Share

Jungkir Balik Nikah Kontrak
Jungkir Balik Nikah Kontrak
Penulis: oceanisa

01 | Ramalan Dan Nyinyiran

"Buruk."

Aku mulai tahu kemana arah pembicaraan paranormal andalan Mama. Mari kita tebak bualan apa lagi yang akan ia ucapkan. Heran sekali, bisa-bisanya keluargaku mempercayai semua omong kosong ini seperti kemutlakan dan keniscayaan. Pasti kali ini ia akan membahas perihal permasalahan yang menimpa keluarga kami, jelas ini soal tanah wari—

"Bu Ratri saya kira anaknya ini harus segera menikah."

—san.

Tunggu. Wait! What?

Bukan tanah warisan?

Apa dia barusan berkata tentang pernikahan? Aku tidak salah dengar kan? Aku tidak perlu ke dokter THT untuk memeriksakan gendang telingaku?

"Saya mencium aroma-aroma kesialan yang akan menimpa keluarga Bu Ratri jika putri Ibu ini tidak segera menikah," lanjut wanita paruh baya dengan penuh keyakinan. Hidungnya mendengus, seolah membaui sesuatu di udara.

Mama kini menatapku sadis. Aku merasa seperti sampah masyarakat dan beban keluarga yang harus dienyahkan dari muka bumi. Tiba-tiba aku merasa salah lahir ke dunia ini. Oh, My God!  Seharusnya aku lahir di Mars!

"Dia memiliki aura negatif, Bu," kata wanita paruh baya penipu itu kepada Mama, tapi entah bagaimana ia malah menatapku dengan sorot iba. Menjengkelkan, apakah bisa aku berkata cut, cut, cut! seperti sutradara sinetron. Acting dukun abal-abal itu membuatku mual. "Mbaknya kelahiran apa?" tanyanya padaku.

"Selasa Legi." Oh jelas ini bukan aku yang menjawab. Mama bersuara, ia terlihat gusar. "Wetonnya jauh lebih kecil dari kakak dan adiknya."

Wanita paruh baya itu sedikit terkejut, lagi-lagi menatapku iba. Seolah diriku baru saja menjadi korban bencana alam. "Pantas saja, saya mencium penurunan ekonomi, prahara keluarga, urusan polisi dan rumah sakit. Suram sekali, Bu! Suram, sungguh suram!"

Mama menutup mulutnya, nampak shock dengan ramalan itu. "Saya harus bagaimana, Nyai?"

Paranormal itu menatapku lekat. Memberikan senyuman sumringah yang memamerkan deretan giginya yang sedikit kuning. Ewh! Ia nampak bahagia seolah baru saja menemukan tambang emas. "Segera nikahkan dia dengan pemuda yang leluhurnya orang Timur. Yang lahir pada hari Kamis Pahing."

Satu kata yang ingin aku lontarkan saat ini;

GILA!!!

Aku hidup di abad dua puluh satu dan menikah hanya karena sebuah ramalan?

Ya Tuhan, izinkan aku kembali ke masa penjajah Belanda dan menikah dengan kumpeni!!!

Usiaku baru dua puluh lima tahun.

Aku punya cita-cita setinggi langit. Aku ingin menempuh pendidikan setinggi mungkin untuk menggapai mimpi —kalau bisa mengalahkan seri ponsel yang sudah S10. Bahkan jika ingin sok idealis, aku mau menjadi wanita karir yang berkontribusi pada perubahan negara ke arah yang lebih baik. Menggantikan menteri kelautan atau keuangan sepertinya keinginan yang ambisius tapi juga prestisius. Menenggelamkan kapal nelayan asing atau membuat kebijakan pajak baru aku juga bisa. Hahahaha!

Jalanku masih sepanjang keluhan mahasiswa semester akhir yang terancam gagal wisuda karena malas mengerjakan revisi ujian skripsi. Banyak hal yang belum puas aku lakukan di masa lajang. Aku masih ingin mengajar di pedalaman. Aku masih ingin mengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga sekaya Kim Kardashian atau setidaknya sekaya dan semapan para idol KPop yang memiliki apartemen dan mobil mewah. Dan yang paling penting, aku masih ingin mengejar gelar magister yang jelas-jelas sudah di depan mata.

Pernikahan?

Rasanya belum masuk list pencapaian hidupku dalam jangka lima tahu ke depan. Menikah untuk saat ini terdengar tidak logis dan ngawur! Kalau aku bersuami, jelas aku tidak bisa foya-foya dan jalan-jalan semauku. Aku harus memprioritaskan suami dan mungkin juga anakku kelak. Meskipun hidupku tak seindah drama Korea, haruskan aku menyerahkannya  pada lelaki asing?

Aku tidak mau terlibat hal complicated seperti itu!

Aku tahu Mama tidak logis dan selalu percaya dengan hal berbau klenik. Tapi ia tak akan senekat itu menghancurkan masa depan putrinya hanya untuk sebuah pernikahan karena alasan konyol. Tidak, Mama tidak seperti itu. Aku yakin se—

"Apa Nyai yakin kalo anak saya menikah segala kesialan ini akan segera lenyap dan ramalan buruk itu tidak akan terjadi."

—yakin-yakinnya. HAH APA???

"Saya yakin sekali, Bu Ratri. Justru lewat pernikahan itulah akan menjadi pembuka banyak kebajikan." Ya Tuhan, jelas sekali ini penipuan. Aku lebih percaya dengan diskon dari sales kredit panci daripada ucapan dukun satu ini. Mama, tolong jangan percaya!

Aku melirik Mama yang nampak gamang beserta kebiasaan buruknya jika sedang berpikir keras, mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Ah, sial! Sepertinya mama termakan ucapan si dukun abal-abal ini. Mama sungguh terusik dengan perkataan Nyai Gadungan ini.

"Jika memang itu jalan satu-satunya," Mama berbicara dengan nada getir sedangkan pikiranku sudah kocar-kacir.

Perasaanku campur aduk.

"Saya akan melakukan apapun demi keluarga saya."

Skakmat.

Sebuah ultimatum telah dijatuhkan padaku.

"Saya akan segera menikahkan putri saya dengan lelaki dari Timur."

Hari ini telah resmi.

Kemerdekaan dan hakku telah direnggut.

***

Beberapa hari ini aku lebih sering melamun, memikirkan bagaimana nasibku.

Mama, Papa, bahkan saudara kembar dan adikku yang kuliah di Surabaya mendukung rencana konyol untuk menikahkanku. Bak sales di home shopping, mereka bekerjasama menawarkan diriku layaknya aset yang bisa diperjual belikan. Menyebalkan, aku merasa tak punya harga diri.

Downgrade sekali diriku, argh!!

"Jeng Ratri, ini undangan pernikahan anak saya," ujar salah satu teman SMA Mama, Tante Hasna.  Senyum bangga terlihat di wajahnya yang mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan. "Jeng Ratri, harus dateng pokoknya. Setiap kali temen-temen ngundang gak pernah dateng. Iya gak, Jeng?" Kemudahan ia menengok ke arah teman-teman SMA Mama yang lain. Semuanya kompak mengangguk.

"Iya, nih. Jeng Ratri ini loh pas nikahan anakku juga gak dateng," Tante Irma menyahut. "Nikahan anakku yang jadi pilot gak dateng. Nikahannya anakku yang tentara juga gak dateng."

"Betul, Jeng Irma," timpal Tante Henny. "Masa pas si Merry anakku yang kerja di Kemenkeu, Jeng Ratri juga gak dateng. Ih, jahat!"

Aku menaikan satu alis. Dasar, tante-tante! Mereka sebenarnya hanya niat memamerkan pangkat anak-anaknya. Pamernya, kurang smooth nih! Aku yang segera meletakkan dua piring besar yang penuh dengan potongan brownies, berbasa-basi sedikit mempersilahkan tamu Mama menyantapnya. Huh, aku ingin segera pergi dari situasi ini dan menuju dapur lagi.

Setahuku Mama memang jarang datang ke reuni dan undangan pernikahan anak-anak temannya. Katanya malas berhubungan dengan teman-teman yang suka centil dan lupa usia. Tapi, hari ini Mama membuatku kaget. Tiba-tiba ia mengundang semua teman-teman SMA dan reuni kecil-kecilan di rumah. Sekarang aku jadi babu dadakan yang mengurusi konsumsi ibu-ibu lansia yang suka lupa usia. Lihat, ada sebagian teman Mama yang asik bermain Tik-Tok sambil berjoget-joget mengikuti irama back song. Ingin ku menegur mereka agar tidak memaksa berjoget, pulang-pulang encok kan tidak lucu.

Kalau jadi Mama, aku juga akan jarang ikutan reuni. Teman Mama kebanyakan toxic!

"Duh, Jeng. Maaf loh kalo saya jarang dateng. Taukan, butik saya itu kebanjiran orderan terus. Belum lagi ngurusin si kembar sama anak bungsu saya." Suara Mama terdengar sampai dapur. Pasti sebentar lagi akan mulai membangga-banggakan saudara kembarku dan adik laki-lakiku.

"Loh, bukannya si kembar umurnya sama ya dengan anak saya," celetuk salah satu teman Mama yang aku tidak tahu namanya. "Udah dua puluh lima kan? Anak saya aja udah ngasih cucu dua loh, Jeng. Si kembar udah nikah?"

Mulai deh, nyinyir! Aku menguping, sepertinya aku ketularan kepo dari kembaranku.

"Yang cewek mestinya udah nikah dong, Jeng Ratri. Udah lulus kuliah sama kerja kan?" timpal Tante Henny.

"Belum, Jeng. Pengennya sekolah lagi tuh si Mei. Kalo Marvin cuma badannya aja yang tambah besar pikirannya masih kayak anak SMA." Mama mulai sambat.

"Halah Jeng, kalau anak perempuan gak usah tinggi-tinggi sekolahnya. Nanti juga ujung-ujungnya sumur, dapur, kasur."

Mulai lagi nih pemikiran kolotnya. Aku sudah sering mendengar kalimat ini. Memangnya salah jika aku masih ingin kuliah S2? Toh jika aku pintar, aku bisa mendidik anakku kelak dengan lebih baik dan bijaksana. Aku suka kesal dengan orang-orang yang berpikiran bahwa pendidikan bagi perempuan tidak penting. Padahal ibu yang pintar, cerdas, dan berpendidikan menjadi salah satu kunci suksesnya satu generasi.

"Jangan kuliah tinggi-tinggi, kasian nanti anaknya Jeng Ratri. Anak laki-laki pasti kabur duluan lihat gelarnya, susah dapet jodoh."

Aku menggeleng, tak habis pikir dengan apa yang baru saja diucapkan teman Mama. Hahaha, susah jodoh katanya. Cih, menghina sekali!

"Nah, makannya itu Jeng. Saya udah nyuruh dia cepet-cepet nikah. Mau saya jodohin."

Aku mendengus.

***

"Heh, boncel!"

Aku melirik ketus ke arah sumber suara yang menyapaku dengan wajah tengilnya. Saudara kembarku yang lebih tua dua menit dariku—Marvin Cokroaminoto.

"Mau yang pedes apa jinjja pedas?" tawarnya sembari menirukan salah satu iklan mie instan di televisi. Di tangannya terdapat buku menu.

Aku hanya mendengus, tak menjawab.

Kami sekarang berada di salah satu pusat perbelanjaan. Marvin bilang ia ingin mampir ke salah satu gerai yang menyediakan ayam pedas cepat saji sekaligus quality time dengan saudara kembarnya. Akal-akalan saja, ia memaksa dan menyeretku ke sini di tengah kegiatan rebahanku.

Semenjak keluargaku memaksaku untuk menikah. Aku kehilangan muka dan memilih mendekam di zona nyamanku sembari mengerjakan beberapa pesanan artikel dari klien, menonton drama dan variety show yang dihadiri idolaku. Aku jarang keluar rumah semenjak satu komplek membicarakan diriku. Rasanya seperti artis yang terkenal skandal. Paparazi dimana-mana.

"Yaelah masih ngambek aja."

"Salah kamu sendiri ngajakin aku keluar. Udah dibilangin aku malu. Ini rasanya udah kayak gak punya wajah lagi buat keluar rumah," ketusku. Marvin jelas-jelas tahu bagaimana kondisiku. Menjadi bahan gosip di komplek bukan pekerjaan mudah. Keluar di saat dinding seperti membicarakanku rasanya risih sekali. Tadi saat Marvin mengeluarkan mobil dan aku menjadi tukang parkirnya, semua orang sudah mulai kasak-kusuk.

"Wajah lo masih di situ-situ aja kali kagak pindah." Ia mendekatiku memandangku lamat-lamat dengan kedua iris coklatnya yang disebut-sebut mirip denganku. "Lo masih mirip gue, berarti lo masih cantik. Wajah sebelas dua belas sama artis Korea kok malu keluar sih." Tangannya terulur menyentil dahiku.

"Anjir, Marvin! Sakit tahu. Gak usah sok kayak cowok di anime kamu! Aku kembaranmu kalo kamu lupa!" Marvin hanya nyengir, kebiasaan dia melatih diri sebagai cowok romantis denganku untuk nanti dicoba pada gadis yang akan ia dekati. "Kamu gak ngerasain jadi aku yang sekarang udah kayak artis kena skandal. Dimana-mana dibicarain!"

Marvin terkekeh. "Santai aja kali, digosipin malah dapet pahala. Menggunjingkan sesama katanya kayak makan bangkai. Eh bener gak sih?"

"Hahaha," tawaku mencoba terdengar dibuat-buat. "Kalau ngaji jangan kebanyakan ngantri telur gulung, Pak Ustadz dengerin. Belagu banget kamu, sok ceramah tapi tiap malming mabok!"

Marvin mencebik mendengar ejekanku. "Sewot amat! Jangan menyentuh ranah pribadi ya gue gak suka!"

Aku menutup telingaku, menolak mendengarkan Marvin. Lidahku terjulur mengejeknya. Marvin lantas memukul kepalaku dengan buku menu, "Marvin, anjing!"

Percakapan kami terhenti saat Marvin menoel bahu, ia menunjuk ke belakangku. Aku sontak menoleh dengan dahi berkerut. "Kenapa sih?"

"Itu Mas Satria, bukan?" tunjuk Marvin pada sesosok pria yang sedang bergurau dengan seorang gadis. Kemeja biru muda yang digelung itu terlihat familiar. Potongan rambut dan bentuk rahangnya mirip sekali.

"Iya, kayaknya Mas Satria deh, "sahutku.

"Anjir, itu ceweknya bukan?" Marvin bertanya-tanya, kadang jiwa kepo-nya melebihi pengikut Lambe Turah. Membuatku akhir-akhir ini juga ketularan dirinya. Haus gosip disaat menjadi bahan gosip, ah ironis! "Gila, anak Pak Haji Syamsudin ceweknya macem begitu. Sexy asoy!"

Satria adalah anak salah satu pemuka agama di komplek kami yang setiap tahun naik haji. Ia bekerja sebagai guru di salah satu SMP Negeri dan sudah menjadi pegawai negeri sipil. Satria tenar lantaran ia ia rajin adzan dan sholat berjamaah. Rsjin menyapa tetangga dan tersenyum yang kadang membuatku bertanya-tanya apakah giginya tidak kering? Yang jelas, ibu-ibu komplek ingin mengangkatnya sebagai menantu. Kapan lagi memiliki menantu dengan pekerjaan stabil dan sholeh.  Tapi semua gagal di tengah jalan karena Pak Haji Syamsudin ingin menantunya lulusan Al-Azhar atau setidaknya pernah menjadi santri di Gontor.

Reputasi seorang Satria bin Syamsudin sungguh sempurna. Tapi hari ini aku dan Marvin jelas  melihat Satria yang amat  kontras dengan reputasinya selama ini. Karena si anak sholeh dan putra kesayangan Pak Haji Syamsudin sore itu mencium mesra seorang gadis.

Gadis dengan make up menor yang mengenakan mini dress fit body bercorak macan tutul.  Belahan dada dan punggung mulus gadis itu terekspos. Bebas dilihat. Bebas dipandang. Gratis tidak pake bayar.

"Itu leher sama mukanya kok beda sih Mei warnanya," celetuk Marvin. "Foundation-nya ketebelan."

"Belum suntik pemutih kali, Vin. Udah deh gak usah nyinyir," tegurku.

"Tolong berkaca ya saudari, lo juga barusan nyinyir," sungut Marvin.

Aku tak menggubris Marvin pikiranku melayang pada sosok yang tengah mengecup punggung tangan si gadis.

Ewh.

Lulusan Al-Azhar?

Cuih, dunia hanya penuh pencitraan.

[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status