BERTEPATAN dengan saat Tiara berteriak meminta tolong, Abdi baru saja menyelesaikan salatnya. Sontak pemuda itu menoleh ke belakang. Kedua matanya langsung membelalak lebar, kaget melihat apa yang terjadi.
Sementara Tiara yang sempat terbebas mulutnya, tak dapat berteriak lagi. Telapak tangan kasar yang menangkap tubuhnya kembali menekap mulutnya erat-erat dari belakang.
"Diam kamu! Jangan berontak!" bentak lelaki yang membekap Tiara setengah mendesis. Nada bicaranya terdengar mengancam.
Tiara tentu saja tak bisa diam. Seketika di kepalanya terbayang apa yang semalam dikhawatirkan Abdi. Juga yang terbayang di benaknya sebelum tidur. Gadis itu meringis. Tak percaya jika hal buruk itu bakal terjadi padanya.
"Ya Allah, tolong bantu aku!" jerit Tiara dalam hati. Matanya seketika terasa panas.
Gadis itu lalu merasakan tubuhnya diangkat. Lalu tahu-tahu saja ia sudah berada di atas bahu lelaki yang tadi membekapnya. Digendong dengan kaki di depan dipegang
Pasal 338 KUHP merupakan perbuatan tindak pidana terkait dengan pembunuhan. Sementara Pasal 351 KUHP berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan yang membuat korban mengalami luka berat.
SETELAH berjalan beberapa lama, lelaki yang membopong Tiara tiba di sebuah bangunan kayu besar. Lebih mirip rumah, lengkap dengan pintu dan jendela besar. Di kanan-kiri rumah itu terdapat beberapa bangunan lain. Tiara coba mengamati sekeliling. Tapi pandangan gadis itu tak leluasa, sebab terhalang oleh punggung lelaki yang membopongnya. Ia hanya tahu mereka tiba di satu tempat yang mirip pemukiman kecil. Begitu tiba di sana, seorang lelaki lain yang tengah duduk-duduk di muka rumah besar berdiri menyambut. Kepalanya dimiringkan, coba melihat lebih jelas sosok Tiara yang berada di atas bahu. "Wah, kamu dapat apa ini, Mat? Bakalan kenyang nih kita," ujar lelaki tersebut. Suaranya cempreng memuakkan. Lelaki yang membopong Tiara, dan dipanggil Mat, tertawa lebar tanpa hentikan langkah. "Tangkapan besar ini, Ton," sahutnya di antara tawa. "Tapi, seperti biasa, Bos dulu yang nyicipin. Nanti kalau Bos sudah puas baru giliran kita-kita." Rasan
WAKTU terasa begitu lambat bagi Tiara. Entah sudah berapa lama Mat dan Ton meninggalkannya sendirian. Sejak saat itu si gadis merasakan dunia seolah-olah berhenti berputar.Atau lebih tepatnya lagi, itulah yang diharapkan Tiara terjadi. Dunia berhenti berputar, waktu berhenti bergulir, sehingga dengan demikian gadis itu dapat tetap sendirian tanpa seorang pun mengganggunya lagi.Tiara disekap dalam kamar dalam keadaan terikat erat kedua tangan dan kakinya. Gadis itu tak dapat bergerak, kecuali berguling-guling di atas kasur yang amat dibencinya, dan sesekali duduk."Di mana Abdi? Kenapa dia nggak datang ke sini menolongku?" batin Tiara, teringat pada Abdi yang entah sedang berada di mana.Satu pikiran buruk seketika berkelabat di benak gadis itu. Jangan-jangan, dua lelaki yang tadi menghadang Abdi benar-benar menjalankan niat mereka untuk menghabisi pemuda itu?Tiara meringis ngeri. Ia tak sanggup membayangkan jika pikiran buruknya itu benar-benar
HARI menjelang sore sewaktu Abdi tersadar dari pingsan. Pemuda itu bangkit dan duduk, langsung kaget merasakan pantatnya basah. Ia jadi terjingkat berdiri.Kening Abdi berkerut dalam mengetahui dirinya tadi terbaring di atas tanah basah, di pinggir sungai. Sementara barang-barangnya berada di seberang lain.Saat menggerakkan tubuhnya, Abdi merasakan nyeri di dada dan pinggul. Barulah pemuda itu sadar apa yang telah terjadi pada dirinya. Seketika ia teringat pada Tiara yang entah berada di mana."Tiara?" desis Abdi. Tanpa sadar untuk pertama kalinya tidak menyebut nama atasannya tanpa embel-embel 'Ibu'.Kepala Abdi berputar, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mencari-cari di mana tempat tadi tiga orang yang menculik Tiara pergi.Lalu pandangannya menangkap jejak-jejak basah di sebelah depan. Menuju ke sebalik semak-semak nan rimbun. Banyak sekali jejak kaki di sana."Mereka pasti pergi ke arah sana. Aku harus segera menyusul mereka se
PARA lelaki pembalak liar heran sendiri ketika mengetahui bos mereka langsung keluar dari dalam kamar. Padahal biasanya begitu melihat perempuan, si bos tak pernah bisa menahan diri. Selalu saja langsung ditiduri tanpa peduli waktu.Diliputi rasa penasaran yang amat sangat, si Mat bersama Ton membuntuti keluar. Sesampainya di luar rumah barulah mereka mengerti apa yang menjadi alasan. Rupanya ada seorang berseragam hijau yang ingin bertemu si bos. Mereka kenal betul ddengan lelaki berseragam tersebut."Kalian mulai sekarang harus hati-hati. Aku dapat bocoran informasi, bakal diadakan patroli gabungan ke tempat ini," kata petugas berpakaian hijau, yang dari seragamnya adalah polisi kehutanan."Patroli? Tumben-tumbenan ada patroli sampai ke tempat terpencil ini," sahut si Bos, lalu diikuti tawa mengekeh.Polisi kehutanan tadi tampak menggeleng-gelengkan kepala dengan masygul."Kalian juga sih. Kan sudah sering aku ingatkan, ambil secukupnya saja. Jan
BEGITU mengetahui siapa pemuda yang mereka temukan, para aparat patroli gabungan kendurkan sikap siaga yang mereka tunjukkan. Tak ada lagi tangan-tangan yang memegangi gagang senjata. Juga tak ada bentakan-bentakan penuh kecurigaan.Seluruh personil yang sejak tadi bersiaga di belakang para pimpinan mereka, perlahan mendekat ke tepian sungai. Beberapa di antara mereka tampak memandang penuh empati pada Abdi yang terlihat begitu cemas."Oya, perkenalkan nama saya Margono. Pangkat Ajun Komisaris Polisi, dan saya saat ini dipercaya menjabat sebagai Kepala Polsek Watukumpul." Pak polisi tadi memperkenalkan diri.Spontan Abdi ulurkan tangan mengajak berjabatan."Saya Abdi, Pak. Sopir di PT Tirya Parkindo. Jadi, saya karyawannya Ibu Tiara Wardoyo," balas Abdi memperkenalkan diri selengkap mungkin.Satu demi satu para pemimpin tertinggi masing-masing satuan memperkenalkan diri. Abdi berusaha mengingat nama dan pangkat masing-masing orang tersebut baik-bai
HARI semakin sore manakala Abdi berlari kencang menerabas tingginya ilalang. Pemuda itu sudah berada jauh dari perkemahan tim patroli gabungan. Ia tak lagi memedulikan arah. Semata-mata mengandalkan insting berdasarkan pengalamannya sebagai seorang pecinta alam.Setelah sekian lama berlari, lamat-lamat telinga Abdi menangkap suara deru mesin sepeda motor. Ia kenal betul suara tersebut. Hanya dengan mendengar suara mesinnya saja ia bisa tahu jenis kendaraan tersebut.Wajah Abdi seketika berubah cerah. Suara sepeda motor di tengah tempat sepi seperti hutan belantara ini bisa jadi petunjuk penting. Maka Abdi tak mau kehilangan asal suara sepeda motor itu. Ia bertekad kuat harus dapat menemukannya."Suara sepeda motor itu berasal dari arah sana, dan sepertinya menuju ke sebelah sana. Berarti aku harus mengambil jalan ke sana agar dapat memotong kendaran tersebut."Demikian Abdi memperkirakan harus bergerak ke mana agar dapat memotong kendaraan yang tengah dik
SADAR kalau ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu pada pemuda di hadapannya, lelaki berseragam hijau buru-buru menyeringai. Bermaksud menutupi ekspresi sebelumnya. Tapi terlambat. Abdi sudah terlanjur melihat dan tahu jika lelaki itu tahu sesuatu."Bapak agaknya tahu siapa teman perempuan yang sedang saya cari?" tanya Abdi to the point.Wajah lelaki berseragam tersebut kembali berubah. Tapi ia buru-buru gelengkan kepala."Tidak, tidak. Saya tidak tahu apa-apa," sahutnya cepat. "Saya barusan melakukan patroli dari dalam hutan yang belum pernah dijamah manusia. Mana mungkin saya ketemu temanmu itu."Abdi tersenyum misterius. Ia dapat membaca jika lelaki di hadapannya itu berbohong. Gerak-gerik lelaki tersebut menunjukkan semuanya. Bahwa ia sebenarnya tahu apa yang sedang ditanyakan Abdi."Maaf, Pak Ramlan. Keselamatan teman saya itu bisa jadi tengah terancam saat ini. Saya akan sangat berterima kasih sekali jika Bapak mau berterus terang memberi tahu
MALAM jatuh diiringi suara orkestra hewan-hewan di balik rerumputan. Sesekali burung hantu terdengar menyeling dengan suara kukuknya di kejauhan. Lalu sesekali kepak kelelawar meningkahi, diiringi suara cicitnya yang nyaring.Gelap menyungkupi seisi hutan yang sepi. Kemana pun mata memandang yang terlihat hanyalah kegelapan menghitam. Bulan sabit yang menggantung rendah di langit barat tak punya cukup sinar untuk melawan gelapnya malam.Di antara kegelapan nan syahdu, ada satu tempat yang tampak dilingkungi cahaya lampu. Tidak terlalu terang, namun sudah cukup jelas untuk melihat siapa dan apa yang ada di sana. Tempat itu tak lain tak bukan adalah markas para pembalak liar di mana Tiara disekap.Di dalam kamar tempatnya dikurung, Tiara duduk bertekuk lutut di sudut ruangan. Kedua tangannya terlipat di atas lututnya yang menyatu. Menjadi penyangga bagi kepalanya yang tertunduk dalam."Abdi, di mana kamu? Cuma kamu harapanku satu-satunya saat ini," desah Ti