KAMAR tempat ibu Abdi dirawat tampak lengang. Hanya ada si ibu yang tengah terlelap di pembaringan. Tak seorang pun menemani. Tiara jadi celingak-celinguk sendiri dibuatnya.
"Ke mana Abdi?" tanya Tiara dalam hati.
Perlahan-lahan sekali gadis tersebut masuk ke dalam kamar. Ia tak mau kehadirannya menimbulkan bunyi sedikit pun, yang mungkin dapat membangunkan ibu Abdi dari tidur.
Tapi lain rencana lain kenyataan. Tepat saat Tiara menginjakkan telapak kakinya ke lantai kamar tersebut, satu suara perempuan nan cempreng menyambut.
"Eh, Eneng ini temannya si Abdi ya?" tanya suara tersebut tiba-tiba.
Tiara terjingkat kaget. Benar-benar kaget. Napas si gadis sampai naik-turun tak karuan. Sambil memegangi dada, ia pun menolehkan kepala ke arah asal suara.
Rupanya yang mengajak bicara keluarga pasien di kamar sebelah. Belum sempat Tiara menjawab, seorang perempuan paruh baya telah mendatanginya.
"Tadi si Abdi titip pesan, kalau Eneng datang dis
MELIHAT gelagat Tiara, semakin yakinlah ibu Abdi jika yang sedang bersamanya saat itu adalah bos anaknya. Bukan sekedar teman seperti yang tadi siang dikatakan si gadis.Sontak wanita paruh baya tersebut tegakkan posisi duduknya. Wajahnya sedikit menegang. Sebab dari cerita Abdi ia tahu jika bosnya adalah seorang kaya raya lagi terhormat."Aduh, maafkan saya ya, Neng. Eh, maksud saya Bu. Saya benar-benar tidak tahu kalau Ibu ini bosnya Abdi di kantor," ujar ibu Abdi dengan sikap serba salah."Habisnya, Ibu tadi cuma bilang teman Abdi dari Jakarta. Kan saya jadi mengira benar-benar teman kantor," tambah wanita tersebut. Wajahnya menunjukkan ekspresi menyesal.Tiara tersenyum tipis. Inilah yang tidak diinginkan gadis itu sejak tadi. Alasan kenapa ia tak mau berterus terang mengenai siapa dirinya saat memperkenalkan diri."Ibu kenapa? Tidak apa-apa, Bu," sahut Tiara sembari tersenyum tak kalah serba salah.Susah payah gadis itu berusaha mencega
SATU hal kemudian membuat ibu Abdi merasa sedih. Jika benar Tiara dan Abdi sama-sama saling menyukai, ada hambatan besar yang akan jadi penghalang mereka. Abdi sudah ditunangkan dengan Atisaya, puteri seorang juragan kaya di kampung mereka. Juragan yang selama ini banyak menaruh budi baik bagi keluarga Abdi. Terutama setelah ayah Abdi tiada. Bahkan bulan depan Abdi dan Atisaya sudah direncanakan menikah. Tanggal dan tempat sudah ditentukan. Persiapan selanjutnya akan segera dilakukan dalam waktu dekat. "Kok buru-buru sih, Bu Tiara? Ibu belum mampir ke rumah kami lho," ujar ibu Abdi kemudian, setelah untuk beberapa saat tenggelam dalam angan-angannya sendiri. "Saya sudah ditunggu di kantor, Bu. Ada beberapa urusan yang harus saya tangani secara langsung," jawab Tiara cepat, sembari mengembangkan senyum. "Oh, begitu ya?" sahut ibu Abdi, lalu memandang ke arah puteranya. "Terus kamu kapan mau mulai masuk kerja lagi? Masa bosnya udah masuk kerja k
MALAM memang sudah merangkak naik. Hawa dingin mulai mencucuk tulang. Terlebih pusat kota Indramayu terletak di pesisir pantai.Tanpa dapat dikendalikan tubuh Tiara menggigil begitu dinginnya udara malam menyergap kulit. Kedua tangannya ditekuk ke depan dada. Berharap dengan begitu dapat menghalau dingin.Tiara kontan merutuki diri sendiri karena tidak membawa jaket. Karena saat pergi tadi bersama Theo naik mobil, ia merasa tidak perlu memakai jaket. Gadis itu sama sekali tidak berencana ke rumah sakit karena terlupa."Pakai ini," kata Abdi yang melihat gelagat Tiara.Tanpa disangka-sangka oleh Tiara, pemuda itu sudah memakaikan jaket jins ke pundaknya. Tiara kaget, tapi hatinya seketika berbunga-bunga. Senyumnya langsung merekah."Terus kamu gimana?" tanya Tiara sembari merapatkan jaket agar menutupi tubuhnya."Nggak apa-apa," jawab Abdi, acuh tak acuh.Sambil berkata begitu Abdi naik ke atas sepeda motornya. Dimundurkannya kendaraan
SELAMA mereka terjebak di dalam hutan, tak pernah sekali pun Abdi menyentuh Tiara. Kecuali untuk memberi pengobatan ketika gadis itu terkilir dan demam.Sekali-kalinya Abdi memeluk Tiara, itu dilakukan dengan maksud menghibur. Yakni setelah menyelamatkan si gadis dari percobaan perkosaan yang dilakukan para pembalak liar.Karenanya Tiara sedikit heran kenapa malam ini Abdi seolah berubah menjadi seorang pemuda yang agresif.Tapi gadis itu sama sekali tak menolak. Malah dirapatkannya tubuhnya ke Abdi.Keduanya pun berpelukan erat. Tiara menempelkan wajahnya ke dada bidang Abdi. Sepasang matanya terpejam. Gadis itu merasakan kehangatan sekaligus kedamaian pada saat bersamaan."Kamu kenapa?" tanya Tiara setelah beberapa saat mereka berpelukan dalam diam. Kepala gadis itu mendongak, menatap wajah Abdi.Yang ditanyai tersenyum kecut, lalu membuang muka ke samping. Meski begitu Tiara masih sempat melihat bola mata Abdi memerah. Pandangan pemuda itu
LAMA sekali pasangan itu saling bertaut bibir. Tiara yang sedikit lebih berpengalaman dari Abdi mengambil kendali. Bibir dan lidahnya bergerak melumat, menggigit, membasahi sekujur mulut si pemuda.Sebagai lelaki dewasa yang normal, tentu saja gairah Abdi terbakar dibuatnya. Dari sekedar berciuman sembari memeluk erat, tangan pemuda itu perlahan bergerak menelusuri tubuh Tiara.Mulanya mengusap-usap punggung Tiara perlahan. Lalu turun ke bawah pinggang. Membelai dan meremas dua bulatan lembut nan kenyal milik si gadis."Hmmm, aaah ...."Tiara mendesah panjang. Bibirnya terlepas dari ciuman saat kepalanya tersentak ke belakang. Tak kuasa menahan gejolak yang timbul akibat sentuhan Abdi pada bokongnya.Abdi tak mau melepaskan Tiara. Dikejarnya bibir gadis itu. Kembali dilumat dengan penuh perasaan. Sementara kedua tangannya berpindah-pindah. Mengusap sekujur punggung hingga bawah pinggang.Tubuh keduanya lantas bergulingan, sambil terus berpag
SEPANJANG perjalanan ke rumah sakit Abdi mengutuki dirinya sendiri. Betapa mudahnya ia terbuai nafsu tadi. Pemuda itu tak dapat membayangkan apa yang bakal dirinya dan Tiara lakukan andai saja tak ada staf hotel datang mengetuk pintu.Apakah tindakannya itu perwujudan dari rasa takut kehilangan Tiara? Jauh di lubuk hatinya Abdi memang tidak rela jika harus berpisah dari atasannya tersebut. Ia harus mengakui, perasaan aneh yang belakangan menyelimuti hatinya adalah sebuah cinta.Dan melihat reaksi Tiara tadi, Abdi semakin yakin jika gadis itu juga mempunyai perasaan sama terhadapnya. Dengan kata lain, mereka sama-sama jatuh cinta. Kebersamaan selama sebulan lebih di dalam hutan rupanya telah menumbuhkan benih-benih asmara di hati mereka."Oh, Gusti nu agung ..." desah Abdi ketika kemudian teringat pada Atisaya.Abdi dan Atisaya bukan saja sudah berstatus tunangan. Haji Sobirin, juragan kaya raya ayah di gadis, bahkan sudah mengatakan pada ibu Abdi bakal me
SEOLAH tak percaya pada pendengarannya sendiri, Abdi angsurkan telinganya mendekati sang ibu. Raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang begitu kentara sekali."Ma-maksud Emak gimana? Memangnya pertunangan Abdi sama Neng Ati bisa dibatalkan?" tanya Abdi, keceplosan menanyakan perkara yang memang sangat ingin ia ketahui.Terdengar ibu Abdi menghela napas panjang lagi berat. Tahulah wanita itu sekarang jika puteranya benar-benar telah menaruh hati pada Tiara. Jawaban itu tadi menunjukkan hal tersebut."Kalau kamu memang sudah nggak punya hati sama Ati, kenapa musti diteruskan? Kasihan Ati nanti, juga kasihan kamu sendiri," jawab ibu Abdi kemudian.Abdi menelan ludah. Lalu geser posisi duduknya mendekat pada tubuh sang ibu. Sebelah tangannya terulur, memegang telapak wanita yang telah melahirkannya ke dunia tersebut."Tapi, Mak, bagaimana dengan Haji Sobirin? Dia kan sudah berencana menikahkan Abdi dengan Neng Ati bulan depan?" tanya Abdi, kembali
SEMENTARA di hotel, Tiara langsung naik lagi ke kamar begitu Abdi dan sepeda motornya menghilang di ujung jalan. Gadis itu langsung mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Disertai satu embusan napas panjang. Pandangan mata Tiara lantas menerawang ke langit-langit kamar. Namun bukan plafon putih bersih dengan ukiran cantik yang terlihat olehnya. Melainkan kelebatan bayangan semasa dirinya dan Abdi masih berada di dalam hutan. Diam-diam Tiara jadi bertanya-tanya. Mengapa Abdi yang selama bersamanya di dalam hutan tampak kalem dan dingin, tiba-tiba berubah agresif dan panas barusan? Padahal selama di hutan mereka hanya berdua saja untuk lebih dari satu bulan lamanya. "Apa mungkin karena waktu itu dia belum ada perasaan apa-apa ya?" batin Tiara kemudian. Terbayang kembali di benak Tiara satu kejadian. Bagaimana Abdi justru sibuk ingin melepaskan diri sewaktu dirinya coba memeluk si pemuda dari belakang. Waktu itu Tiara masih terluka hatinya, setelah