Share

07 | Terdesak Ancaman

Bogor sampai Jakarta kulalui dengan banyak termenung. Melamun menatap mobil yang berpapasan dengan mobil milik Marvin. Melihat lampu-lampu jalanan ketika kami berada di lampu merah dengan  diiringi lagu depresi yang terputar di radio.

Aku menghela napas, menghadapi semua ini. Bisa tidak aku menjadi cendol saja? Atau menjadi ayam suwir di bubur ayam? Atau barangkali remahan rengginang? Hidup sebagai anak perempuan yang dijodohkan lebih sulit dari pada hidup sebagai kucing peliharaan tetanggaku.

Aku meringis sedih, betapa gilanya hidupku selama satu minggu ini. Jungkir balik dengan semua serangan fakta dan kenyataan yang menamparku keras-keras. Semua hal ini seolah menyadarkanku bahwa aku tidak boleh bahagia. Bahwa genre hidupku adalah angst dan penuh dengan derai air mata dan kesedihan. Sinetron di stasiun televisi ikan terbang saja masih ada bahagianya sedikit. Hah, pengen sambat tapi aku sudah sambat sedari tadi bukan?

Kemalangan datang beruntun dalam kehidupanku, layaknya semut yang mengerubungi gula, datang banyak dan menyiksa. Datang seperti titik hujan, berjamaah menghantam duniaku. Pertama, aku dijodohkan dengan lelaki penuh sandiwara yang sudah jelas tidak akan pernah mencintaiku, Satria bin Syamsudin. Mana bisa aku menjadi istrinya? Aku dan Satria saja tidak pernah berbincang meski kami satu komplek. Ia selalu menyindir kelakuanku dan Marvin setiap ia mengisi acara pengajian ataupun khutbah hari Jum'at. Aku dan Satria menikah adalah sebuah pilihan paling buruk yang akan membuat kehancuran dalam hidupku. Dua kutub magnet yang berbeda disatukan yang terjadi tentu saja perang dunia ketiga yang menyebabkan kekacauan. End Game!

Kedua, kekasih yang sering aku banggakan dengan segala sikap baiknya rupanya hanyalah seorang pengecut, pendusta ulung, dan penjahat kelamin yang meniduri wanita lain. Buaya berkulit domba itu selalu menunjukkan wajah polos dan baik, selalu menunjukkan image sebagai cowok baik-baik yang tidak pernah menonton bokep. Tapi di balik semua topengnya, rupanya ia tak jauh berbeda dengan lelaki kebanyakan, tukang main perempuan dan menghargai seseorang dari kesanggupan si gadis menyenangkannya di ranjang. Ewh, menjijikan!

Ketiga, aku gagal mendapatkan beasiswa yang kuidam-idamkan. Setelah selama hampir setengah tahun aku berharap, ternyata yang kudapat hanya kabar buruk bahwa aku tidak masuk dalam seratus penerima beasiswa itu. Bayangkan, setelah melalui seleksi administrasi, psikotest dan test bidang akademik, focus group discussion hingga interview dengan asessor ternyata aku menelan pil pahit. Aku dinyatakan tak lolos. Aku gagal.

Rasanya aku ingin menangisi setiap malam yang terbuang sia-sia hanya untuk menulis essay yang menjadi syarat apply beasiswa. Menulis dua essay tanpa dengan tema "Peranku Bagi Indonesia" dan "Sukses Terbesar dalam Hidupku" selalu membuatku mual-mual usai menulisnya, kecemasan yang menyerangku acap kali mengerjakan essay kini menjadi kenyataan. Aku tidak berhasil mendapatkannya. Sial banget! Rasanya bahagia cuma imajinasi yang tidak bisa aku temui.

Semua perjuanganku kandas.

Alasan untuk menolak perjodohan pun tak ada.

Dan hal paling gila dari semua kemalangan di atas adalah saat aku diajak nikah kontrak oleh orang asing yang kutemui di kondangan nikahan. Orang asing yang melihatku menangis sesenggukan di cafe, orang asing yang rebutan yoghurt denganku, dan orang asing yang menangisi mantannya di kondangan nikahan.

Tresna Kartadinata.

Kakak tingkat Naya saat berkuliah dulu itu mendadak mengajakku nikah kontrak. Se-desperate itukah dia ditinggal menikah mantan hingga mengajakku nikah kontrak? Cih, menikah bukan untuk ibadah tapi untuk bercerai. Sebuah awal dibuat untuk diakhiri. Sial, sial, sial!

Aku merasa direndahkan tapi di satu sisi aku tak bisa marah. Semua penjelasan orang asing bernama Tresna itu benar-benar tak bisa kubantah. Kalimatnya singkat dan bisa aku terima. Semua ujarannya sangat logis meski sedikit melenceng dari norma masyarakat di negara kami. Aku tak bisa mengelak bahwa tawaran Tresna adalah sebuah pilihan paling tepat untuk situasiku saat ini. Sebuah solusi cepat yang bisa mengatasi situasi pelik yang sedang kualami. Sebuah langkah bijak yang bisa aku lakukan untuk mengatasi krisis dalam hidupku.

Sial, apakah aku harus menerima tawaran Tresna dan hidup sebagai istri kontrak?

Menjadi istri kontrak seorang Tresna Kartadinata, si dosen Teknik Elektro supaya tidak dijodohkan dengan si pencitraan?

Betapa nelangsanya diriku.

Kadang aku iri dengan Marvin, kembaranku yang rajin dan pintar itu tidak harus menjalani hidup sulit sepertiku padahal kami lahir di hari dan jam yang sama. Muka kami juga sebelas dua belas meski bukan kembar identik. Kami memiliki rupa yang sama tapi kadang diperlakukan berbeda. Marvin selalu dibebaskan memilih apa yang dia suka, selalu dipuji, selalu disayang oleh semua orang meski ia dan diriku tak jauh berbeda. Hanya karena aku perempuan, mereka selalu menganggapku sebagai nomer dua. Mereka selalu menekanku untuk bersikap manis dan sesuai norma. Ck, norma bangsat!

Mama dan papa tidak pernah menuntut banyak dari Marvin, berbeda dengan diriku. Ia bebas berkelana dan menentukan hidupnya. Ia bebas melakukan apapun karena ia lelaki. Huh, sungguh sangat kolot. Padahal Marvin tidak jauh berbeda denganku, dia hanya jago pencitraan dan mudah berbaur saja—hanya itu kelebihannya.

"Rencana lo selanjutnya apa, Mei?" tanya Marvin menatap lurus ke rumah. Mobil yang kami kendarai telah tiba, tapi sepertinya Marvin enggan turun karena aku sedang muram durja.

Aku menghela napas panjang, "Kenapa sih aku gak jadi cowok aja kayak kamu, Vin."

Marvin menoleh menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Aku tidak pernah menyalahkan Marvin karena ia terlahir sebagai laki-laki, aku tidak iri dengannya, aku hanya kecewa dengan keadaan dan situasi di mana kami dilahirkan. Aku sayang Marvin, dia adalah saudara yang baik tapi dunia selalu berusaha membuat kami berkompetisi dan bersaing, sungguh ironis.

"Kalau jadi cowok, kayaknya Mama sama Papa gak bakalan sekeras gini sama aku," ucapku getir yang membuat Marvin menoleh kepadaku dengan sorot yang tak bisa kuprediksi. "Seenggaknya, aku bisa dapet setengah kebebasan kayak yang mereka berikan ke kamu."

"Orang tua kita cuma ingin yang terbaik untuk anaknya, Mei. Yah, mungkin caranya aja yang gak tepat," sahut Marvin seraya mencengkeram erat setir mobil. Aku tahu ia memendam emosi di sana. Entah, marah kepada siapa? Kepada hidup? Atau kepada orang tua kami?

"Mereka cuma mau yang terbaik untuk hidup mereka, Vin. Mereka gak pernah mau dengar apa yang aku inginkan. Semuanya diatur, bahkan untuk urusan hati dan perasaan, aku gak bisa milih sendiri," kataku kemudian menatap Marvin. "Aku harap kamu bisa bahagia. Bisa bebas merasakan mencintai dan dicintai." Aku menepuk bahunya lalu melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.

***

"Mama sama Papa sudah menemukan calon yang pas buat kamu, Mei," ucap Mama menatapku girang saat kami sedang sarapan di meja makan. "Kamu pasti suka sama calon pilihan Mama dan Papa. Anaknya baik dan sholeh kan, Pa?" tanya Mama pada Papa. Matanya berbinar bangga, persis seperti saat ia menceritakan Marvin yang bisa lulus dengan gelar cumlaude kepada tetangga dulu. Sepertinya Mama merasa mendapatkan menantu seperti Satria adakah sebuah prestasi juga. Hah, males!

Papa yang biasanya hanya fokus dengan berita di koran dan kopi, kini entah bagaimana menjadi sosok yang tertarik dengan drama perjodohan ini. "Tentu, Mei pasti akan bahagia jika menikah dengan Nak Satria anaknya Haji Syamsudin."

Wow kalimat Papa sudah seperti peramal saja. Pa, Mei gak bakalan bahagia! Aku cuma bisa mendengus dalam hati.

"Ih, Papa! Gak jadi kejutan dong kalo Papa bilang-bilang ke Mei," sungut Mama kemudian menatapku yang mencoba bersikap biasa saja. "Mei, lusa kamu dandan yang cantik dan pake hijab, keluarga Haji Syamsuddin akan datang melamar kamu."

Dengan enggan aku hanya mengangguk. Rasanya potongan ayam goreng yang tengah aku suap berubah menjadi kerikil tajam yang menusuk tenggorokan. Sakit, benar-benar sakit.

Bagaimana lagi, apakah aku bisa menolak titah Mama dan Papa lalu terancam menjadi gelandangan. Aku memang punya tabungan dari kerja freelance tapi semua sudah aku investasikan di usaha temanku. Sial, mana bisa aku menariknya sekarang.

Aku belum siap hidup miskin dan aku tidak suka hidup melarat. Hidup miskin itu tidak enak.

"Menantu kita Sholeh dan baik hati begitu pasti bisa membimbing Mei," ucap Mama sembari mengambil potongan kentang balado sisa kemarin. Celotehan Mama terdnegar sangat bahagia, seperti kisah di cerita ber-genre fluffy. "Kamu kalau jadi istrinya Satria nanti harus berubah loh Mei. Jangan kayak orang Amerika sama Korea yang suka pake baju ketat-ketat, ketek sama pahanya kelihatan. Pamer aurat gak baik dan mengundang fitnah."

Membimbing? Cuih! Satria yang justru butuh siraman rohani dan ceramah. Orang-orang saja yang tidak tahu. Sisi gelapnya saja belum terbongkar.

***

Sebaris pesan membuatku terlonjak. Buru-buru aku mengambil jaket dan ponselku. Melangkahkan tungkai dan berjalan cepat menuju titik temu yang tertulis di pesan itu.

Pohon manggis.

Menjadi saksi bisu bagaimana aku dan Satria akan berbicara serius untuk pertama kali.

Satria nampak mendengus saat aku hampir terjatuh lantaran tersandung kerikil di belokan. Sial, sial, sial. Clumsy banget sih aku!

"Lemot banget sih lo, gue bilang sepuluh menit sampe sini," ujar Satria saat aku berada di hadapannya. Tiba-tiba aura tokoh antagonis dalam sinetron nampak di depan mataku. Iya, tokoh jahatnya adalah satria dan aku tokoh protagonis lemah yang cuma bisa iya-iya saja, patuh pada perintah. Heran juga aku dengannya, sepuluh menit sampai lokasi sedangkan rumahku dengan pohon manggis itu berjarak hampir setengah kilometer. Ingin sekali kucakar wajahnya. "Karena lo terlambat, gue langsung aja ke intinya."

Lihat, biasanya ia pencitraan dan bilang tidak suka berbicara dengan bahasa gaul Jakarta kini terlihat ketus dan songong memakai lo-gue. Ia bilang berkata dengan bahasa gaul tidak sopan. Hah, sekarang lihat, mana sopan santun yang ia bangga-banggakan. Sopan santunnya sudah hilang digondol kucing, dimakan harimau, dikunyah godzilla, diinjak-injak We Bare Bears—oke stop sepertinya aku mulai meracau lagi.

"Lo tahu kan ortu kita ngejodohin lo sama gue," ujarnya kemudian bersidekap. Berlagak sombong seperti yang sering dilakukan CEO-CEO di cerita fiksi. Firaun saja insecure melihat kelakuan Satria. Tobat, wahai Satria, bapakmu belum baca nih!"Maaf-maaf aja nih, Mei, badan cungkring, dada sama pantat rata bukan tipe gue."

Aku menganga mendengar perkataannya. Hello! Siapa juga yang mau dengan cowok seperti dirinya? "Kamu juga bukan tipeku. Remaja masjid macem kamu biasanya cuma bisa pencitraan," ketusku. Ah, sepertinya level rasismeku naik saat menghadapi Satria.

Dengusan keluar dari mulut anak Pak Haji itu,"Bagus, gue udah punya cewek pilihan sendiri. Kita juga sama-sama gak suka. Hal ini bisa lo pake alasan buat batalin perjodohan ini kan?"

Kedua alisku menukik mendengar perintahnya, "Kenapa  harus aku yang ngomong? Orang tuaku gak bakalan terima. Lebih baik kamu aja yang batalin. Suara maskot kesayangan masjid pasti didengar. Adzan bisa kenceng masa ngomong begini aja gak berani."

Ow, ow, aku bicara jauh dari konteks pembicaraan.

Rahang Satria mengeras, jelas aku tahu ia sepertinya tersinggung padaku tapi bodo amat, dia juga sudah mengejek dan menyinggungku sedari tadi. Anggap saja ini impas. "Gue gak bisa, bokap gue bisa kena serangan jantung kalo gue yang batalin perjodohan." Satria menunjuk wajahku dengan telunjuknya. "Batalin perjodohan itu atau lo siap-siap aja gue poligami!" Satria lantas berlalu meninggalkanku.

Mendadak aku mual, ucapan Satria terdengar menjijikan dan memojokkan.

Apa yang harus kuperbuat?

Aku meremas rambutku sendiri dan menghentak tanah. Dalam kebingungan yang kian membumbung, dalam gusar dan khawatir yang tak terkira. Ucapan dan tawaran itu datang. Menggema dan bersuara di kepalaku.

Menikah karena cinta itu sebuah kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh orang-orang seperti kita.

Untuk bisa menikmati cinta, kita harus punya status, kedudukan, dan kekuasaan, Meilavia.

Bak sihir, kata-kata itu kembali bergema dalam pikiranku. Perkataan itu seolah melambai, mengajakku ikut berkolaborasi. Memberikan pertolongan di saat aku kesusahan.

Ya Tuhan, aku memang menyebutmu di saat aku berada dalam kesempitan. Tapi apakah Tresna dan tawarannya itu adalah sebuah jalan untuk mencapai kesuksesan?

Apakah ia dan tawarannya itu sebuah pertolongan?

Aku memejamkan mata sesaat lantas  membuka layar ponselku yang terkunci. Sebuah nama di kontakku yang disimpan paksa kini terpampang jelas di layar.

Sial, apakah aku harus menghubungi Tresna dan mengiyakan kontrak pernikahan itu?

Bayangan Tresna yang menawarkan pernikahan kontrak terlintas jelas. Tawarannya menggiurkan.

Berdoa sejenak aku segera menghubungi nomer tersebut. Beberapa detik, yang kudapatkan hanyalah suara operator.

Sekali lagi aku mencoba dan hasilnya masih sama.

Aku memijat pelipisku kemudian memasukan ponsel itu ke dalam saku jaket. Berjalan pulang diiringi lagu Fix You milik Coldplay yang entah bagaimana liriknya membuatku menangis.

Oh, seandainya ada cowok yang menyanyikan lagu ini untuk menghiburku!

Mungkin sudah takdirnya bahwa nasib cintaku tragis. Lelaki hanya datang untuk singgah dan tak pernah sungguh. Mereka hanya mencari kamar sewa untuk singgah bukan rumah untuk tinggal dan menetap. Tak akan ada lagi cowok yang menyanyikanku lagu diiringi petikan gitar. Kenangan bersama Adi kembali berkelindan di benakku. Ah, kenapa ia harus menikamku di saat-saat mencekam dalam hidupku. Mengapa ia berkhianat di saat aku sedang membutuhkannya dengan sangat?

Fix You terhenti, nama Tresna terpampang di layar. Memenuhi layar gawaiku, memenuhi semua harapanku. Entah, tiba-tiba aku ingin tersenyum saat mendapat panggilan dari lelaki itu.

Hah? Tersenyum, ewh, gross!

Aku langsung merotasikan netraku, jangan gila, Mei! sugestiku pada diri sendiri sesaat sebelum mengangkat panggilan.

"Maaf, saya tadi masih di jalan," ucapnya via telepon. Suaranya serak-serak basah, sexy terdengar. "Jadi, kamu menerima ajakan nikah kontrak saya?" tanyanya to the point. Tentu ia tahu, aku tak akan menelpon jika tak menyetujui kontrak itu. Ngapain juga menelepon dia? Mau mancing bareng? Ya gak mungkinlah!

Aku menghela napas dan tetap mengangguk meski Tresna tak mungkin melihatnya. "Iya, aku mau."

"Pilihanmu tepat, Meilavia." Suaranya terdengar lagi, aku mendadak pusing. Kenapa ia memiliki suara bariton yang enak didengar seperti ini?

Aku berdeham, mengalihkan pikiranku yang mukai rancu karena banyak masalah. "Kamu masih di Bandung?" tanyaku kemudian.

"Iya," jawabnya lantas terbatuk. Hah? Tresna sakit, ya?"Saya masih di rumah teman." Suara batuk terdengar lagi dari ujung sana.

Aku mengerjap sesaat hingga akhirnya berujar, "Kamu sakit?"

Hening.

Sedetik.

Dua detik.

Tresna urung menjawab.

"Halo, kamu masih di sana?"

"Hm, iya," jawabnya. "Maaf, saya sedikit flu. Tapi tenang saja, ini tidak akan mengganggu rencana dan kontrak kita."

Padahal, aku bertanya bukan karena hal itu, tapi ya sudahlah. Aku pun langsung ke inti pembicaraan. "Sebelum kita baca dan tanda tangan kontrak. Aku butuh bantuan kamu."

"Hm?"

"Batalkan perjodohanku, dan kita bisa melakukan pernikahan kontrak itu," kataku, "datang ke Jakarta besok pagi, yakinkan orang tuaku supaya membatalkan perjodohan atau kontrak itu tidak akan pernah terjadi."

"Oh, bisa kamu kirim ringkasan tentang orang tuamu? Seperti CV disertai kebiasaan dan kesukaan mereka?" tanya Tresna.

"Untuk apa?"

Terbatuk lagi, "Untuk melancarkan urusan melamarmu tentunya."

Melamarmu

Melamarmu

Melamarmu.

Sialan satu kata itu membuat pipiku memanas. "Baik, akan kukirim nanti." Jeda. " Aku tutup telfonnya. Jaga kesehatan, ya."

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status