SUSAH payah Abdi mengatur jawaban untuk pertanyaan tersebut. Meski benar seperti dikatakan Atisaya, jawabannya cukup iya atau tidak, namun persoalannya tidak sesepele itu.
Satu kata yang menjadi jawabannya bakal berbuntut panjang. Sangat panjang. Dan Abdi masih merasa belum siap menghadapi akibat apa pun yang timbul dari jawabannya. Baik iya maupun tidak.
Di tempatnya, Atisaya tersenyum kecut sembari gelengkan kepala perlahan. Ia tahu Abdi tak akan bisa menjawab pertanyaan tersebut. Sepanjang pertunangan mereka yang berjalan nyaris setahun, tak pernah sekali pun ia mendengar Abdi menyatakan rasa cinta terhadapnya.
"Akang nggak bisa menjawab. Itu berarti jawabannya Akang nggak cinta sama Eneng," kata Atisaya kemudian.
Abdi pandangi gadis di hadapannya dengan tatapan kuyu. Sedangkan pandangan mata Atisaya memancarkan sorot kekecewaan. Rasa sukanya pada Abdi ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.
Pertunangan keduanya memang ide Atisaya. Dengan
TAK menunggu lama dr. Faisal tiba. Dokter pribadi Keluarga Wardoyo itu langsung masuk ke dalam kamar untuk mengecek kondisi Tiara.Bu Wardoyo hanya menyambut kedatangan dokternya tersebut dengan basa-basi singkat. Begitu sang dokter mengeluarkan alat-alat dan mulai memeriksa, wanita paruh baya itu ikut menyaksikan dari tepi kasur."Mbak Tiara tadi nggak telat makan kan ya?" tanya dr. Faisal seraya menempelkan stetoskopnya ke dada Tiara.Bu Wardoyo tak langsung menjawab. Tadi Tiara sampai di rumah menjelang makan siang. Tapi wanita paruh baya itu tidak tahu kapan terakhir kali puterinya makan."Theo, tadi di jalan kalian terakhir kali makan jam berapa?" Bu Wardoyo ganti bertanya pada Theo yang berdiri di sudut kamar.Yang ditanya cepat-cepat turunkan kedua tangannya yang semula disedekapkan di depan dada."Mmm, kami tadi sarapan sekitar jam enam, Tante. Terus habis itu cuma ngemil di mobil, nggak berhenti makan karena Tiara minta cepat-cepat
JAWABAN sang mama membuat Tiara cepat memutar kembali ingatannya. Tapi tak banyak yang dapat ia ingat. Selain momen ketika dirinya sedang berbincang-bincang di ruang tengah bersama Mama dan ...."Theo, terima kasih ya kamu sudah bantu. Sekarang kalau mau pulang, silakan." Ucapan Bu Wardoyo membuat lamunan Tiara buyar."I-iya, Tante. Saya memang sudah ditunggu di rumah sama Papa," sahut Theo. Pemuda itu sama sekali tidak merasa diusir, sebab memang sejak tadi ia sudah ingin pulang.Usai berkata begitu Theo mendekat ke tempat tidur, berdiri di sisi Tiara. Senyum tak pernah sebentar pun lepas dari wajah pemuda itu."Cepat pulih ya. Nanti aku ajak makan di suatu tempat," ujar Theo. Tanpa ragu mau pun sungkan pemuda itu mengusap kepala Tiara."Iya, terima kasih," sahut Tiara sembari membalas senyum Theo. Ia merasa ada satu perasaan hangat nan menenteramkan yang menjalar dari usapan tangan Theo di kepalanya."Saya pamit dulu, Tante," pamit Theo pa
OTAK Tiara cepat berputar, mencari-cari jawaban apa yang sebaiknya disampaikan pada Mama. Tidak! Tidak mungkin ia menjawab jujur dan apa adanya. Setidaknya bukan sekarang.Tiara masih merasa belum siap menceritakan apa yang ia rasakan, harapkan, inginkan terhadap Abdi kepada Mama. Lebih-lebih karena urusan pertunangannya dengan Ryan masih belum selesai.Lagi pula, Abdi juga berstatus tunangan wanita lain. Entah apa komentar Mama nanti jika tahu puterinya jatuh cinta dengan lelaki tunangan orang lain. Tiara belum siap untuk itu semua."Engg ... anu, Ma ...." Ucapan Tiara tak pernah keluar sepenuhnya, melainkan sekadar gumaman tak jelas yang membuat kening mamanya berkerut dalam."Jadi, benar kan kamu ke Indramayu untuk menemui Abdi, bukan karena ada urusan kantor?" Bu Wardoyo mendesak tak sabar.Tiara menghela napas panjang. Sejenak dipalingkannya pandangan dari sang mama. Gadis itu menyadari ia tak bisa sepenuhnya mengarang jawaban."Iya, Ma
SISA hari itu dihabiskan Tiara untuk beristirahat di kamar. Bu Wardoyo yang merasa khawatir puterinya kenapa-kenapa, berkeras memaksa Tiara untuk tetap berada di dalam kamar saja.Mulanya Tiara menolak. Namun setelah Mbak Yem mendukung pendapat Bu Wardoyo, ditambah Pak Wardoyo yang kemudian pulang juga ikut mendukung istrinya, mau tak mau gadis itu pun harus menurut.Tanpa terasa sore datang dan berlalu. Tiara sudah terlelap tak lama selepas makan malam. Tahu-tahu pagi menjelang. Gadis itu terbangun oleh alarm di smartphone-nya."Ooh, aku lupa mematikan alarm kemarin," desah Tiara begitu terjaga penuh dari tidur.Alarm itu disetel Tiara kemarin, karena ada janji dengan Theo untuk pergi ke pantai pagi-pagi. Khawatir bangun kesiangan, ia pun memasang alarm pukul empat pagi.Cepat gadis itu meraih gawainya yang terus mengeluarkan suara nyaring. Juga bunyi berisik yang ditimbulkan oleh getarannya ketika menyentuh permukaan nakas.Begitu benda be
PAK Wardoyo tengah membaca dengan tablet di teras belakang ketika Tiara menemuinya. Lelaki paruh baya itu tampak masih mengenakan piyama tidur. Ditemani segelas jeruk panas dan beberapa potong buah segar di atas meja.Dari menunduk menatap layar tablet, Pak Wardoyo langsung angkat wajah mengetahui kedatangan Tiara. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang masih terlihat tampan."Hmm, anak Papa sudah wangi dan rapi sepagi ini," ujar Pak Wardoyo seraya menyambut ciuman yang diberikan puterinya."Rencananya mau ngantor, Pa. Sudah lama ninggalin urusan kantor, nggak enak sama Pak Seno," sahut Tiara, lalu duduk di kursi kosong sebelah meja."Jadi, ngantornya karena merasa nggak enak sama Pak Seno? Kalau nggak punya rasa nggak enak, nggak ngantor dong ya?" tanya Pak Wardoyo menggoda.Tiara tergelak mendengar pertanyaan papanya."Ya nggak gitu juga sih. Tapi masa direkturnya absen lama banget dari kantor," sahut gadis itu."Absen nggak apa-
TIARA tak mau buang-buang kesempatan. Inilah momen yang ia tunggu-tunggu. Gadis itu pun menumpahkan semua apa yang ia pendam mengenai Ryan selama ini pada sang papa."Mama belum cerita apa-apa sama Papa ya?" tanya Tiara untuk meyakinkan bahwa papanya belum tahu mengenai perselingkuhan Ryan."Cerita apa?" Pak Wardoyo balik bertanya. Wajahnya jelas sekali menunjukkan ekspresi keheranan."Cerita soal Ryan," sahut Tiara singkat. Ia masih belum yakin mamanya tidak menceritakan apa yang telah ia ceritakan saat di Batang waktu itu.Pak Wardoyo tampak mengingat-ingat sebentar. Bibirnya dimonyongkan lagi ke depan beberapa senti. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepala."Nggak ada. Mama nggak pernah cerita apa-apa soal Ryan sejak kamu kembali," jawab Pak Wardoyo kemudian.Tiara menghela napas panjang. Ia terlebih dahulu menata perasaan sebelum mengenang lagi peristiwa yang paling dibencinya sejauh ini."Jadi, begini ceritanya. Papa jangan kag
TEPAT pukul tujuh pagi Tiara sudah meninggalkan rumah untuk menuju kantor. Gadis itu hanya mengunyah sebiji apel sebagai menu sarapan. Itu pun dihabiskan sambil mengerjakan yang lain.Begitu minuman hangat yang dibuatkan Mbak Yem ia habiskan, Tiara pun berpamitan pada papa dan mamanya. Kali pertama momen seperti ini terulang setelah absen selama lebih dari sebulan."Hati-hati di jalan ya, Sayang," pesan Bu Wardoyo saat mengecup pipi Tiara kiri-kanan."Tenang, Ma. Jangan khawatir," sahut Tiara sambil tersenyum lebar."Ingat, secepatnya ajak Ryan bicara biar urusannya cepat selesai." Kali ini Pak Wardoyo yang memberi pesan.Tiara hanya mengangguk. Lalu setelah sekali lagi berpamitan, ia pun masuk ke dalam mobil. Untuk sementara ia memakai sedan milik sang papa.Bertepatan saat mobil yang dikemudikan Tiara menghilang di balik gerbang, Bu Wardoyo gamit lengan suaminya. Diajaknya lelaki paruh baya itu duduk di kursi yang berada di sudut teras.
PAK Wardoyo bergerak mendekati istrinya. Merasa penasaran sekali ide apa kiranya yang tiba-tiba muncul di kepala wanita tersebut."Mama punya rencana apa?" tanya Pak Wardoyo."Nggak tepat sih kalau disebut rencana," sahut Bu Wardoyo. "Tapi begini. Tiara memergoki Ryan selingkuh, dan yang memergoki hanya Tiara sendiri. Tidak ada orang lain yang tahu selain Tiara, Ryan, dan perempuan selingkuhannya itu."Bu Wardoyo sengaja menghentikan ucapannya di situ. Sejenak ditatapnya Pak Wardoyo yang terlihat mengerutkan kening. Jelas sekali lelaki tersebut belum dapat memahami ke mana arah pembicaraan istrinya."Lalu?" desak Pak Wardoyo karena istrinya tak kunjung melanjutkan."Ya artinya kita tidak punya cukup bukti mengenai perselingkuhan Ryan. Yang kita pegang cuma pengakuan Tiara ....""Tapi, Ma, bukankah pengakuan Tiara itu saja sudah cukup bagi kita? Papa yakin sekali Tiara nggak mungkin mengarang cerita," tukas Pak Wardoyo.Bu Wardoyo cepa