42 | Senjata Makan Tuan
"Kamu tahu kan saya sangat kompetitif Meilavia?" kata Tresna. "Saya selalu menjadi nomer satu dalam hal apapun."
Nomer satu dalam hal apapun? Haha aku ingin tertawa mendengar ucapan Tresna ini.
"Kalau kamu nomer satu, kamu pasti nikahnya sama mantamu itu dulu lah, gak mungkin sekarang bikin perjanjian istri kontrak sama aku," sindirku terang-terangan seraya merotasikan kedua bola mataku.
"KAMU YA!!!!" seru Tresna menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. Jika ia tokoh dalam anime, kurasa di sekujur tubuhnya sudah ada bara api amarah yang membara dan di kepalanya tumbuh tanduk.
Wajahnya seram tapi masih ganteng.
"Aku kenapa?" balasku tidak takut.
Tresna menggerutu sendiri dan menurunkan tangannya dan berganti memegang pangkal hidungnya. "Ingat Tresna, dia dan semua saudara-saudaranya adalah titisan mony
"Buruk." Aku mulai tahu kemana arah pembicaraan paranormal andalan Mama. Mari kita tebak bualan apa lagi yang akan ia ucapkan. Heran sekali, bisa-bisanya keluargaku mempercayai semua omong kosong ini seperti kemutlakan dan keniscayaan. Pasti kali ini ia akan membahas perihal permasalahan yang menimpa keluarga kami, jelas ini soal tanah wari— "Bu Ratri saya kira anaknya ini harus segera menikah." —san. Tunggu. Wait! What? Bukan tanah warisan? Apa dia barusan berkata tentang pernikahan? Aku tidak salah dengar kan? Aku tidak perlu ke dokter THT untuk memeriksakan gendang telingaku? "Saya mencium aroma-aroma kesialan yang akan menimpa keluarga Bu Ratri jika putri Ibu ini tidak segera menikah," lanjut wanita paruh baya dengan penuh keyakinan. Hidungnya mendengus, seolah membaui sesuatu di udara. Ma
"Mei! Mei! Mei!"Gedoran pintu kamarku sukses membangunkanku dari hibernasi usai menulis hingga jam lima pagi. Pekerjaan paruh waktuku, copywriter. Kemarin pagi aku mengambil project dari sebuah toko make up daring yang ingin meningkatkan engagement media sosialnya. Sejak kemarin siang aku melakukan riset kecil-kecilan tentang brand toko itu dan target marketingnya. Syukurlah, aku berhasil menulis beberapa artikel soal tips merawat kulit dan membuat infografis yang nantinya bisa di-share di Instagram, Twitter, dan Facebook.Aku baru terlelap shubuh tadi dan Marvin sudah mulai menggangguku. Marvin Cokroaminoto sialan! Aku bersumpah akan menarik rambut yang ia cat ungu metalik itu jika alasannya membangunkanku yang baru tidur tiga jam bukanlah hal genting seperti hujan emas atau dia akan menikahi putri duyung. Sembari menggerutu aku bangun dari kasur dan membuka kamar. Wajah
Rencana gilaku yang pertama adalah aku kabur dari rumah. Well, tidak benar-benar kabur, karena Marvin masih berpamitan dengan Mama dan Papa. Ia bilang bahwa ia ingin menghiburku sekaligus ((lagi-lagi)) quality time denganku karena sebentar lagi aku, saudara kembarnya ini, akan segera menikah. Sungguh, ia pantas menjadi kesayangan Mama dan Papa karena over berbakti. Meskipun sudah akrab dengan dunia malam semenjak kuliah, Marvin tidak pernah sekalipun membantah ucapan Mama dan Papa. Ia selalu menjadi anak penurut yang mengiyakan petuah tetua.Tapi, hari ini Marvin keluar zona nyaman. Ia ikut dalam misi kabur-kaburanku ke Bogor.Misi untuk menemui kunci utama, orang penting yang bisa membantuku untuk terlepas dari perjodohan konyol ini.Ehm, dia adalah pacarku. Namanya Adimukti Darsana. Kekasih yang telah aku pacari selama empat tahun. Jarak usia kami hanya dua tahun, tapi ia sangat mengayomiku.
"Mei ..." lirihnya lagi saat aku tak bergeming di tempat.Aku tak ingin menangis. Tak akan kubiarkan buram di mataku terjatuh di pipi, setidaknya jangan di sini Tak akan kubiarkan setetes air katapun terjatuh untuk menangisi lelaki yang berkhianat dan meniduri wanita lain. Aku tidak sebodoh itu untuk menangisi perselingkuhan dan pengkhianatan Adimukti Darsana. Aku tidak mau terlihat semakin kalah dan menyedihkan di hadapan bajingan ini.Kak Adi masih mematung di tempat. Tapi mulut yang ia gunakan untuk mencium wanita lain itu masih sanggup memanggil namaku tanpa rasa bersalah dan dosa. Ewh, najis! "Mei, aku gak mau kita putus dengan ribut-ribut."Brengsek, ia bahkan telah memutuskan hubungan ini tanpa diskusi denganku. Aku baru sadar jika selama ini Adi mendominasi hubungan kami, ia selalu mengambil keputusan tanpa memikrmikan perasaanku. Ah sepertinya aku dulu dibutakan cinta dan perasaan nyaman sampai me
"Gila lo cantik banget, Mei!" puji Naya saat melihat presensiku. Gaun coklat pastel selutut yang kukenakan nampak sempurna, seolah tercipta untuk menghiasi tubuhku. Meski bagian punggungnya sedikit terbuka tapi aku tak memungkiri bahwa kini aku nampak seperti putri-putri Disney. Jika saja keluarga Haji Syamsudin tahu aku memakai dress ini pasti mereka langsung menyebutku kebarat-baratan dan memancing fitnah. Huh, dasar kolot!"Perasaan kalo gue pake ini, gaunnya jadi biasa aja, kenapa kalo lo pake jadi kelihatan mewah gini sih, ih sebel!" lanjutnya. "Bikin iri aja deh lo!"Naya memang seorang fashionista, ia menyukai gaun dan pakaian yang dikeluarkan oleh rumah mode ternama. Kadang suaminya sampai geleng-geleng kepala dengan kebiasaan shopping Naya yang suka tidak lihat dompet. Dari semua gaun pesta di walking closet miliknya, Naya memilihkan gaun yang kukenakan saat ini. Tak tanggung-tanggung, gaun ini pernah masu
06 | Tawaran Menggiurkan Aku membeku saat ia menyebutkan kejadian di cafe kemarin. Saat aku menangis lantaran gagal mendapatkan beasiswa dan putus dengan Adi. "Kamu pikir saya gak tahu kamu nangis sambil terisak minta dinikahi sama siapa itu namanya? Park Jaelani?" Ia berkata ketus. "Kamu kok tahu?" tanyaku. Siapa sebenarnya dia? "Yang ngasih kamu hoodie itu saya," ucapnya ketus. Hah, cowok yang aku puji romantis itu ternyata dia? Gila! Konspirasi macam apa ini! Belum sempat aku membalas, Naya sudah kembali dengan cengiran. "Ciye, udah ngobrol bareng," goda Naya. Aku tersenyum ambigu berharap Naya berhenti menggoda kami. "Ini namanya Meilavia, sepupu gue yang dari Jakarta," ucap Naya mengenalkanku pada sosok yang sejak pertemuan pertama benar-benar tidak memiliki kesan baik terhadapku.
Bogor sampai Jakarta kulalui dengan banyak termenung. Melamun menatap mobil yang berpapasan dengan mobil milik Marvin. Melihat lampu-lampu jalanan ketika kami berada di lampu merah dengan diiringi lagu depresi yang terputar di radio.Aku menghela napas, menghadapi semua ini. Bisa tidak aku menjadi cendol saja? Atau menjadi ayam suwir di bubur ayam? Atau barangkali remahan rengginang? Hidup sebagai anak perempuan yang dijodohkan lebih sulit dari pada hidup sebagai kucing peliharaan tetanggaku.Aku meringis sedih, betapa gilanya hidupku selama satu minggu ini. Jungkir balik dengan semua serangan fakta dan kenyataan yang menamparku keras-keras. Semua hal ini seolah menyadarkanku bahwa aku tidak boleh bahagia. Bahwa genre hidupku adalah angst dan penuh dengan derai air mata dan kesedihan. Sinetron di stasiun televisi ikan terbang saja masih ada bahagianya sedikit. Hah, pengen sambat tapi aku sudah sambat sedari tadi bukan?
Gamis merah muda dan hijab dengan warna senada tergantung di dinding kamarku. Aku yang masih memakai mukena usai sholat subuh memandang gamis itu jengah.Kenapa modelnya persis seperti seragam ibu-ibu pengajian?Ah, apakah aku harus mengenakannya saat keluarga Satria nanti bertandang?Aku segera melepas mukenaku, melipatnya dan menggantungnya di hanger bersama sajadah. Kuraih ponselku dan melihat chat terakhir dari Tresna.Tresna Kartadinata :Saya siap-siap berangkat ke Jakarta.Meilavia Cokroaminoto :Kamu gak lupa dengan pesan-pesanku kan?Tresna Kartadinata :Kita akan melakukannya sesuai rencana.Kita? I. T. A.Kita