SESUAI perkiraan Abdi, hujan deras itu baru benar-benar reda di sore hari. Jauh setelah masuk waktu Ashar. Dengan demikian, tak ada perdebatan lagi mereka harus bermalam di tempat itu.
Yang menjadi pekerjaan rumah bagi Abdi adalah membuat api. Segala yang bisa dipergunakan untuk membuat api di sana basah semua. Kayu dan ranting, juga tumpukan dedaunan.
Karena itu pula mereka tidak bisa mengolah makanan. Untung saja persediaan makanan mereka masih banyak. Meski lebih banyak berupa buah-buahan hutan yang sedikit mengandung karbohidrat sebagai sumber tenaga.
"Tak apalah, semoga saja besok pagi sudah bisa membuat api," ujar Tiara. Berusaha menenangkan Abdi yang tampak kecewa.
"Iya, Bu. Semoga saja. Tapi nanti malam kita gelap-gelapan di sini kalau tidak ada api," sahut Abdi.
Barulah Tiara sadar kondisi yang mereka hadapi.
"Apa?" seru gadis itu kaget. Gelap-gelapan di dalam hutan selebat ini? Tiara sungguh tak pernah membayangkannya.
"Mau
KEESOKAN hari, selepas sarapan Tiara dan Abdi kembali melanjutkan perjalanan. Langit terlihat cerah. Burung-burung sejak masih pagi-pagi sekali sudah ramai bernyanyi di atas dahan tinggi.Sinar matahari yang langsung benderang begitu muncul di ufuk timur, membuat embun di permukaan dedaunan lekas-lekas pergi menghilang. Angin yang sesekali bertiup menyuarakan bunyi gemerisik merdu.Entah mengapa lagi-lagi suara gergaji mesin tak terdengar pagi itu. Untung saja Abdi punya kemampuan lebih dalam mengingat arah. Sehingga pemuda itu yakin langkahnya hari itu tak bakal salah."Kok kayanya kita semakin jauh dari aliran sungai ya?" tanya Tiara saat menyadari mereka tak lagi berjalan di sepanjang sisi sungai."Iya, Bu. Sungainya berbelok ke utara, sedangkan tujuan kita ke timur atau tenggara," jawab Abdi menjelaskan."Oo ..." Tiara hanya ber-oo ria. Tak tahu harus berkata bagaimana lagi.Namun diam-diam gadis itu berpikir, dengan jauh dari sungai mer
SEPERTI kemarin, hujan siang itu berlangsung sampai jauh sore. Alhasil, Tiara dan Abdi terpaksa menghentikan perjalanan mereka. Keduanya memilih bermalam di pondok kayu.Bagian dalam pondok kayu tersebut sangat lapang. Hanya berupa satu ruangan besar tanpa sekat. Jarak dari permukaan lantai ke atap juga tinggi. Semakin menambah kesan luas.Pondok itu hanya punya satu-satunya pintu yang menjadi akses keluar-masuk. Sebagai atap, bagian atas pondok ditutupi dengan welit. Yakni atap tradisional terbuat dari susunan ilalang, yang dijepit dengan bambu panjang.Di antara tangga dan pintu tangga terdapat teras mungil. Rasanya asyik menghabiskan sore sambil duduk-duduk menghirup teh bunga telang di sana."Tempat apa ini? Siapa yang membuat?" gumam Tiara saat kakinya melangkah masuk ke dalam pondok. Seketika matanya memandang berkeliling.Abdi hentikan langkah begitu melewati ambang pintu. Pemuda itu mengamat-amati bagian dalam pondok. Terdapat beberapa tand
TIARA tak begitu paham soal isu-isu terkait pembalakan hutan. Tapi kalau Abdi mengatakan para pembalak liar itu sekelompok pelanggar hukum, artinya mereka orang-orang jahat dong?Sebentuk rasa takut seketika merayapi benak Tiara. Seumur-umur gadis itu belum pernah berurusan dengan para pelanggar hukum. Kecuali teman-temannya di masa kecil yang suka mencuri buah di pekarangan tetangga.Gadis itu beruntung di perusahaannya yang terhitung berusia seumur jagung belum pernah ada kasus hukum. Karyawannya sejauh ini tidak ada yang aneh-aneh, yang terindikasi melakukan tindakan melanggar hukum."Mmm, kecuali nanti terbukti Anita merekayasa laporan keuangan tahun lalu," batin gadis itu menambahkan.Ya, kalau pun nanti berkasus, sejauh ini hanya dugaan rekayasa laporan keuangan yang disusun Anita yang jadi kandidat pemecah rekor. Untuk itu Tiara musti segera kembali ke Jakarta untuk membongkarnya.Sedangkan pelanggar hukum dari luar kalangan kerah putih, Tia
DALAM suasana mencekam, Tiara dan Abdi bergegas mengemasi barang-barang bawaan mereka. Jangan sampai ada yang tertinggal satu pun. Atau bakal ketahuan kalau mereka pernah tinggal di pondok kayu tersebut. Turun ke bawah, Abdi membersihkan sisa-sisa perapian yang dibuatnya semalam. Arang hitam sisa perapian disebarnya, lalu ditaburi remahan tanah agar terkesan sudah lama. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, serta memeriksa kanan-kiri dan yakin situasi aman, Abdi membawa Tiara membelah ilalang di antara pohon-pohon yang tinggi menjulang. Mereka melanjutkan perjalanan terlebih dahulu sarapan pagi. Abdi mengambil arah selatan sebagai tujuan. Menurut perhitungannya, ke sanalah arah yang paling tepat untuk menjauhi tempat keberadaan para pembalak liar. Tentu saja pemuda itu berharap perhitungannya tidak salah. "Sejak kapan kamu punya dugaan kalau mereka adalah pembalak liar?" tanya Tiara tiba-tiba, dengan nada menggugat. Ketika itu mereka ten
BERTEPATAN dengan saat Tiara berteriak meminta tolong, Abdi baru saja menyelesaikan salatnya. Sontak pemuda itu menoleh ke belakang. Kedua matanya langsung membelalak lebar, kaget melihat apa yang terjadi.Sementara Tiara yang sempat terbebas mulutnya, tak dapat berteriak lagi. Telapak tangan kasar yang menangkap tubuhnya kembali menekap mulutnya erat-erat dari belakang."Diam kamu! Jangan berontak!" bentak lelaki yang membekap Tiara setengah mendesis. Nada bicaranya terdengar mengancam.Tiara tentu saja tak bisa diam. Seketika di kepalanya terbayang apa yang semalam dikhawatirkan Abdi. Juga yang terbayang di benaknya sebelum tidur. Gadis itu meringis. Tak percaya jika hal buruk itu bakal terjadi padanya."Ya Allah, tolong bantu aku!" jerit Tiara dalam hati. Matanya seketika terasa panas.Gadis itu lalu merasakan tubuhnya diangkat. Lalu tahu-tahu saja ia sudah berada di atas bahu lelaki yang tadi membekapnya. Digendong dengan kaki di depan dipegang
SETELAH berjalan beberapa lama, lelaki yang membopong Tiara tiba di sebuah bangunan kayu besar. Lebih mirip rumah, lengkap dengan pintu dan jendela besar. Di kanan-kiri rumah itu terdapat beberapa bangunan lain. Tiara coba mengamati sekeliling. Tapi pandangan gadis itu tak leluasa, sebab terhalang oleh punggung lelaki yang membopongnya. Ia hanya tahu mereka tiba di satu tempat yang mirip pemukiman kecil. Begitu tiba di sana, seorang lelaki lain yang tengah duduk-duduk di muka rumah besar berdiri menyambut. Kepalanya dimiringkan, coba melihat lebih jelas sosok Tiara yang berada di atas bahu. "Wah, kamu dapat apa ini, Mat? Bakalan kenyang nih kita," ujar lelaki tersebut. Suaranya cempreng memuakkan. Lelaki yang membopong Tiara, dan dipanggil Mat, tertawa lebar tanpa hentikan langkah. "Tangkapan besar ini, Ton," sahutnya di antara tawa. "Tapi, seperti biasa, Bos dulu yang nyicipin. Nanti kalau Bos sudah puas baru giliran kita-kita." Rasan
WAKTU terasa begitu lambat bagi Tiara. Entah sudah berapa lama Mat dan Ton meninggalkannya sendirian. Sejak saat itu si gadis merasakan dunia seolah-olah berhenti berputar.Atau lebih tepatnya lagi, itulah yang diharapkan Tiara terjadi. Dunia berhenti berputar, waktu berhenti bergulir, sehingga dengan demikian gadis itu dapat tetap sendirian tanpa seorang pun mengganggunya lagi.Tiara disekap dalam kamar dalam keadaan terikat erat kedua tangan dan kakinya. Gadis itu tak dapat bergerak, kecuali berguling-guling di atas kasur yang amat dibencinya, dan sesekali duduk."Di mana Abdi? Kenapa dia nggak datang ke sini menolongku?" batin Tiara, teringat pada Abdi yang entah sedang berada di mana.Satu pikiran buruk seketika berkelabat di benak gadis itu. Jangan-jangan, dua lelaki yang tadi menghadang Abdi benar-benar menjalankan niat mereka untuk menghabisi pemuda itu?Tiara meringis ngeri. Ia tak sanggup membayangkan jika pikiran buruknya itu benar-benar
HARI menjelang sore sewaktu Abdi tersadar dari pingsan. Pemuda itu bangkit dan duduk, langsung kaget merasakan pantatnya basah. Ia jadi terjingkat berdiri.Kening Abdi berkerut dalam mengetahui dirinya tadi terbaring di atas tanah basah, di pinggir sungai. Sementara barang-barangnya berada di seberang lain.Saat menggerakkan tubuhnya, Abdi merasakan nyeri di dada dan pinggul. Barulah pemuda itu sadar apa yang telah terjadi pada dirinya. Seketika ia teringat pada Tiara yang entah berada di mana."Tiara?" desis Abdi. Tanpa sadar untuk pertama kalinya tidak menyebut nama atasannya tanpa embel-embel 'Ibu'.Kepala Abdi berputar, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mencari-cari di mana tempat tadi tiga orang yang menculik Tiara pergi.Lalu pandangannya menangkap jejak-jejak basah di sebelah depan. Menuju ke sebalik semak-semak nan rimbun. Banyak sekali jejak kaki di sana."Mereka pasti pergi ke arah sana. Aku harus segera menyusul mereka se