantik tinggi semampai, berkulit putih tengah berdiri di beranda rumah tersebut sambil tersenyum lebar menyambut kedatangan Dewi dan Lintar. "Itu rekan bisnis kamu, Wi?" tanya Lintar menghentikan laju mobilnya tepat di area parkir rumah mewah itu. "Iya, dia Alena sahabat dan rekan bisnis aku," jawab Dewi lirih. Dengan demikian, mereka langsung keluar dari mobil, dan segera melangkah menghampiri Alena yang sudah menunggu mereka. "Selamat siang Ibu direktur utama," sapa Dewi langsung memeluk tubuh Alena. "Ah, kamu. Aku nunggu kamu dari pagi, kenapa baru datang?" "Maaf, Al. Tadi ada sedik
Dengan sikap ramah, Dewi langsung memesan makanan dan minuman kepada pelayan tersebut. "Aku pesan ikan mas bakar dan terong balado, jangan lupa lauk pendampingnya," kata Dewi lirih. "Baik, Bu. Terus minumannya apa, Bu?" jawab pelayan itu balas bertanya. "Es jeruk dan strawberry saja, Mbak!" Pelayan itu mengangguk pelan sambil menulis semua pesanan Dewi. Setelah itu, dia pamit dan langsung berlalu dari hadapan Dewi dan Lintar. "Suasananya sangat nyaman. Jujur saja, aku baru pertama kali ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegangi tangan Lintar. Ia sangat senang melihat Lintar sangat menyukai tempat tersebut. Tidak lama kemudian, makanan dan minuman yang dipesan oleh Dewi sudah dihidangkan oleh pelayan restoran tersebut. Semua makanan dan minuman itu diletakkan di atas meja di hadapan Dewi dan Lintar. "Terima kasih banyak, Mbak," ucap Lintar. "Iya, Pak. Selamat menikmati," jawab pelayan itu dengan sikap ramahnya terhadap Lintar dan Dewi. "Ayo, Sayang. Kit
Selepas melaksanakan Salat Ashar, Pak Dendi dan Bu Linda langsung pamit kepada Dewi dan Lintar. Karena pada saat itu, mereka akan langsung berangkat ke Bandung, dalam rangka memenuhi undangan dari rekan bisnis Pak Dendi. "Kami pulang sekarang ya, Nak," kata Pak Dendi lirih. "Lah, kok, pulang sih, Pak? Dewi kira Bapak dan Ibu mau nginap," kata Dewi meluruskan dua bola matanya ke wajah pria paruh baya—mantan mertuanya. "Bapak dan Ibu ke sini hanya sekalian mampir saja, sebenarnya sore ini kami mau langsung ke Bandung," jawab Pak Dendi lirih. "Oh ... iya, Pak," kata Dewi lirih. "Hati-hati di jalan ya, Pak, Bu!" sambung Dewi. "Iya, Nak," jawab Pak Dendi dan Bu Linda secara bersamaan "Ibu harap, suatu saat nanti kalian berdua berkunjung ke rumah." "Insya Allah, kapan-kapan. Kami pasti berkunjung ke sana," jawab Dewi. Kemudian langsung mencium tangan kedua mantan mertuanya itu. Lintar pun, menunjukkan sikap yang sama terhadap Pak Dendi dan Bu Linda. "Hati-hati di jalan ya, Pak, Bu!
Keesokan harinya ....Sekitar pukul tujuh pagi, Lintar sudah berangkat ke kantor bersama Ridwan yang sengaja numpang, karena mobilnya sedang diservis.Setibanya di kantor, Ridwan langsung masuk ke dalam kantor. Sementara Lintar langsung melangkah menghampiri seorang security yang ada di pos keamanan kantor tersebut."Selamat pagi, Pak Lintar," ucap petugas keamanan yang ada di pos tersebut, bangkit dan langsung memberi hormat kepada Lintar."Iya, Pak. Selamat pagi juga," balas Lintar."Karyawan yang lain kok belum pada datang sih, Pak?" tanya Lintar kepada Rusdi—petugas keamanan di kantor tersebut."Sepertinya mereka sebentar lagi datang Pak," jawab Rusdi. "Mending Bapak duduk dulu, kita ngopi santai dulu, pak," sambung Rusdi mengajak Lintar ngopi."Saya sudah ngopi di rumah, suka enek kalau kebanyakan ngopi," jawab Lintar langsung duduk di samping sang petugas keamanan itu."Oh ... kirain belum ngopi," kata Rusdi. "Ngomong-ngomong, itu mobil Pak Lintar baru?" tanya Rusdi melanjutkan.
Rando menarik napas dalam-dalam, ia tampak bingung mendengar perkataan Lintar seperti itu, dua bola matanya menatap tajam wajah Lintar penuh rasa penasaran."Terus, apa alasannya kamu mau mundur dari perusahaan ini?" tanya Rando."Perasaan hati terhadap seseorang, Pak!" tegas Lintar menjawab pertanyaan Rando. Seakan-akan Lintar tidak merasa sungkan mengatakan alasan seperti itu kepada bosnya."Hahaha ...." Rando tertawa lepas mendengar perkataan anak buah andalannya itu. "Lintar ... Lintar! Maksudmu perasaan cintamu terhadap seorang wanita?""Iya, Pak.""Ya Allah! Kenapa kamu harus sangkut pautkan pekerjaan dengan perasaan?" tanya Rando sambil menepuk-nepuk pundak Lintar.Rando sangat paham dengan apa yang sedang dialami oleh Lintar, dan dia juga sepertinya sudah mengetahui bahwa anak buahnya itu sedang jatuh cinta, sehingga dengan begitu mudahnya mengambil keputusan untuk mundur dari perusahaannya.Di antara mereka, memiliki hubungan yang sangat dekat, tidak ada batasan di antara ked