Share

06 | Tawaran Menggiurkan

06 | Tawaran Menggiurkan

Aku membeku saat ia menyebutkan kejadian di cafe kemarin. Saat aku menangis lantaran gagal mendapatkan beasiswa dan putus dengan Adi.

"Kamu pikir saya gak tahu kamu nangis sambil terisak minta dinikahi sama siapa itu namanya? Park Jaelani?" Ia berkata ketus.

"Kamu kok tahu?" tanyaku. Siapa sebenarnya dia?

"Yang ngasih kamu hoodie itu saya," ucapnya ketus.

Hah, cowok yang aku puji romantis itu ternyata dia? Gila! Konspirasi macam apa ini!

Belum sempat aku membalas, Naya sudah kembali dengan cengiran. "Ciye, udah ngobrol bareng," goda Naya.

Aku tersenyum ambigu berharap Naya berhenti menggoda kami.

"Ini namanya Meilavia, sepupu gue yang dari Jakarta," ucap Naya mengenalkanku pada sosok yang sejak pertemuan pertama benar-benar tidak memiliki kesan baik terhadapku.

Aku hanya terpekur, awakward dan terlihat bego. Naya menyikut lenganku beberapa kali, mengkodeku untuk mengulurkan tangan karena Tresna sepertinya enggan melakukannya duluan. "Ini Mas Tresna, dulu satu organisasi pas kuliah," ucapnya lalu menyikutku lagi. "Kenalan dulu gih biar sayang."

Aku dan Tresna sontak menoleh ke arah Naya dengan sinar laser di mata. Naya yang kadang kurang peka dengan situasi dan kondisi tentu tidak paham dengan bagaimana canggungnya aku dan Tresna. Ah, ralat! Kurasa hanya aku yang canggung, karena nyatanya Tresna hanya memandang diriku dengan dingin.

"Tresna," katanya sembari mengulurkan tangan, "Tresna Kartadinata."

Aku hampir menjatuhkan rahangku saat ia tersenyum sekilas sembari mengulurkan tangannya sebelum kembali memberi ekspresi dingin.

Hah? Maksudnya apa?

Tadi kami saling mengolok dan mengomel. Mengapa dalam beberapa detik ia berubah? Aku pun membalas uluran tangan Tresna. Sejenak aku merasa ia menyeringai kepadaku. "Mei, Meilavia Cokroaminoto."

Seperti mak comblang tidak tanggung jawab, Naya tiba-tiba berseru saat ponselnya berdering. "Ya Ampun! Suami gue telpon lagi. Kalian kenalan dulu aja ya."

Ingatkan aku untuk memaki Aksa jika ia kembali dari Jepang nanti. Kenapa sih ia berkali-kali telepon, mengganggu sekali!

Setelah beberapa Naya pergi lagi, situasi canggung menyelimuti kami. Tak ada tanda-tanda Tresna akan berbicara dan membunuh sunyi. Aku juga bingung harus memulai percakapan bagaimana setelah dua kali pertemuan buruk kami. Ah, ralat tiga kali.

Aku sudah skeptis.

Rencana Naya menjodohkanku dengan temannya pun kandas.

Sepertinya aku benar-benar sial.

Mengapa pula dari sekian banyak lelaki di dunia, Tresna harus menjadi teman Naya. Mengapa pula dari sekian banyak mini market di Bogor kami harus bertemu malam itu? Dan juga, kenapa ia melihatku menangis di cafe kemarin. Gila, ini memalukan!!! Yang paling membuat jengah, aku tadi memergoki Tresna menangisi pengantin yang sekarang sedang haha-hehe bahagia dan mengolok dirinya.

Oh, shit!

Tresna bukan pilihan tepat yang bisa dibawa kepada Mama untuk menghentikan perjodohan konyol dengan Satria. Mana mungkin ia mau denganku setelah semua kejadian menjengkelkan yang ia alami saat bersamaku?

Aku harus mengambil langkah!

Aku harus kabur!

Berdeham, lantas aku mencari alasan pamit yang paling sopan, "Marvin nungguin dessert-nya, aku pamit dulu."

Sedetik.

Dua detik.

"Tunggu." Tresna menahanku.

Aku mengerjap beberapa saat dan menghentikan pergerakanku. Ya Tuhan, apa ia akan mengolokku lagi?

"Kamu kerja apa?" tanya Tresna dengan suara yang lebih manusiawi, maksudku tidak seketus tadi.

Menunjuk diriku sendiri aku berujar, "Aku?"

"Bukan, Naya maksud saya —ya jelas kamulah, siapa lagi di sini yang bisa saya tanyai?" Nada ucapannya datar, tapi kontennya serasa sarkas didengar.

"Freelance copywriter, nulis artikel," jawabku.

Ia menaikan satu alisnya. "Kata Naya kamu mau kuliah S2?" Wow ternyata Naya sudah mempromy diriku.

Aku menghela napas, "Seleksi beasiswanya gagal, aku kembali kerja lepas aja."

Tiba-tiba Tresna berujar tanpa ditanya. "Saya dosen di salah satu kampus negeri di Surabaya," katanya yang membuatku menaikan satu alis.

Tresna seorang dosen. Pantas saja auranya sangat mengintimidasi.

Tresna melanjutkan ucapannya, "Saya gak mau basa-basi."

Aku mengerjap beberapa kali. Tiba-tiba jantungku berdebar kencang tanpa sebab. Apa aku terkena serangan jantung?

"Saya mencari istri." Jeda beberapa detik hingga ia melanjutkan ucapannya. "Istri kontrak."

Aku menjatuhkan rahangku. Boleh aku mengumpat di hadapan lelaki yang mengaku dosen ini? "Kamu pikir nikah sebercanda itu?" tanyaku kini dengan nada satu level lebih tinggi. "Kamu kira hukum Tuhan bisa dipermainkan dengan sistem kontrak, huh?"

"Saya tidak hobi bercanda," jawab Tresna enteng. "Saya serius mencari istri kontrak."

"Arghh! Kamu tau gak kalo pernikahan itu ibadah paling panjang, ikatan sakral yang gak bisa dimainin? Kamu kira pernikahan seperti nyewa rumah pake sistem kontrak! Dosa hukumnya mempermainkan agama!" cerocosku menggebu-gebu, aku tidak percaya orang berpendidikan seperti dirinya suka mempermainkan hukum. "Aku gak bisa nikah jika aku niat bercerai."

Tresna diam, masih mendengarkan argumenku. Ia belum menyela ucapanku.

"Orang yang suka kawin kontrak itu orang yang takut dengan komitmen, gak punya tanggung jawab!" Aku menatapnya remeh, Tresna masih flat saja menanggapiku. Tenang, seperti dosen yang sedang mendengarkan mahasiswanya presentasi. "Itu berarti kalau kamu suka nikah kontrak, berarti tanggung jawab kamu lebih payah dari pada mahasiswa yang kamu ajar."

Tresna menaikan satu alisnya.

"Aku gak mau nikah sama pria cemen yang gak punya tanggung jawab." Jeda beberapa detik dan aku melontarkan sebuah kalimat yang pastinya akan membuat harga dirinya runtuh. "Aku juga gak mau nikah dengan lelaki yang gagal move on dan datang ke kondangan mantan dengan derai air mata."

Sorot mata dingin itu nampak bergetar.

Ia mengerjap beberapa kali.

Apa ia terusik dengan ucapanku?

Apa ia terluka dengan ucapanku?

"Sudah selesai?" tanya Tresna.

Aku mengangguk dan ia menghela napas.

"Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu jika memang tidak mau," ujar Tresna. "Saya kira kita orang yang sama."

Aku menahan napas mendengar ucapannya yang terdengar getir. Mengapa aku tiba-tiba merasa bersalah.

"Saya kira kita sama-sama dipecundangi dan dijadikan bahan bercanda oleh hidup maka dari itu saya memilih kamu," Tresna terdnegar sedih dan itu membuati terusik.

"Kamu butuh beasiswa S2 dan suami yang terlahir dari Jawa Timur. Saya butuh istri yang bisa merebut hati Sang Pewaris," katanya.

Hah? Sang Pewaris? Siapa dia?

"Kamu tahu kita perfect! Saling menguntungkan satu sama lain," imbuhnya lagi.

"Tapi, pernikahan gak cuma harus serasi. Pernikahan juga harus atas dasar suka sama suka atau saling cinta. Pernikahan seharursnya disertai komitmen mempertahankan pernikahan sampai ajal menjemput," sangkalku. Aku tak terima dengan ucapannya.

Tresna berdecih, matanya berkabut seolah dipenuhi kekecewaan dan duka. Aku dapat merasakannya. "Kamu kira menikahi pria yang dijodohkan orang tuamu itu akan berlangsung langgeng? Jangan mimpi, ia akan menceraikan kamu dalam hitungan bulan."

Aku tercekat, dari mana Tresna tahu semua fakta ini? Apakah ia juga ini tahu dari Naya?

"Kamu pasti tidak tahu bahwa anak ustadz gadungan itu akan menikah dengan kekasihnya dalam waktu dekat. Bukankah lebih menyakitkan ia menceraikanmu setelah pura-pura cinta?" Tresna menyilangkan tangannya. "Lebih tidak tanggung jawab mana lelaki yang mengajakmu nikah kontrak dengan banyak keuntungan atau menikah penuh dengan impian manis, tapi nyatanya kamu bukanlah pilihan dan akan ditinggalkan dengan status sebagai selingkuhan. Ingat, kamu orang ketiga yang hadir dalam hubungan Satria dan kekasihnya."

Aku terdiam segala ucapan Tresna menyakitkan tapi semua itu adalah kumpulan fakta yang tak bisa dibantah. Kebenaran yang pahit yang harus aku terima.

Bukankah Satria bisa saja menceraikanku dan lebih memilih gadis seksi itu?

"Kamu tahu sekarang kamu gak bisa menemukan lelaki yang mau menikahi kamu, kekasihmu saja menyelingkuhimu bukan?" Tresna berkata skeptis.

Aku memaki dalam hati, ia bahkan tahu alasanku putus dengan Adi. Naya benar-benar menceritakan semua aibku pada Tresna. Kenapa Naya tidak sekalian cerita jika aku diam-diam menjadi penggemar Lucinta Luna!

"Sekarang pilihan ada di tanganmu, Meilavia. Pilih menikah lalu diceraikan tanpa mendapatkan apa-apa selain gunjingan tetangga atau menikah kontrak dengan saya dan mendapatkan apa yang kamu inginkan." Ia menghadapkanku pada pilihan dan konsekuensi yang menyertainya. Ia membuatku semakin terpojok dengan semua analisisnya.

Aku menyahut ketus, "Memang apa yang aku inginkan? Sok tahu."

Tresna menyeringai, "Beasiswa pasca sarjana sebagai uang muka. Harta gono-gini setelah kita berceraidan tentu saja beasiswa S2 atau surat pengantar kerja di New York Times."

Aku menelan ludah, sialan aku akan menjadi janda parlente jika menikahi Tresna. Tawarannya sangat menggiurkan. Sialan, aku menangisi jiwa materialistisku. Aku membayangkan berjalan dengan kopi Starbucks di tangan menuju kantor New York Times.

"Menikah karena cinta itu sebuah kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh orang-orang seperti kita," kata Tresna lantas memandang nanar perempuan yang sedang tersenyum pada suaminya sekarang. "Untuk bisa menikmati cinta, kita harus punya status, kedudukan, dan kekuasaan, Meilavia."

Sial, ucapan Tresna sangat valid!

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status