Share

04 | Dunia Telah Runtuh

"Mei ..." lirihnya lagi saat aku tak bergeming di tempat.

Aku tak ingin menangis. Tak akan kubiarkan buram di mataku terjatuh di pipi, setidaknya jangan di sini  Tak akan kubiarkan setetes air katapun terjatuh untuk menangisi lelaki yang berkhianat dan meniduri wanita lain. Aku tidak sebodoh itu untuk menangisi perselingkuhan dan pengkhianatan Adimukti Darsana. Aku tidak mau terlihat semakin kalah dan menyedihkan di hadapan bajingan ini.

Kak Adi masih mematung di tempat. Tapi mulut yang ia gunakan untuk mencium wanita lain itu masih sanggup memanggil namaku tanpa rasa bersalah dan dosa. Ewh, najis! "Mei, aku gak mau kita putus dengan ribut-ribut."

Brengsek, ia bahkan telah memutuskan hubungan ini tanpa diskusi denganku. Aku baru sadar jika selama ini Adi mendominasi hubungan kami, ia selalu mengambil keputusan tanpa memikrmikan perasaanku. Ah sepertinya aku dulu dibutakan cinta dan perasaan nyaman sampai melupakan fakta bahwa Adi selalu otoriter dan semau dirinya sendiri. Seharusnya dulu aku mendengar kata-kata kakak tingkatku dan teman-teman seangkatan Adi saat kami masih kuliah. Mereka selalu menggunjing Adi sebagai lelaki penjilat bermuka dua dan selalu semau dirinya sendiri. Mengapa aku baru sadar hal ini sekarang?

Mei, kamu goblok banget!

Putus? Enak saja Adi berbicara!

Seharusnya aku yang berhak memutuskannya setelah semua kebohongannya. Seharusnya itu bagianku!

Aku berjalan dengan diam, berlalu saja dari sosok Kak Adi yang kini menatapku dari jarak dua meter. Kak Adi terlihat gusar. Baru saja kepergok selingkuh mana mungkin ia akan bisa say hi, dan memeluk erat seperti yang biasa ia lakukan jika bertemu denganku. Kalaupun sekarang ia melakukannya aku sudah siap memukulnya dengan high heels yang aku kenakan.

Sedangkan gadis dengan gaun tidur menggoda itu nampak kebingungan di balik pintu, menatapku dan Kak Adi secara bergantian. Melihat gerak-geriknya, aku tahu bahwa sepertinya gadis muda itu tahu bahwa Adi sudah memiliki kekasih. Sialan, aku ingin muntah jika mengingat bagaimana Kak Adi pernah memelukku di saat tangan itu juga pernah menjamah tubuh wanita lain. Rasanya tubuhku kotor dan aku merasa tak berguna.

"Brengsek," makiku saat melewatinya.

Kak Adi menarik tanganku, membuatku terhenti. "Mei," panggilnya, "kita harus bicara masalah ini."

"Jangan pegang aku, bajingan!" desisku sembari menarik tanganku darinya dan berlalu.

Lima langkah si bajingan itu berteriak.

"AKU GAK MAU KITA MUSUHAN, MEI! KITA MASIH BISA BERSAHABAT!"

Dadaku sakit.

Bersahabat dengan mantan?

Tidak ada dalam kamus hidupku.

Aku tak berbalik hanya menyahuti ucapannya dengan menahan murka, "Aku gak bersahabat sama penjahat kelamin kayak kamu!"

Adi mengejarku, ia menarik paksa diriku masuk ke rumah. Aku terisak entah lantaran sakit di pergelangan tanganku atau karena mengetahui fakta perselingkuhan yang dilakukan Adi. Sial, bahkan aku tidak sanggup menahan air mata.

Gadis dengan gaun tidur itu membuntutiku dan Adi. Ia ikut dalam pembicaraan ini.

"Gisa, ambilin Teteh Mei air," titah Adi pada gadis berjubah tidur itu. Oh, namanya Gisa dan usianya lebih muda dariku. Hah, Adi ternyata mencari daun muda juga, cih! Gisa menurut dan ia berjalan ke arah dapur mengambilkanku air. Haha aku bahkan lupa bahwa dapur rumah Adi berpindah. Gisa jauh lebih mengenal rumah Adi dibandingkan diriku. Hah, sudah berapa lama ia berselingkuh dan mengkhianatiku?

Adi menghela napas panjang, kemudian ia menatapku lekat. Tatapannya sulit diartikan dan aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Hah, aku tidak butuh penjelasan apapun saat ini. Sudah jelas dari gerak-geriknya bahwa ia lebih memilih Gisa dibandingkan diriku. Untuk apa lagi Adi berbicara? Ingin menambah sakit di hatiku? Mengajakku berbicara seperti ini rasanya seolah aku terjatuh dan berdarah kemudian lukanya ia taburi dengan garam. Mentalku disiksa dengan melihat mantanku dengan selingkuhannya.

Gisa kembali dengan air putih dan beberapa makanan ringan. Ia seolah tak bersalah dengan sikapnya yang sok baik menjamuku saat ini. Arghh! Aku ingin memaki! Gadis itu telah memakai sweater rajut dan duduk di samping Adi. Sialan!

"Sebenarnya aku mau memberitahu ini sejak lama, Mei," Adi mulai bersuara. "Tapi selalu gak ada waktu yang tepat."

Ingin kucakar mulut Adi dan menyiram air di meja ke Gisa sekarang. Tapi sayangnya ini bukan sinetron dan drama.

"Perasaanku udah lama menghilang sejak aku pulang ke Bogor," lirihnya."Maaf, aku gak bisa LDR, Mei. Aku gak bisa dari awal."

"Seharusnya kamu bilang kalau emang udah gak punya rasa sama aku. Bukannya malah diam dan selingkuh kayak gini! Kamu pengecut, Kak! Cowok yang gak punya nyali!" Emosiku meluap. Adi seolah menyalahkan keadaan kami. Memang salah siapa ia pulang ke Bogor. Dengan gelar yang ia miliki seharusnya ia bisa bekerja di  Jakarta. Yang membuat situasi ini rumit adalah dia sendiri.

"Aku sudah pernah bilang ke kamu kalau aku gak bisa LDR," Adi masih kekeuh dan tak mengakui kesalahannya.

"Kapan? You never told me!" Aku semakin meninggi. Gisa yang memilin jemarinya langsung tersentak. "Kamu gak pernah bilang ke aku!"

Adi memandangku dengan raut penuh kabut entah ia menyesal atau marah. Keduanya nampak bercampur di tatapan matanya. "Aku udah pernah bilang ke kamu," lirihnya, "gak secara langsung tapi seharusnya kamu mengerti."

Aku menaikan satu alisku, sungguh biasanya lelaki to the point. Tapi mengapa Adi jauh lebih complicated dari wanita.

"Ingat pas kamu wisuda?" tanya Adi.

Tentu aku mengingat moment itu. Adi datang dengan sebuket bunga mawar besar besar dan sebuah cincin bertahta berlian. Semua teman-temanku berteriak iri melihat betapa romantisnya Adi saat itu. Hah, dulu aku berbunga-bunga jika mengingatnya. Sekarang aku ingin muntah.

"Aku bilang bahwa aku bosen LDR dan ngajak kamu nikah," ucapnya, "tapi kamu gak menganggap serius ucapanku dan memilih berfoto-foto dengan kembaranmu dan teman-temanmu."

Aku membelalak, "Aku mau nikah sama kamu, Kak. Tapi aku sudah bilang kalau aku masih ingin S2. Kamu tahu sendiri kan mimpiku." Aku bukannya mengabaikan Adi saat itu. Aku bahkan menjawab permintaannya. Saat itu ia terlihat seperti bercanda, cincin itu kukira hadiah wisuda dan bukan cincin lamaran. Adi seharusnya paling tahu bahwa aku tidak mau menikah muda lalu mengapa ia melamarku di saat yang tak tepat.

"Nah, itu dia masalah kita, Mei," ujarnya. "Kita sudah gak sejalan. Kamu gak bisa mengerti apa yang aku mau. Kalaupun kamu menerima lamaranku dulu kenapa kamu gak pernah pakai cincin itu?"

"Aku sengaja simpan biar gak rusak," jawabku jujur dan tak mengada-ada.

"No, that's not the answer," Adi menatapku lekat seolah menguliti ku hingga ke tulang-tulang. "Dari awal kamu gak pernah yakin sama aku."

"Maksud kamu apa? Gak mungkin aku gak yakin kalau aku pacaran sama kamu sampai empat tahun!" Gila! Bisa-bisanya dia berkata bahwa aku ragu dengannya. Empat tahun itu kemana? Waktuku telah diinvestasikan untuk berpacaran dengannya itu tak dianggap. Kalau aku tak yakin, aku sudah memutuskannya sejak lama.

Gisa menghela napas, tiba-tiba gadis itu berujar dengan suara polos seperti anak kecil. "Karena Teteh gak mau tidur sama Aa'."

Aku melotot. Alasannya hanya karena ranjang? Mana mungkin aku menyerahkan kesucianku? Gila!

"Kamu beneran penjahat kelamin!"

Adi sedikit tersinggung. Tiba-tiba ia menatapku sinis. "Aku udah mencoba bersabar dan ingin menyelesaikan ini baik-baik. Tapi kamu selalu seperti ini, playing victim. Merasa paling tersakiti. Kamu sok suci, memang aku gak tahu kamu udah pernah tidur dengan cowok lain."

Selama ini Adi menilaiku seperti itu. Bisa-bisanya aku pacaran dengan bajingan seperti dirinya!

"Kamu nolak aku ajak nikah dan sekarang pas aku memilih cewek lain kamu marah." Adi mendengus. "Kamu gak berhak marah, kamu juga salah, Mei!"

Aku segera meraih segelas air di meja dan menyiramnya ke Adi dan Gisa. Mereka kaget. "Maksud lo, apaaan!" Adi murka.

Aku berdiri dan memaki sebelum pergi dari rumah sialan itu. "FUCK YOU!"

***

Aku tak pernah menyangka akan melakukan hal yang menurutku sangat dramatis dan lebay untuk dilakukan. Menangis sembari mengendarai motor di jalanan Bogor. Aku pernah mengejek Naya karena ia menangis di atss motornya setelah bertengkar dengan teman-teman SMA-nya. Seharusnya aku tidak mengejek Naya dan melakukan hal serupa.

Karma is real.

Sekarang aku mengalaminya.

Berbeda dengan Naya, aku justru menangisi hubunganku yang kandas setelah empat tahun berjalan. Sialan, bukankah ini sama saja dengan berkuliah. Seharusnya aku sekarang memindahkan tali toga dan dapat gelar sarjana, bukannya disuguhi pemandangan wanita sexy dan fakta perselingkuhan kekasih yang sering kubanggakan itu. Kekasih yang sering kubela saat Marvin dan Naya sering mencela. Yang sering kulindungi saat teman-teman seangkatannya menyebarkan kebusukannya. Aku tidak menuai apa yang kutanam. Ketulusanku berbuah pengkhianatan.

"Sial banget hidupku," desisku lalu air mata kembali mengucur. Di bawah lampu merah dan sorotan CCTV aku menangis. Aku hanya berdoa semoga aku tidak viral.

Kukira Adi lelaki yang penuh tanggung jawab, mengayomi, dan tidak mungkin menyakiti hati wanita. Tapi aku salah, ia hanyalah serigala berbulu domba, dan buaya darat cosplay kucing oren. Penjahat kelamin yang tak berani menyelesaikan masalah dan hanya bisa menyalahkan orang lain.

Ah, apa karena kesalahpahaman di waktu wisuda itu ia tega berkhianat.

Aku memang sedikit bersalah lantaran tak memaham7 keinginannya. Tapi apakah semua hal itu bisa ia jadikan alasan untuk berselingkuh. Lagi pula seharusnya ia bicara, bukannya diam dan menusuk dari belakang. Oh My God! Aku juga menyadari masalah besar yang diakibatkan kandasnya hubunganku dan Adi.

Bagaimana aku menemukan calon suami untuk mencegah perjodohan konyol ini?

Mengapa sih ia harus berselingkuh di saat aku sangat membutuhkan status sebagai kekasihnya? Mengapa ia berselingkuh di saat aku ingin menerima ajakannya menikah saat wisuda dulu.

KENAPA HARUS SEKARANG KAMU SELINGKUH, BAJINGAN!!!!

Kenapa dia selingkuh saat aku butuh dia?

Kukira Kak Adi adalah laki-laki baik yang serius denganku saat ia melamar dan mengajakku menikah saat wisuda.

Mengapa ia salah mengartikan dan tak sabar.

Ah, benar dia adalah seorang otoriter. Saat aku tak menuruti egonya, ia akan mencampakkanku. Fuck!

Mereka bilang saat lelaki mengajak ke pelaminan adalah bukti keseriusan namun ternyata tak selamanya itu benar. Lewat hari  ini, Kak Adi sudah menunjukkan padaku bahwa pernyataan itu tidak benar.

Lelaki tetaplah bajingan, bahkan saat ia sudah pernah mengajakmu menikah.

Tak terasa sudah hampy satu jam aku berputar-putar naik motor tanpa arah. Saat melihat sebuah cafe yang lenggang, aku segera memarkirkan motorku di halamannya. Helm yang kupakai kulepas, lalu kedua belah telapak tanganku menghapus air mata. Kurasa sudah cukup menangisi betapa nelangsanya diriku yang menjadi korban perselingkuhan dan gagal mencari calon suami.

Kehidupan asmaraku hancur tapi semoga saja kehidupan akademisiku bersinar terang. Aku menguatkan diri dan melangkah masuk, memesan minuman seadanya dan mencari tempat duduk paling pojok. Rencanaku mengajak nikah Kak Adi boleh jadi gagal total. Namun, rencana untuk melihat pengumuman beasiswa hari ini tidak boleh tertunda.

Menikah adalah keinginan keluargaku, sedangkan keinginanku sendiri adalah melanjutkan program magisterku. Orang tuaku mungkin tak akan membiarkanku kuliah S2 jika tidak menikah. Tapi persetan, jika aku memperoleh beasiswa tak akan mungkin mereka menahanku, bukan?

Aku segera membuka gawaiku, notifikasinya penuh dengan panggilan dari Marvin dan Naya. Kuabaikan mereka semua. Aku justru menuju browser. Dengan jantung berdebar aku segera log-in ke dalam website, memasukan alamat surel dan kata kunci untuk masuk ke dalam akunku.

Aku mengerjap beberapa kali hingga mataku pedih. Aku berharap apa yang kulihat kini bukanlah hal nyata. Tulisan merah di layar yang menyatakan bahwa aku tidak lolos seleksi beasiswa menamparku lebih keras dari pada fakta perselingkuhan yang Kak Adi lakukan.

Kenapa hidupku harus selalu sial, Tuhan?

Bahkan karir dan percintaanku tidak ada yang mulus. Apa benar kata paranormal Mama jika diriku ini pembawa sial? Semua usahaku tak akan berhasil. Hidupku akan dipenuhi kemalangan dan bermuram durja.

Kisah cintaku kandas.

Dan beasiswa itu juga gagal diraih.

Aku segera mendial nomer Marvin, secepat kecepatan cahaya ia mengangkat panggilanku.

"Enak banget ya pacaran sampe lupa waktu, lo!" ketus Marvin tanpa salam tanpa aba-aba. "Inget jam Mei, jangan aneh-aneh berduaan!"

Aku terisak mendengar suara Marvin.

"Lo nangis, Mei?"Aku bisa membayangkan bagaimana panik dan cemasnya Marvin sekarang, my soulmate!

"Marvin," rengekku. Sudah saatnya Marvin menjadi seorang kakak dan aku seorang adik.

"Sekaranglodimana?Biar gue sama Naya jemput lo!" jawab Marvin.

"Iya, aku share-loc," kataku lantas memutus panggilan dan mengirim lokasiku sekarang.

Aku menangis lebih kencang, untung saja cafe ini sepi. Hanya ada satu pengunjung yang mengenakan hoodie di pojokan yang fokus dan laptopnya. Bagus, ia tak perlu memperhatikanku. Aku bisa menangis dengan bebas dan sepuasnya. Aku memang headset dan lagu galau dari K-Band DAY6 mengalun di volume paling kencang.

I feel like I become a zombie

Not alive but I'm still walking

Sial, suara raspy Sungjin membuatku semakin menitikkan air mata. Lagu berjudul Zombie itu rasanya sangat mewakili perasaanku. "PARK JAEHYUNG MARRY ME PLEASE!!!" rengekku dalam tangis.

Kamudian lagu dari SEVENTEEN yang berjudul Hug berputar. Hah, aku sedih dan lagu ciptaan Woozie itu seolah memeluk kesedihanku. "KIM MINGYU!!!!" Kemudian aku kembali terisak.

Tangisku semakin kencang tatkala lagu BTS yang berjudul Sea berputar. Feel this on spiritual level. Lagu ini sangat relate dengan kehidupanku yang rasanya melelahkan. Aku kembali terisak dan menunduk di meja. Tiba-tiba saja sebuah hoodie hitam jatuh di kepalaku. Aku mendongak, dan siluet pria dengan t-shirt putih berkata sembari membelakangiku.

"Berisik banget kalau nangis!" gerutu pemuda itu kemudian berjalan keluar dari cafe.

Aku mengerjap sesaat. Ia menatap punggung pemuda yang menjauh dan hoodie hitam itu bergantian. Punggung dan suaranya familiar.  Aku ingin mengejar pemuda itu tapi sial, sekumpulan anak SMA masuk. Aku mengurungkan niat saat pemuda itu hilang di belokan dan kericuhan anak SMA menyergapnya. Segera ia mengenakan hoodie yang berbau rokok dan parfum maskulin pria, memasang kupluknya agar tak terlihat wajah sembabku.

"Cowok tadi siapa?" gumamku. "Kayaknya pernah ketemu." Berapa kali aku mencoba mengingat aku masih saja tak bisa mengenali dirinya.  Aku melihat pantulan wajahku di gawai. Melihat diriku dengan hoodie hitam ini membuat perutku tergelitik. Ah, kupikir cowok tadi lumayan romantis.

Sekitar setengah jam kemudian, Marvin dan Naya menghampiriku. Sepupuku itu langsung memelukku tanpa bertanya macam-macam saat melihatku seperti baju yang belum disetrika. Kusut dan lecek. Mataku membengkak karena air mata, make up-ku juga luntur. Penampilanku mengerikan.

"Lo gak lolos beasiswa?" tanya Marvin begitu ia duduk di hadapanku. Kembaranku menghela napas.

Aku hanya mengangguk, Naya mengelus lenganku, seolah menyuruhku bersabar. Menguatkanku lewat sentuhannya.

"Yaudah, kuliah lo biar gue bayarin. Gue dapet promosi di agensi, gajinya cukup sih buat bayar uang kuliah lo," ucap Marvin sembari memanggil waiters.

"Iya, biar si cecunguk ini yang bayar sekalian nebus dosa-dosanya jadi kembaran bego," sahut Naya. Marvin mendengus.

Marvin dan Naya belum tahu jika Kak Adi selingkuh. Apakah aku harus menceritakannya juga?

"Adi dimana? Laki gak guna banget, lo lagi sedih gini bukannya di sini menghibur lo." Marvin mulai mengomel sana-sini. "Tuh orang gak bisa diandelin banget!"

Aku menghela napas.

Sepertinya aku harus mengatakan ini pada mereka sebelum mereka tahu dari orang lain.

"Aku sama Kak Adi putus."

Hening.

Naya dan Marvin saling pandang.

"Gue gak ... salah denger?" tanya Naya terbata-bata. Ia melepas pelukannya dan menatapku dengan air muka sulit dijelaskan.

Aku mengangguk.

"Putus kenapa? Dia gak mau diajakin nikah," tanya Marvin terdengar antusias. Kembaranku ini tak menunjukkan rasa sedih sama sekali, ia justru terlihat girang. "Buset gue gak tahu nih harus seneng atau malah sedih. 70 persen seneng. 30 persen berbela sungkawa."

"Aku belum nanya apa dia mau nikah sama aku atau enggak," kataku sembari diam-diam mengepalkan tangan sendiri. "Kita putus karena dia —" Aku tak sanggup melanjutkan ucapanku. Rasanya menyakitkan menyebutkan fakta yang sebenarnya tentang kandasnya hubungan kami. Harga diriku rasanya runtuh. Aku seperti barang useless yang tak berharga. Sialan, apakah putus cinta membuat self esteem dan confidence-ku turun?

Marvin terdiam sesaat. Ia menatapku dengan sorot tajam. Tanganya yang berada di atas meja mengepal. Aku tahu, Marvin geram, marah, dan sedang berada di suasana hati yang buruk. Sorot matanya persis saat ia tahu aku menjadi korban perundungan saat SD dulu. "Dia selingkuh kan?" tebaknya jitu, tepat sasaran.

Aku terdiam.

"Jawab, Mei!" Marvin menggebrak meja membuat aku dan Naya terlunjak.

Naya menghela napas, "Vin, sabar dulu."

"Gue mana bisa sabar kalo lihat kembaran gue diselingkuhin, Nay!" ketus Marvin. "Argh bangsat!"

Naya diam. Aku dan Naya tahu bagaimana jika Marvin mulai marah. Pemuda itu memang tengil dan usil, tapi sekalinya marah, kembaranku itu sangat menakutkan.

Aku masih setia dengan keheningan. Naya mulai was-was melihat Marvin yang mulai naik pitam.

"SIALAN, GUE HARUS KASIH DIA PELAJARAN!"

"Gak usah ngadi-ngadi kamu," lirihku saat Marvin mulai berapi-api hendak pergi dan pastinya akan menghajar Kak Adi. Begitu-begitu Marvin pernah ikut les taekwondo. Tendangannya pernah membuat gigi pelatihnya rontok dua. Saat SMA dulu, Marvin menjadi andalah saat sekolah  kami ingin tawuran dengan anak STM.

"KENAPA? DIA HARUS DIKASIH PELAJARAN KARENA BERANI NYELINGKUHIN ADIK GUE! KEMBARAN GUE YANG CANTIKNYA KAYAK MIYEON G-IDLE!!!" Marvin berapi-api menolak ujaranku.

"Gak usah, biar aku aja nanti yang balas kelakuannya," ucapku lalu menekan kalimat selanjutnya, "pake cara gilaku nanti."

Marvin langsung duduk. Amarahnya langsung mereda seketika. Sungguh Marvin harus diperiksa psikolog atau psikiater, mood-nya itu loh! "Gue harus ikut ambil bagian nanti pokoknya."

Aku mengangguk kemudian ber-high five dengan kembaranku. Kami terlihat sangat akur bukan?

Naya menghela napas. "Seriusan kalian ini sama-sama gila. Tapi gue setuju. Lebih baik pake caranya si Mei aja. Pasti lebih drama nanti."

"Sekarang ada yang lebih penting daripada balas dendam dan nangisin bajingan itu," kataku.

Naya dan Marvin menatapku. Menyimak apa yang hendak aku sampaikan.

"Aku gak mau dijodohin sama Mas Satria," ujarku, "dia udah punya pacar dan aku gak mau jadi menantu muslimah yang nantinya bakalan dipoligami." Aku bergidik ngeri membayangkan hidupku nanti seperti sinetron Suara Hati Istri.

Naya dan Marvin memberikan dua jempol mereka kepadaku. "KITA MENDUKUNG, KAPTEN!"

"Kalian tahu kan dua hal yang bisa bikin perjodohan ini batal. Yang pertama adalah jika aku bawa calon suami atau mendapatkan beasiswa magister. Aku gak bisa minta duit Marvin buat kuliah, Mama sama Papa pasti melarang." Aku menghela napas. "Aku juga kasian kalau Marvin harus bayarin biaya kuliahku, kamu kan cowok, Vin. Nanti kalau berkeluarga kamu butuh banyak uang buat anak istrimu."

Marvin menggaruk tengkuknya, sepertinya ia menyetujui perkataanku. Kemudian ia berkata,  "Oke deh kalau lo gak mau gue bayarin. Terus sekarang gimana? Lo gak punya calon suami dan gak punya duit atau pun beasiswa buat bayar kuliah S2 lo, iya kan?"

Aku mengangguk, kemudian menatap Naya. Sepupuku itu bingung menaikan satu alisnya. "Kenapa lo lihat gue kayak gitu?" Ia terlihat clueless sekarang. Aku menyeringai, tersenyum penuh misteri. "Kenapa sih, njir? Jangan bikin gue parno gini dong."

Marvin menyahut, "Iya. Lo kenapa sih, Mei?"

Aku terkekeh seraya mendekati Naya. "Nay, kamu kan punya banyak kenalan cowok dari Jawa Timur, please kenalin aku satu aja yang mapan dan ngebet nikah," pintaku padanya.

Naya menatapku tak percaya. Rahangnya seolah terjatuh dan ia melongo untuk beberapa saat.

"Gimana, Nay?" tanyaku.

Marvin memandangi aku dan Naya bergantian.

"Gue tahu lo gila," Naya memejamkan dwinetranya sesaat, "tapi apa bedanya dijodohin emak lo sama dijodohin gue, njir?"

Marvin menggeleng, sepertinya ia paham apa yang ada di kepalaku. Sometimes we share the same brain cells. "Beda, jodoh yang ditawarin mama itu bajingan dan gak banget. Kalo kenalan lo kan anak hits semua. Anak pejabat, CEO startup, dokter, tentara, polisi, pengacara, dan orang hebat kesukaan orang tua."

Naya menggeleng. "Edyaaaan! Kalian berdua ini beneran si kembar gila!"

"Udah gak usah bacot lo, Nay. Buruan cariin kembaran gue suami," ucap Marvin. Aku mengangguk menyetujui Marvin. Tumben sekali dia pintar. Sepertinya ia semakin cocok menjadi bawahan dalam project kegilaanku.

Naya mendengus kemudian ia scrolling galeri ponselnya. Menunjukkan sebuah undangan pernikahan digital. "Besok lo kondangan sama gue, di sana ada beberapa kenalan dari kampus yang datang ke resepsi nikah ini." Berbisik Naya melanjutkan, "pernikahan crazy rich, yang dateng orang kaya semua!"

Aku sontak memeluk Naya. Tak rugi ia menjadi super gaul dan memiliki pergaulan luas. Akhirnya aku bisa memanfaatkan jaringannya.

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status