"Mbak gak tahu kan kalau lewat kata-kata yang Mbak tulis ada satu orang yang merasa hidupnya terselamatkan."
Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana. Aku saja tidak terlalu yakin jika ada yang membaca tulisanku. Aku tentu sadar diri, review receh yang kutulis terkadang tidak objective dan isinya sangat nirfaidah. Tulisan yang menyelamatkan orang lain nampaknya terlalu berlebihan. Hah, mimpi kali!
Aku bahkan sudah setahun ini berhenti menulis review musik di blog pribadiku sendiri dan memilih mengambil pekerjaan dari orang lain, me-review produk klien demi meraih sepeser rupiah demi rupiah yang rencana akan aku gunakan untuk menambah living cost selama kuliah S2 nanti.
Jujur saja aku suka menulis tentang musik dan lagu tapi aku harus mengakui bahwa dari bidang ini aku tak mendapat sepeserpun uang. Aku sudah dewasa dan tentunya harus realistis dengan keadaan yang ada. Maka aku mengorbanka
Aku benar-benar penasaran dengan keluarga Kartadinata yang ternyata memiliki banyak intrik dan persaingan memperebutkan harta.Manusia memang tidak pernah bisa puas. Lihat saja keluarga Kartadinata ini, masing-masing dari mereka sudah memiliki bisnis dan jabatan penting yang didapat dari usaha sendiri tapi masih berebut warisan.Sekarang aku jadi memikirkan apa saja yang sudah dilalui Tresna saat menjadi anggota keluarga gila ini. Apakah ia juga pernah merasa kehilangan seperti Citra yang kehilangan kaki?Aku ingin tahu, tapi memaksa orang lain bercerita saat enggan tentu sangat tidak etis. Maka dari itu aku menunggu Tresna bercerita, mungkin suatu saat sebelum kami bercerai. Mungkin.Aku menghela napas dan lanjut mengetik artikel yang dipesan oleh klienku. Kali ini dari sbeuah brand kosmetik yang menyasar remaja. Aku pun membuat beberapa tips make up pemula dan menyodorkan brand klienku sebagai rekomendas
Kamu suka bikin saya pusing kalo dandan cantik-cantik gini! Kamu sengaja goda saya ya?Hah? Maksudnya apa ya, Pak?Aku sama sekali tidak berpikir menggoda Tresna. Pakaian saja yang memilihkan dia, kok bisa aku yang jadi penggoda di sini.Kalimat Tresna tadi membuatku benar-benar overthinking bahkan saat kami sekarang sedang mendiamkan satu sama lain saat diam-diam menunggu untuk naik Singapore Flyer sekaligus diner.Tresna benar-benar totalitas dalam segala hal yang berhubungan dengan buang-buang uang. Entah berapa ribu dollar yang ia habiskan untuk membayar makam malam di dalam kapsul kinvir yang menjadi ikon wisata di Singapura.Singapore Flyer ini sering dianggap kincir atau bianglala terbesar di dunia dengan ketinggian mencapai 165 meter di
"Kamu harus tanggung jawab kalau saya mabok beneran, Meilavia."Aku terkekeh. Hasratku untuk mengolok Tresna semakin menggebu-gebu. Tebakanku benar. Tresna itu payah soal minum, masa hanya karena segelas dia sudah teler. "Bener kan kamu itu gampang mabok, beneran cupu! Marvin aja kuat sampe tiga gelas."Tresna mendengkus. Ia nampak tak terima dan mengkode pelayan untuk meminta minuman berakohol tambahan yang entah namanya apa. Pelayan pun menyajikan dua gelas lagi kepada Tresna."Udah, gak usah maksa minum lagi. Kalo mabok beneran aku repot," tukasku saat Tresna mulai meminum gelas kedua."Kalau saya gak minum, kamu akan ngejek saya terus," ketusnya seraya meletakkan gelas itu di atas meja secara kasar.Aku membuat ekspresi terkejut yang menyebalkan. Terlihat dibuat-buat dan Tresna menatapku dongkol. "Tentu saja! Kekurangan ada itu untuk diejek dan diolok-olok. Kapan lagi ada kesempatan un
Tresna justru menangkup rahangku dengan kedua telapak tangannya. Ia memejamkan mata dan menciumku.Sial, apakah aku harus menikmati ini atau mendorong Tresna dan pergi?Tapi bibir lembut Tresna merampas kewarasanku. Aku yang seharusnya di sini menahan diri dan menyudahi ini semua, justru terbuai dan menikmati apa yang ditawarkan Tresna.Dasar, jalang!Kedua tanganku kini mengalung di bahunya dan saat lidah Tresna menari-nari, tanganku meremas rambut pria itu. Memintanya lebih.Tresna membawaku dalam kegelapan yang penuh keributan oleh detak jantungku dan mungkin juga milik Tresna. Gelap yang riuh itu menenggelamkanku dalam pesona seorang Tresna.Tresna piawai dalam bermain lidah dan layaknya perempuan lainnya, aku bertanya-tanya bagaimana bisa pria ini sangat ahli melakukannya.Berapa banyak bibir gadis yang telah Tresna buai seperti ini?
"Tidak ada yang lebih menyakitkan selain hanya memiliki tubuh pasangan tapi tidak hatinya. Istri kamu jelas akan menderita Tresna." Tresna menyeringai, "Move on gak semudah goreng tahu bulat, Meilavia." Fuck! Aku ingin tertawa. Kenapa perumpamaannya harus tahu bulat digoreng dadakan di mobil lima ratusan? Otak Tresna perlu dibenahi! "Kenapa harus tahu bulat sih? Aku serius!" ketusku kesal tapi ingin tertawa terbahak-bahak. "Saya juga serius. Betulkan, move on dan melupakan mantan itu gak semendadak menggoreng tahu bulat." Tresna menatapku tanpa dosa. Rasa ingin menjedotkan kepalanya ke meja semakin besar. "Kata Taylor Swift, melupakan dia seperti mencoba mengenal orang yang belum pernah ditemui. Melupakan Nana sulit, ia selalu berputar-putar di kepala saya." "Apa kelebihan Nana sampai kamu susah melupakan dia, Tresna?" tanyaku penasaran. Apa kelebihan gadis itu sampai dua orang kaya bisa tergila-gila padanya. "Dia cantik. Tapi gak dan se-sexy
"Saya membuat kamu bingung?" Kedua mata Tresna berkedip-kedip bingung tapi sepersekian detik selanjutnya ia tertawa mengejek kepadaku. "Mahasiswa saya juga sering kebingungan kalo sama saya. Gak cuma kamu, kok," ujarnya santai. Aku hampir menjatuhkan rahang karena ucapannya. Benar-benar! Bagaimana bisa ia menjadi dosen jika seperti ini? Gak gitu maksudnya, bangsat! Ia menghela napas, membelokkan topik pembicaraan atau mungkin menghindarinya. Suka-suka Tresna saja! "Jadi, soal semalam. Kamu mau maafin saya kan?" Aku mendengkus keras, "Iya, kamu mabuk. Mau gimana lagi. Kamu cupu jadi harus dimaklumin." Tresna tertawa sarkas, "Saya terima ejekannya. Saya semalam memang agak sombong. It was a mistake. Saya janji lain kali akan mengontrol diri." Aku meringis, "Oke, cupu." Tresna merotasikan kedua netranya mendengar ejekanku. Pada detik yang sama aku merasa sedikit kecewa. Kenapa perasaanku seperti ini? Sialan
Jadi begini rasanya meninggalkan rumah sendiri?Perasaanku sungguh campur aduk saat aku melihat rumah orang tuaku.Aku baru sadar tidak banyak yang berubah dari rumah ini selain cat dan beberapa perabotannya.Masa remajaku dan Marvin yang kami habiskan di rumah ini seolah baru terjadi kemarin.Jejak-jejak petualangan kami berdua seolah masih tersisa di setiap sudutnya.Kursi kayu di teras tentu menjadi saksi dimana Alan terjatuh nyungsep karena aku dan Marvin meributkan pertarungan Sasuke dan Naruto hingga tak menyadari bahwa Alan yang baru bisa berbicara itu merangkak naik ke kursi.Aku dan Marvin yang sedang berdebat tentang masa depan Konoha dan persahabatan Sasuke dan Naruto tentu tak memperhatikan.Konoha dan persahabatan Naruto Sasuke dalam di ujung tanduk.Barulah saat Alan yang hendak turun justru jatuh dan tertimpa kursi, aku dan Marvin baru tersadar bahwa kami harus menjaga Alan karena Mama sedang pergi ke warung.
35 | First Day"Mana si Tresna?" tanya Marvin celingukan. "Yang itu bukan, pakai sarung naik motor matic oranye?"Alan yang mengemudikan mobil, ikut melirik ke arah pandang Marvin sembari menyipit lantaran matanya minus."Gak mungkin dia Tresna, wajahnya ganteng gitu," kata Marvin lagi, kembaranku masih belum mau mengakui jika Tresna memiliki wajah ganteng.Ia masih denial dan menganggap bahwa dirinya yang paling ganteng satu alam semesta."Dia ganteng kok, Mas," kata Alan mengemudikan mobil kami mendekati motor matic oranye itu."Gak usah sok tahu ganteng atau enggak, lo itu minus, pendapat lo gak valid, Lan," gerutu Marvin. "Lihat nih gue Masmu yang very handsome.""Ganteng itu relatif sih sebenarnya, tinggal memakai standar negara mana, tapi kalau memakai standar live action anime," kata Alan mulai berargu