Share

02 | Rencana Gila

"Mei! Mei! Mei!"

Gedoran pintu kamarku sukses membangunkanku dari hibernasi usai menulis hingga jam lima pagi. Pekerjaan paruh waktuku, copywriter. Kemarin pagi aku mengambil project dari sebuah toko  make up daring yang ingin meningkatkan engagement media sosialnya. Sejak kemarin siang aku melakukan riset kecil-kecilan tentang brand toko itu dan target marketingnya. Syukurlah, aku berhasil menulis beberapa artikel soal tips merawat kulit dan membuat infografis yang nantinya bisa di-share di I*******m, Twitter, dan F******k.

Aku baru terlelap shubuh tadi dan Marvin sudah mulai menggangguku. Marvin Cokroaminoto sialan! Aku bersumpah akan menarik rambut yang ia cat ungu metalik itu jika alasannya membangunkanku yang baru tidur tiga jam bukanlah hal genting seperti hujan emas atau dia akan menikahi putri duyung. Sembari menggerutu aku bangun dari kasur dan membuka kamar. Wajah Marvin pucat pasi. Ia nampak cemas dan khawatir berbeda jauh dengan sikap tengil dan cengengesannya yang tidak tahu tempat dan kondisi.

"Kenapa sih?" tanyaku jengkel saat Marvin langsung nyelonong masuk kamarku. Ia  membuka tirai dan jendela kamar, membiarkan udara segar dan cahaya mentari masuk ke dalam.

Ck, kebiasaan! Ia pasti ingin merokok di sana.

"Anjir, jangan ngerokok di kamarku!" seruku saat ia mulai membakar puntung rokoknya.

Marvin tak menanggapi, ia menghembuskan napas penuh asap beracun keluar kemudian menatapku dengan sorot mata iba.

Kenapa?

Marvin biasanya suka menyiksaku, kenapa ia tiba-tiba terlihat soft seperti ini?

"Mei, dengerin gue baik-baik," ujarnya sembari menggerakkan pelan puntung rokoknya, membuang sisa pembakaran ke luar jendela. Syukurlah, lantai kamarku setidaknya bersih.

Aku naik ke kasurku, bergelung dengan selimut lagi. Separuh wajahku tertutup selimut, tapi aku masih bisa melihat Marvin. "Aku udah dengerin kamu dari tadi, Vin!"

"Serius ini, Mei!" Marvin nampak frustasi, suaranya terdengar merengek.

Aku terkejut sesaat. Sikap Marvin sungguh di luar ekspektasiku.

Ia mendekat padaku, duduk di pinggir kasur. "Lo tau kan, mau bagaimana pun, lo itu saudara gue. Adik kembar gue yang udah berbagi apapun dari dulu. Mulai berbagai tempat di rahim, berbagai wajah dan kemiripan fisik. Berbagi cilok, berbagi telur gulung. Gue udah tahu wajah lo bahkan sebelum gue tahu wajah Mama dan Papa."

Aku merinding, Marvin yang serius sama sekali tak terlihat seperti Marvin. Ia harus dirukiyah oleh paranormal andalan Mama.

"Setelah semua yang kita lalui, gue yakin kalo gue beneran sayang sama lo. Walaupun gue akui sering memperbudak dari pada bikin seneng," tambahnya lagi sembari membuka layar ponsel yang terkunci. Sejemang selanjutnya,  ia menghadapkan ponsel itu ke wajahku. Tampak potret masa kecil kami berdua yang menjadi wallpaper ponselnya. Marvin kecil tengah meremas pipiku sekuat tenaga. "Lihat, cewek gue semuanya kayak model Victoria Secret dan member BLACKPINK, tapi gue tetap setia memakai foto masa kecil kita."

Aku terharu 35% karena foto yang ia gunakan adalah foto yang menjadi bukti bahwa selama ini Marvin menyiksa mental dan fisikku. Hah!

"Mau senyebelin apapun gue sama lo, gue gak pengen ada orang bikin lo menderita dan terluka," ujarnya  sedikit terdengar tulus. Marvin nampaknya mulai bisa menempatkan diri sebagai seorang kakak. "Gue bakalan ngelakuin apapun buat menghajar orang-orang yang berpotensi bikin lo nangis."

Aku. Ingin. Menangis.

Saudara kembarku ini menyebalkan, ia sering mengolok-olok diriku dan merebut apa yang aku punya. Tapi aku tahu, di lain sisi ia  selalu berada di garda terdepan untuk melindungiku. Ia pernah menghajar teman sekelasku yang merundungku, ia bahkan selalu ikut sakit jika aku sakit. Sesekali ia memberikanku telur gulung yang pada saat itu menjadi jajanan primadona di SD kami, antriannya sepanjang antrian konser BTS, EXO, dan One Direction. Ah, dan antrian bantuan sosial juga.

Kami tak hanya berbagi rupa, kami juga berbagi jiwa. Semua itu harus aku akui.

"Bahkan jika itu tindakan konyol yang dilakukan oleh Mama dan Papa," lanjut Marvin dengan wajah memelas. Aku tahu ia family man dan anak berbakti. Sialan, aku sungguh menangis, semoga nanti Marvin tidak mengejekku.

Aku menghapus air mata yang mengalir di pipiku, menatap bingung ke arah Marvin. "Maksudnya gimana?"

"Mama dan Papa udah nemu calon suami lo," ucap Marvin lirih. Terdengar kecewa.

Aku tercekat.

Hari penjajahan itu telah tiba.

Rupanya kabar yang dibawa Marvin bukan pernikahannya dengan putri duyung. Aku tidak jadi menghajarnya.

"Kamu tau siapa dia?" tanyaku dengan nada getir.

Marvin mengangguk. "Si Tukang Pencitraan."

Rahangku hampir terjatuh saat Marvin menyebut julukan itu.

Si Tukang Pencitraan.

Julukan yang kami buat untuk anak Pak Haji Syamsudin setelah tempo hari bertemu di mall dan memergoki dirinya berpacaran dengan gaya yang membuat warga komplek kami akan berkata "Astaghfirullah, malaikat menilai buruk sekali!"

Ia tentu saja, Satria bin Syamsudin.

Kini aku tahu mengapa Marvin menatapku dengan iba. Tentu saja, karena baru saja orang tuaku sendiri memasukkanku ke dalam lubang buaya. Payah, hari ini adalah hari terburuk dalam hidupku.

"Gue beneran gak rela lo nikah sama itu PNS norak, ya. Kasian banget kembaran gue nanti diduain sama cewek modelan penyanyi dangdut begitu," ujar Marvin. "Gajinya sebagai PNS nanti habis buat bayar suntik pemutih selingkuhan, dih ngeri!"

Just Marvin being Marvin, meskipun suasana genting dan haru, julid tetap nomer satu. Tapi aku juga mengiyakan,  penuturan Marvin membuatku kembali teringat dengan gadis menor yang dicium oleh Satria.

Sial, norak sekali!

"Kalo kita bilang ke Mama sama Papa soal Satria yang pencitraan, mereka pasti gak bakal percaya," Marvin menambahkan.

Aku mengangguk, menyetujui ucapan kembarku.

Satria bak dewa di komplek kami. Omongan si cengengesan dan tukang rebel sepertiku dan Marvin tentu dianggap fitnah dan hoax. Hah, don't judge a book by its cover. Yang kelihatan sholeh seperti Satria ternyata tipenya penyanyi dangdut.

"Seandainya ada cara," keluh Marvin.

Aku membeku. Mendadak mendapat inspirasi. Benar kata Marvin, seharusnya ada cara mencegah perjodohan konyol ini.

"Vin," panggilku.

Kembaranku itu memutar tengkuknya. Menoleh ke arahku dengan netranya yang memerah. Duh, pasti di mata jejeran pacarnya yang seperti asrama putri itu akan langsung meleleh. "Aku punya cara biar terbebas dari perjodohan ini."

Marvin mengernyit, tapi sedetik kemudian ia menatapku horor. "Rencana gila apa lagi yang mau lo lakuin, Mei?"

***

Tepat pukul dua pagi, Marvin mengantarku ke Bogor. Rencana nekat dan gilaku disetujui oleh kembaranku. Ia bahkan menjadi kaki tangan dari kegilaan ini. Sekarang, Marvin menjadi sopir pelarianku. Hebat sekali, aku merasa jadi majikan.

Aku bersama satu ransel tas resmi meninggalkan rumah.

Aku kabur.

Aku menghindar.

Dan Marvin menjulukiku cewek gila.

"Gue ngantuk banget, Mei," keluh Marvin sembari memarkirkan mobil di sebuah toserba yang buka selama dua empat jam. Kembaranku itu menguap lebar, "Beliin kopi, dong. Mata gue lengket banget nih kayak dikasih lem."

"Oke, pake uangmu ya," kataku tak ingin berdebat panjang.

Marvin tak banyak berbicara ia menyerahkan uang seratus ribuan kepadaku. Memang sih, pekerjaan Marvin di salah satu firma arsitek menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah. Jika ia bukan kembaranku, tentu ia yang akan aku pilih untuk kunikahi. Uangnya banyak meskipun playboy.

Aku merapatkan jaket dan menggaruk hidungku saat memasuki toserba. Pegawai melakukan salam dan basa-basi sesuai SOP. Segera kutelisik ke seluruh penjuru ruangan. Sepi, aku seperti pembeli VIP di sini.

Aku segera berjalan ke sudut ruangan dan memilih kopi kesukaan Marvin dan segera menyeduhnya. Tapi mataku menangkap penampakan harta karun di sebuah rak. Satu pack yoghurt tanpa perisa atau plain—makanan atau minuman yang selalu aku butuhkan jika sedang stress. Ah, beruntungnya diriku bisa menemukan makanan atau minuman kesukaanku itu. Aku melangkah riang menjemputnya. Namun, saat aku hendak menyentuh satu pack yoghurt dari merek kesukaanku itu, sebuah tangan juga meraihnya. Bak adegan di film, tangan kami bersentuhan sayangnya tanpa efek sengatan listrik seperti di film komedi romantis.

Oh, sial!

Cukup hidupku saja yang kacau.

Belanjaku jangan juga dong!

Aku segera mendekap yoghurt itu, memeluknya erat. Ini lebih berharga dari harta karun peninggalan VOC, paling berharga di abad dua puluh satu ini.

"Saya yang ambil duluan," katanya dingin, sembari tangannya terulur hendak merebut yoghurt itu dari dekapanku.

Aku menghindar. Menjauhkan badanku sejengkal dari jangkauannya.

Ia menggeram kesal.

"Aku yang ngambil dulu," kataku. "Ambil saja merek lain," tambahku lalu melengos pergi menuju sudut toserba tempatku meletakkan kopi pesanan Marvin.

Pemuda itu masih mengikutiku. Masih belum patah usahanya untuk merebut yoghurt ini dariku. Tak terduga ia menyentuh bahuku, memaksaku berbalik kaget hingga tanpa sengaja kopi yang seharusnya diminum Marvin membasahi kemeja putihnya.

Oh, sebuah kesialan menimpanya. Mampus, salah sendiri ngeyel!

Pemuda itu menggeram kesal untuk kedua kalinya. "Saya baru bertemu kamu lima menit tapi saya sudah bisa melabeli kamu dengan orang paling mengesalkan satu dunia."

Ada apa dengan orang ini? Jelas-jelas karena ia membalik badanku secara paksa yang membuatnya tersiram air kopi, "Salah sendiri bikin kaget. Masnya tuh harusnya bisa menerima bahwa segala sesuatu gak harus selalu dimiliki."

Ia memicing, menatapku penuh kebencian dan kebingungan. Yah, ucapanku sedikit tidak pas sepertinya. "Minta maaf!" tuntutnya sembari menepuk-nepuk kemejanya yang basah oleh kopi.

"Gak mau, aku gak salah kok." Aku tidak merasa harus meminta maaf atas kejadian ini, lagi pula aku juga merugi karena dirinya. "Kopi kembaranku jatuh mubadzir juga gara-gara Masnya ngagetin aku."

"Saya gak ngagetin, saya cuma mau ambil hak saya!" Ia mendelik ke arahku.

Aku tertawa penuh sarkasme yang sering dibilang Marvin tertawa yang menyebalkan dan bikin orang pengen nampol. "Dibayar aja belum udah bilang hak-hak!"

Aku meninggalkannya. Berjalan menuju meja kasir. Dua pegawai di sana memandang pertengkaranku dengan pemuda tadi.

Bodo amat!

Aku sudah sering jadi sorotan.

Samar-samar aku mendengar pemuda itu berteriak.

"Saya doakan suami kamu kelak diberi kesabaran banyak! Kasian punya istri modelan preman kayak gini," ucapan pemuda tadi membuat kasir minimarket menahan tawa. Sial malu-maluin!

Aku menengok kemudian mengacungkan jari tengahku. "Doa jelek bakalan balik sendiri!"

Ia melotot melihatku kurang ajar padanya. Tapi aku tak peduli toh setelah ini aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Lagipula aku butuh pelampiasan, membuat jengkel pemuda itu cukup membuat suasana hatiku membaik. Usai membayar, aku segera kembali ke mobil. Pemuda itu sudah keluar dari toserba terlebih dahulu. Marvin yang terpejam langsung bangun dan menatapku yang masuk mobil. "Kenapa lo? Kok kayaknya girang banget."

"Habis rebutan yoghurt," jawabku jujur. Aku memang rebutan yoghurt tapi tidak menceritakan detail kelakuanku pada pemuda tadi. Tentang middle finger up dan adu mulut tadi.

Marvin berdecak. "Emang beneran kegilaan lo lagi kumat," cibirnya lalu memandangku dengan dahi berkerut. "Kopi gue mana?"

"Makan aja yoghurt," kataku.

"Anjeng," maki Marvin. "Lo belanja pake duit gue tapi pesenan gue malah gak lo beliin. Maksud lo apaan, Mei. Emang kadang lo suka gila!"

Aku tak menggubris ucapannya. Karena ejekan Marvin kali ini benar. Meski di luar aku terlihat lemah dan tak berdaya, bahkan sering menjadi korban perundungan tapi sebenarnya aku penuh dengan hal gila dan mengejutkan. Dibandingkan saudara kembarku yang  terlihat slengekan, sebenarnya aku jauh lebih unpredictable darinya. Well, dua hari lagi orang tuaku akan tahu kegilaan anak perempuan satu-satunya mereka.

Aku menghela napas tapi kemudian melihat bayangan pemuda yang rebutan yoghurt denganku melintasi mobil kami. Ia memasang headset dengan wajah murung. Tiba-tiba aku merasa bersalah.

Dia sedih karena gak dapet yoghurt?

Tapi kenapa kayak habis putus cinta?

[]

Comments (1)
goodnovel comment avatar
walidaazzahra
marvin......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status