Pukul empat sore Arkan pulang ke rumah, sangat tepat waktu. Hal itu sebenarnya membuat Aruna agak heran juga. Tapi mengingat Arkan yang tak punya teman, ya wajar. Pasti Arkan tak ada waktu main atau nongkrong dulu dengan yang namanya teman."Mana ponselmu?" Arkan bertanya pada Aruna setelah mereka ada di kamar. Aruna sedang membereskan meja kerja Arkan, dan agak bingung saat Arkan meminta ponselnya. Namun Aruna langsung menyerahkannya tanpa banyak bertanya. Aruna membiarkan Arkan mengotak-atik ponselnya, sementara dia sendiri menyiapkan air hangat untuk Arkan mandi."Mas, airnya udah siap." Aruna berucap setelah keluar dari kamar mandi. Dia membiarkan pintu kamar mandi terbuka, lalu berjalan mendekati Arkan yang masih memegang ponselnya."Lihat apa sih?" Aruna bertanya dengan penasaran. Dia lalu ikut melihat ke arah ponselnya, dan ternyata Arkan sedang membuka fitur pesan di akun sosial media miliknya. "Gak ada apa-apa kan?" Aruna bertanya dengan tatapan bete ke arah Arkan. Arkan tak
Hari demi hari Aruna jalani dengan biasa saja. Setiap hari dia bersama dengan Hana di belakang rumah untuk menyiram bunga-bunga milik Hana. Kadang mereka juga menghabiskan waktu bersama di dapur untuk mencoba resep makanan dari internet atau sekedar membuat kudapan.Namun pagi ini, Aruna merasakan mulas pada bagian perut bawahnya. Dan ternyata, dia datang bulan. Aruna merasa senang sekaligus sedih saat mendapati dia datang bulan. Senang karena dia akan terbebas dari Arkan selama kurang lebih seminggu sampai datang bulannya selesai. Sedih juga karena datang bulannya sekarang menandakan kalau dia belum hamil.Ya, Aruna sebenarnya berharap cepat hamil agar dia bisa segera menyelesaikan tugasnya sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Salahkah kalau dia mengharapkan hal seperti itu?Menikah dengan Arkan memang bukan sesuatu yang sangat buruk. Hanya saja, Aruna merasa ini bukan hal yang benar untuk dijalani. Jujur saja, kadang Aruna berpikir kalau sekarang dia hanya dijadikan budak seks saja
Aruna membuka matanya dengan perlahan saat merasakan ada seseorang yang mengusap kepalanya. Matanya memicing, berusaha memperjelas penglihatannya. Setelah nyawanya terkumpul, Aruna bisa melihat dengan jelas sosok Arkan di depannya sekarang."Sudah bangun?" Kata itulah yang pertama kali Aruna dengar saat dia terbangun dari tidur siangnya. Aruna mengerutkan kening sembari bangun dan duduk di atas ranjang."Sejak kapan Mas pulang?" Aruna bertanya seraya menatap sekitar, dan ternyata hari masih siang."Sejak tadi. Aku pulang untuk makan siang," jawab Arkan. "Ini sudah jam makan siang?" tanya Aruna dengan tatapan tak percaya. Arkan pun menganggukkan kepala. "Kamu tidur sangat nyenyak. Aku tak tega untuk membangunkanmu. Jadi aku bawakan makan siang untukmu," ucap Arkan seraya melihat ke arah meja di dekat sofa. Aruna juga melihat ke arah sana, dan terlihat ada nampan di sana."Maafkan aku, Mas. Aku tak menyangka akan tidur lama seperti ini," ucap Aruna. "Tak masalah." Arkan membalas. "B
Sembari menunggu kepulangan Arkan, Aruna memperhatikan foto-foto yang dipajang di dinding. Ada foto inti keluarga Arkan yang terdiri dari empat orang. Dan ternyata, foto dia dan Arkan saat hari pernikahan juga di pajang. Begitu juga foto Adnan dan Delia. Tak lama, Aruna mendengar suara mobil yang memasuki halaman rumah. Aruna pun berjalan keluar dan berdiri di teras. Dia tersenyum saat Arkan keluar dari dalam mobil dan menenteng sesuatu yang Aruna yakini adalah pizza pesanannya."Ini." Arkan menyerahkan kotak pizza yang dia bawa pada Aruna dan diterima oleh Aruna dengan senyum semringah."Papa dan Mama kemana?" Arkan bertanya saat merasakan rumah yang sepi. Biasanya saat dia pulang ayahnya selalu ada di teras rumah atau di ruang tamu sambil membaca berita dan minum teh."Mama tadi pamit pergi ke kondangan dengan Papa katanya," jawab Aruna."Sejak kapan?" tanya Arkan lagi."Mungkin jam dua siang kalau aku gak salah," jawab Aruna. Dia menutup pintu di belakang Arkan lalu mengajak suami
Aruna hari ini bangun lebih awal dari Arkan, dan tentu saja tak ada kata terlambat karena Arkan tak macam-macam pagi ini padanya. Setelah membangunkan suaminya dan memastikan suaminya tersebut masuk ke dalam kamar mandi, Aruna langsung turun ke dapur dan membantu ibu mertuanya menyiapkan sarapan."Kamu baik-baik saja, Run? Perutmu gak kram kah?" Hana bertanya saat Aruna berjalan mendekat dan langsung mengambil pisau untuk memotong buah."Baik, Ma. Semalam agak sakit dan langsung minum obat pereda nyeri. Sekarang sudah baik-baik saja," jawab Aruna. "Baguslah. Mama senang mendengarnya. Ngomong-ngomong, nanti kamu gak akan pergi kemana-mana kan?" Hana bertanya seraya menuangkan sup dari dalam panci ke sebuah mangkuk berukuran besar."Mama tahu sendiri kalau aku tiap hari di rumah," jawab Aruna. Hana tertawa pelan mendengar itu."Kamu benar. Kalau begitu, nanti ikut Mama mau gak? Kita ke salon." "Boleh sih. Tapi, Mas Arkan belum tentu mengizinkan," jawab Aruna. Hana terdiam sesaat kala
Hana dan Aruna menghabiskan waktu berjam-jam di salon, hingga jam makan siang mereka pun terlewat. Selain melakukan perawatan rambut, mereka juga melakukan perawatan kuku juga agar terlihat cantik.Aruna sempat khawatir dengan biaya yang akan dikeluarkan, namun Hana dengan santai bicara pada Aruna untuk jangan memikirkan masalah uang."Sekarang kamu istrinya Arkan. Selain untukmu, memangnya dia kerja buat siapa lagi? Tugas kita sebagai istri adalah untuk menghabiskan uang suami. Toh, mereka juga kerja untuk kita."Aruna tak bisa menahan senyum saat Hana berkata seperti itu. Aruna tak terbiasa melakukan perawatan yang menghabiskan biaya sampai jutaan. Namun mengingat saldo dalam rekeningnya membuat Aruna berusaha santai juga. Uang bulanan yang Arkan berikan juga lebih dari cukup untuk dia pakai perawatan.Mereka keluar dari salon hampir menjelang sore, dan Aruna untungnya sudah memberitahu Arkan agar makan siang di luar saja dan gak perlu ke rumah karena dia dan Hana masih di salon."M
Sesampainya di restoran yang Tio maksud, ternyata Arkan lebih dulu sampai di sana dan sudah menunggu mereka di parkiran. Aruna keluar dari mobil mertuanya dan tersenyum ke arah Arkan yang sudah menunggu dirinya."Udah sampai dari tadi?" Aruna bertanya seraya berjalan mendekati Arkan."Lima menit yang lalu." Arkan menjawab. Dia langsung meraih tangan Aruna dan menggenggamnya dengan erat. Mereka pun mengikuti langkah orang tua Arkan yang masuk ke dalam restoran."Ngapain aja di salon?" Arkan bertanya pada Aruna."Perawatan rambut dan kuku," jawab Aruna. Dia lalu memperlihatkan kuku tangannya yang dipoles dengan indah. "Bagaimana? Bagus kan?" tanya Aruna dengan antusias."Bagus dan cocok untukmu." Arkan menjawab. Aruna tersenyum lebar mendengarnya. Walau Arkan melontarkan pujian kecil tersebut dengan wajah datar, Aruna tetap merasa senang."Kalau aku mau melakukan perawatan tubuh dan wajah juga boleh nggak? Biar makin cantik." Aruna bertanya dengan mata mengerjap manja, berusaha agar me
Pukul sembilan malam, mereka sampai di rumah Aruna. Aruna sempat bingung karena dia lupa membawa kunci rumahnya. Dan mengejutkan sekali karena ternyata Arkan yang memegang kunci rumah Aruna. Bahkan pria itu mengaku sudah membuat duplikat kuncinya tanpa sepengetahuan Aruna."Sejak kapan kunci rumah ini ada padamu, Mas?" Aruna bertanya penasaran. Mereka masuk ke dalam dan suasana rumah terlihat sangat bersih dan rapi. Aruna baru ingat kalau Arkan memperkerjakan seseorang untuk membersihkan rumahnya dua hari sekali."Sejak awal kita nikah. Aku yang mengontrol keamanan rumah ini," jawab Arkan dengan jujur. Aruna kaget mendengarnya, karena dia sendiri sampai lupa pada rumah tersebut.Aruna dan Arkan kemudian duduk di sofa ruang tamu yang sudah usang sembari menikmati jajanan yang Aruna beli tadi."Aku berniat mau merenovasi rumahmu ini. Bagaimana menurutmu?" Arkan bertanya pada Aruna yang duduk di sampingnya."Merenovasi?" tanya Aruna dengan alis bertaut."Ya. Mungkin akan lebih bagus kala