Share

2. Tangga Kematian

Anak-anak jurusan Game Development terlihat memenuhi aula khusus untuk sidang pertama. Mereka akan mempresentasikan proposal gim buatan masing-masing di tahun terakhir pendidikan.

Seorang gadis murah senyum masih menjadi pusat perhatian. Ia tampak sederhana dengan cardigan berwarna pastel dan jeans hitam. Rambut cokelat sebahu dengan poni tipis menambah kesan muda dan fresh. Anak-anak dari berbagai penjuru dunia silih bergantian ingin mengobrol dengannya. Selain karena aura lembutnya, kepintarannya membuat anak-anak universitas penasaran.

"Isabella, proposalmu pasti tidak akan mengecewakan! Para dewan tidak akan tahan dengan pesonamu, hahaha," goda salah satu laki-laki berkulit tan yang akrab disebut Jacky.

Isabella hanya tersenyum tipis dengan pipi memerah.

Perhatian gadis itu lalu teralihkan oleh anak-anak yang perlahan menepi. Membuka jalan dan terpana pada kecantikan si gadis bersepatu merah. Sambil berjalan layaknya model, Merin Noella datang dengan jaket rantai andalannya. Bibir yang semerah delima, menyempurnakan riasan smooky eyes-nya.

Denada Chloe, sahabat Isabella menyipit. "Dia memang cantik dan pintar, tapi kelakuannya seperti siluman."

"Jangan bicara seperti gitu," tegur Isabella.

"Aku nggak akan lupa gimana dia merobek gaunku di tahun pertama!" dengkus Denada.

Namun, gadis itu langsung terdiam begitu menyadari Merin sudah berdiri di hadapannya.

"Masih dendam soal gaunmu?" kekeh Merin, "padahal kamu yang pertama kali menyerangku hanya karena gaun kita sama. Bocah sekali."

Denada menggeram. "KAMU—"

Tamparan keras hampir dilayangkan oleh Denada, tapi Isabella menahan tangannya.

"Merin, sudahlah. Jangan ganggu kami. Kita di sini untuk sidang," lerainya.

"Benar! Kamu selalu berlagak paling pintar, tapi tunggu dulu. Isabella bakal memenangkan proposal terbaik!" sela Jacky.

Merin menggigit bibir bawah. Dadanya dibuat naik-turun. Dengan tatapan liar, dia menarik kerah baju Jacky. Membuat pemuda itu membelalak seketika dan hampir tercekik.

"Dengar, aku akan menjadi lulusan terbaik. Jadi, sidang proposal ini harus kumenangkan!" tangkas Merin sambil mendorong Jacky dengan keras.

Isabella tersenyum tipis. "Jacky benar, Merin. Sebaiknya jangan terlalu berharap. Para dewan akan tahu dengan jelas siapa pemenangnya."

Di tengah ketegangan itu, speaker besar memberikan pengumuman yang membuat semua orang mengeluh.

Perhatian! Dikarenakan ada perbaikan teknis, sidang ditunda selama dua jam. Semua mahasiswa/i diharapkan bersabar.

Penundaan sidang membuat beberapa mahasiswa memilih menunggu di luar. Merin mengamati halaman aula, ekor matanya memeriksa segala sudut. Dia tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya kerumunan anak yang tengah bergosip.

"Ke mana perginya Isabella?" gumam Merin.

Bukan tanpa alasan Merin mencari gadis itu. Merin sengaja membuat perdebatan kecil Jacky sambil melihat reaksi Isabella. Mendapati Isabella yang tampak sepenuhnya yakin akan menang, Merin tidak membiarkan hal itu mengusiknya.

"Argh, aku tidak suka tatapan remeh gadis itu," gumam Merin.

Beruntung. Siluet Isabella tertangkap tengah berjalan ke belakang aula sambil menggenggam tangan seorang pria. Merin langsung mengikuti keduanya. Setelah menyusuri lorong-lorong gedung kampus, Merin dibawa keduanya masuk ke dalam area tangga darurat. Ia amat menjaga langkahnya agar tak menimbulkan suara.

Isabella dan pria yang itu akhirnya berhenti di tengah-tengah. Membuat Merin bisa melihat secara jelas identitas si pria. Alisnya berkerut, pertanda ia mencoba berpikir keras.

Bukannya itu salah satu dosen di kampus ini? Siapa ya namanya? Ah, Prof. Eldric Lee Peterson! Batin Merin dengan pupil mata melebar. Dengan sigap, Merin mengeluarkan ponsel dan langsung merekam keduanya.

"Kamu benar-benar bisa melakukannya dengan baik, kan?" tanya Eldric serius. Merin menyelipkan rambutnya ke telinga agar bisa menguping dengan jelas.

"Tentu, Prof. Tidak, maksudku El—"

Tiba-tiba, Isabella melingkarkan lengannya ke tubuh Eldric. Mimik wajah Merin berubah menjadi seperti melihat orang muntah.

"Aku tidak akan pernah mengecewakan sahabat kecilku."

Merin memutarbalikkan bola matanya. Tukang drama, Cemoohnya dalam hati.

Tangan Eldric mendorong lembut bahu Isabella, lalu merogoh sebuah flashdisk berwarna emas. Tangan Merin terkepal. Dalam hati, dia merasa kecurigaannya terbukti. Isabella menggunakan cara curang untuk menang.

Merin tersentak ketika Eldric hendak bergegas keluar. Sontak, Merin berbalik dan berlari kecil mendahului dosen muda itu. Pintu tangga darurat terbuka. Mengembuskan angin sunyi di lorong yang panjang. Merin mengintip dari ruangan yang kebetulan terbuka. Menunggu punggung laki-laki itu lenyap dari pandangannya.

"File itu pasti berisi bocoran pertanyaan dari dewan. Aku gak akan membiarkanmu memilikinya!"

Dengan mata membara, Merin kembali memasuki tangga darurat. Tekadnya untuk melabrak Isabella sudah bulat. Namun, semua makian tertahan di tenggorokannya begitu mendengar percakapan Isabella dengan seseorang di telepon.

"File-nya sudah ada di tanganku. Aku ada di tangga darurat gedung utama. Cepat ke sini, Sayang!"

"Dasar wanita ular!" celetuk Merin sambil melipat tangan di dada.

Isabella terperajat. Dia buru-buru mematikan ponsel dengan tubuh bergetar. Kedua lengannya bersembunyi di punggung. Merin menuruni anak tangga dengan santai, sementara Isabella memepetkan tubuhnya ke dinding.

Merin menengadahkan satu tangannya. "Selagi aku meminta baik-baik, serahkan file itu."

"Untuk apa? Apa hubungannya denganmu?" tanya Isabella keheranan.

Rasa kesal mulai mendera Merin. Dia mendekatkan tubuhnya pada Isabella dan bersiap menarik tangan gadis itu. Namun dengan refleks, Isabella menghindar dan mencoba melarikan diri. Sayangnya, cengkeraman Merin mendarat lebih cepat dari dugaan.

BUKKK! Merin menarik gadis itu dan membenturkan punggungnya ke tepian tangga.

"Kita harus melakukan semuanya dengan adil, kan? Beraninya kamu—"

Merin menghela napas sejenak sebelum melanjutkan perkataaannya. "Sudahlah, cepat berikan file-nya!" tuntut Merin.

Isabella mengeraskan kepalannya dan mendorong Merin. Percuma saja, nyatanya Merin tidak goyah. Jari-jemarinya dengan kuat membobol kepalan gadis itu.

"Lepaskan!" pekik Isabella.

Keduanya saling mendorong satu sama lain. Hingga akhirnya, Merin mengerahkan kekuatan penuh. Satu tangannya berhasil merebut flashdisk, tapi tangan lainnya malah kelepasan mendorong Isabella sehingga tubuhnya terpental melewati tepian tangga.

Untungnya, kedua tangan Isabella masih mencengkeram tepian. Merin membelalak sambil mundur beberapa langkah. Dia hanya menatap nanar Isabella yang menangis panik.

"Merin, tolong aku. Bantu angkat aku," lirih Isabella dengan keringat membasahi keningnya.

Merin bergeming. Dia melirik flashdisk emas di telapak tangannya, lalu meremasnya keras.

"Aku tidak mau ikut campur dengan masalah hidup dan matimu," ketus Merin, "cobalah bertahan, lagi pula pacarmu itu akan datang."

"Tidak, kumohon ... jangan pergi!" isak Isabella melihat Merin kembali menaiki tangga untuk keluar.

Meski pita suara Isabella terputus, Merin tidak akan pernah berbalik. Dalam pengembaraannya selama 20 tahun di dunia, gadis itu tumbuh begitu dingin. Tanpa belas kasih, tanpa kepedulian, dan hanya akan memikirkan dirinya sendiri. Prinsipnya adalah jangan berutang dan mengutangkan apa pun pada manusia.

Di tengah lorong, mata Merin sedikit berair. Barangkali karena dia lupa berkedip atau karena suatu hal terbesit di otaknya. Suara percikkan air, teriakan minta tolong, dan perasaan sesak yang menyeruak.

Merin berhenti sejenak. Dia sedikit membungkuk, bertumpu pada kedua lututnya.

"Benar, seperti itulah rasanya," gumam Merin sambil menelan ludah.

Baru saja Merin hendak mengangkat tubuhnya kembali, seseorang menabraknya dengan cukup keras.

Flashdisk yang berada dalam genggamannya terjatuh. Kedua tangan Merin terpaksa bertaut pada jas si penabrak.

Merin mendongakkan kepala. "Profesor?" tanyanya sambil langsung melepaskan diri.

Dahi Eldric berkerut masih dengan pandangan ke bawah. Dia berjongkok, meraih flashdisk itu lalu menatap Merin curiga.

Eldric mengernyit. "Siapa kamu? Kenapa benda ini ada di tanganmu?"

"Saya Merin Noella Amyra. Anda telah melakukan kecurangan, Prof! Sebagai dewan, bisa-bisanya

Anda membocorkan pertanyaan sidang kepada Isabella Liu!" geram Merin.

Sontak Eldric mencengkeram bahu Merin. "Apa maksudmu? Flashdisk ini berisi panduan proyek Fantasia! Isabella Liu akan menjadi model saya besok!"

Kelopak mata Merin melebar. Bibirnya sedikit menganga mendengar pernyataan dosen jangkung itu.

"A—ap—pa? Jadi, Isabella tidak curang?"

"Di mana dia sekarang?"

Rasa sesal dan gelisah menyeruak di sanubari Merin. Gadis itu memejamkan mata sesaat, lalu berbalik arah.

"SIAL!"

Cengkeraman Eldric lepas dalam satu hempasan. Dia kembali berlari menuju tangga darurat, disusul Eldric dengan jas hitam yang mengepak oleh angin.

Dengan terengah-engah, Merin membuka pintu. Retinanya melebar ketika sadar tidak ada tangan yang menggenggam tepian tangga. Begitu dia memeriksa ke bawah, Merin sekuat tenaga menahan jeritannya dengan kedua tangan. Dia mundur beberapa langkah dengan tubuh bergetar, sementara giliran Eldric yang memeriksa.

"Isabella!" teriak Eldric mendapati tubuh gadis itu telah terbujur kaku di lantai dasar. Otaknya pecah dengan darah bersimbah menggenangi tubuhnya.

Tatapan Merin kosong. Ketakutan. Penyesalan. "Salahku—"

Eldric langsung melirik tajam Merin. Kedua tangannya mencengkeram keras tepian. Mencoba menahan diri sekuat tenaga. Menahan untuk tidak menyerang Merin. Menahan segala kekalutan yang ada.

"Aku akan melaporkanmu," geram Eldric.

Merin terpelatuk. Dia mencengkeram bahu laki-laki itu dengan keras. Sorot kekhawatiran dan amarah berpendar di pupilnya.

"Tidak, aku tidak akan membiarkan siapa pun memenjarakanku. Kedua orangtuaku pun begitu, mereka akan membunuhku bila aku merusak reputasi mereka!"

Merin berhenti begitu tatapan muak ditorehkan Eldric. "Apa kamu sadar akan perbuatanmu? Seseorang mati!"

"SAYA TIDAK SENGAJA MENDORONGNYA!"

Keduanya saling berlomba meninggikan suara. Merin menelan ludahnya lagi. Kali ini, tenggorokannya terasa lebih sakit. Perlahan, cengkeramannya melonggar. Tangannya lalu merogoh ponsel dan mengacungkannya di hadapan Eldric.

"Profesor, rekaman ini menunjukkan Anda adalah orang terakhir bersama Isabella di tempat kejadian. Anda paham maksudku, kan?" kata Merin.

Eldric mengatupkan bibir. Dia sejenak terkekeh, lalu kembali menggeram.

"Kamu pikir bisa menjebakku?" tantang Eldric.

"Anda juga tidak ingin mengacaukan proyek Fantasia, bukan?" timpal Merin dengan seringainya.

Sentuhan hangat mendarat di leher Merin saat Eldric melingkarkan tangannya. Bulu kuduk gadis itu merinding. Aliran darahnya terasa berdesir cepat ketika Eldric membelai pipinya lembut. Sebuah bisikkan lembut mengembus ke telinganya.

"Merin Noella, apa kamu tahu proyek seperti apa yang sedang saya kerjakan?"

"Jangan macam-macam," ancam Merin.

Tiba-tiba, tangan Eldric menarik bahu Merin dan mengunci tubuhnya erat.

"Proyek Fantasia diciptakan untuk menghukum orang-orang sepertimu. Orang-orang jahat yang tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan mereka!"

"Anda berencana membuat hukum baru dengan menggunakan teknologi?"

"Jika kalian tidak mau dipenjara, maka biar hari-hari kalian yang kubuat seperti penjara! Sebuah hukuman yang tidak akan bisa kalian lewati seumur hidup," jelas Eldric.

"Bagaimana jika saya bisa melewatinya?" tantang Merin, "apa berarti dosa ini sudah kutebus?"

Eldric membalikkan tubuh Merin. Membuat gadis itu sedikit berguncang. Pandangan mereka bertemu. Eldric masih menerka-nerka maksud dari Merin. Sementara gadis itu justru masih mempertahankan seringainya.

"Kalau begitu jadikan saya tersangka pertama Anda, Profesor Eldric. Saya akan menjamin video ini tidak akan bocor. Proyekmu akan terus berjalan dan saya aman dari jeruji besi."

Pandangan Eldric menurun sambil melangkah mundur. Menjatuhkan punggungnya ke dinding dengan napas terengah. Dia sadar semua yang dikatakan Merin masuk akal. Proyek Fantasia harus berjalan tanpa kendala. Jika tidak, dia akan mengecewakan banyak pihak. Keluarganya, seniornya, timnya, dan mendiang saudara kembarnya ... Aldric.

Bisakah aku percaya pada gadis licik ini? Batin Eldric.

Namun, dia tahu betul kehadiran Merin memberikan jalan keberuntungan pada proyeknya. Bila berhasil, Fantasia dapat langsung memperoleh lisensi resmi dari kementerian.

"Untuk apa berpikir lama-lama? Jangan membuang-buang waktu!" protes Merin.

Satu tangan Eldric meraup rambutnya. Sejenak dia meremasnya, lalu mengempaskannya. Kedua bahunya ditegakkan. Menghujami Merin dengan tatapan tajam.

"Aku akan menghubungi kepolisian. Kamu ikut saya ke markas." Eldric menginstruksi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status