Share

5. Perbedaan

"Lapor komandan!" Eldric bercanda.

Suara anggun wanita menyusul terdengar. "Makan?"

"Sudah," jawab Eldric manja, lalu disusul suara pria bersuara berat. [Peregangan?]

Raut wajahnya mendadak kaget. "Benar, aku lupa."

[Dasar bandel] omel sang ayah. "Sorry, Mr. James Peterson."

[Kapan kamu pulang ke Beijing, Nak?] tanyanya.

Belum sempat dijawab, Eldric terkekeh kecil sebab mendengar perdebatan kecil di telepon.

[Kenapa menanyakan itu? Proyek besar anak kita baru saja dimulai.]

[Seorang ibu wajib menanyakan kapan pulang, Sayang.]

Eldric menggaruk pelipisnya. "Eum ... Nyonya Bae Lui? Aku pasti akan menghubungimu seminggu sebelum pulang, jangan khawatir."

[Anak baik, ibu akan menantikannya!]

[Kalau begitu, sudah dulu ya!] sela Mr. Peterson, [Sayang, ayo jangan mengganggu waktu istirahatnya lagi.]

"Sampai jumpa! Aku sayang kalian, selalu."

Meski suara kedua orangtuanya lenyap saat ia kembali meletakkan ponsel, kehangatannya masih berbekas. Senyumannya terus melekat, memikirkan bagaimana beruntungnya ia dilahirkan oleh mereka. Kilasan kebersamaan keluarga kecil terbesit di otaknya. Ia mengenang masa bahagianya bersama ayah, ibu, dan Aldric.

Mereka berempat hidup harmonis. Hampir semua tempat wisata telah dikunjungi di sela kesibukan sang ayah yang menjadi koki di sebuah restaurant besar. Bahkan bercocok tanam menjadi agenda akhir pekan mereka. Gelak tawa keluarganya terngiang di telinga Eldric. Matanya sedikit memanas, mengingat kedamaian mereka terusik saat Aldric diracuni oleh rekan kerja sang ayah.

Eldric menghela napas berat. Sensor parameter emosi yang terhubung dengan drone Merin menyala merah. Alat itu menangkap lonjakan emosi tak stabil. Parameter emosi sendiri dirancang sebagai 'alarm' untuk mencegah tindakan kriminal dari tersangka saat emosi mereka meningkat.

Kursi berderit saat Eldric mendorongnya. Dia segera melesat naik menuju mejanya. Jemarinya mengetik instruksi menyalakan kamera pada drone.

OPENCAM MODE

PRAAANGGG! Pecahan vas bunga berceceran di lantai. Merin meremas kepala sambil berteriak di depan kedua orangtuanya.

"Aku sudah bilang masalahku tidak akan mengusik kalian! Kenapa kalian kemari?!" pekiknya. Tangan besar sang ayah langsung menampar pipi tirus gadis itu. Eldric yang menyaksikannya di layar langsung terkesiap. Tak terasa kedua tangannya mengepal.

"Kamu pikir masalah ini sepele?" bentak sang ayah. Ia masih memakai seragam pilot ber-nametag Aziz Dirgantara.

Sementara itu, ibu Merin memalingkan wajah. Kedua tangannya menyilang.

"Apa kamu tidak tahu rumor di Indonesia itu cepat sekali merebak? 'Anak dari aktris terkenal, Rosalina Noella terlibat kasus pembunuhan?' Ha! Yang benar saja," keluh ibunya.

"Tadinya kami akan memintamu melakukan konferensi pers untuk membantah, tapi kamu malah langsung ikut proyek konyol itu. Dasar bodoh!"

Merin menyipitkan mata. Satu tangannya masih menutupi pipi sebab merasakan perih yang berkepanjangan.

"Bagaimana bisa aku membantah? Bagaimana—AAAAAA!!!!" Merin berteriak sendiri. Dia tidak bisa meluapkan emosinya dengan kata-kata. Menyadari parameter semakin di puncak, Eldric tidak bisa tinggal diam. Sesuatu yang berbahaya bisa saja terjadi.

Connecting voicemail to smartlens . . .

"Anak pembawa onar!" seru ibu Merin.

Tubuh Merin bergetar hebat. Akal sehatnya sudah kacau. Satu tangannya meraup pecahan kaca, dia mengepalnya dengan keras sehingga darah mulai menetes. Mata birunya bergetar, dia hendak melemparkan pecahan itu pada sang ibu. Sebelum akhirnya, cahaya biru berpendar di pupil matanya. Telinganya menggema, menangkap suara tak asing.

"Merin, ini saya ... Prof. Eldric. Aku melihatmu terluka, bahkan jika mereka berpura-pura buta atas lukamu. Aku bisa melihatnya."

Suara lembut itu mulai menggoyahkan niatnya. Dia menelan ludah dengan berat, tangisnya deras tanpa suara. Kepalannya masih melayang di udara. Eldric menunduk, hatinya mulai terasa sesak. Ia merasa seperti telah berbagi emosi dengan gadis itu.

"Lepaskan kepalanmu ... kamu tidak harus ikut terluka demi menghukum mereka."

Seolah merasa terketuk, Merin menurunkan tangannya perlahan. Parameter emosi menurun sedikit demi sedikit. Kepalan itu terbuka, menghujani kembali lantai dengan pecahan.

Eldric mengangkat kepalanya. Dia mengembus napas lega dengan senyum merekah.

"Gadis pintar, sekarang tinggalkan mereka dan kunci kamarmu. Jangan dengarkan apa pun, pejamkan matamu."

Ayah dan ibu Merin hanya melongo melihat anaknya berjalan melewati mereka dengan tatapan kosong. Meski bibirnya masih bergetar, Merin berhasil masuk ke dalam kamar. Dia langsung mengunci pintu rapat-rapat, lalu menjatuhkan diri ke bawah. Dadanya naik-turun, mencoba untuk berhenti terisak.

"A—a—ku tidak bisa memejamkan mataku," ucapnya kelu. Eldric bisa melihat gadis itu tengah menatap kosong angin.

"Boleh aku bertemu denganmu?" racau Merin lagi. Kelopak mata Eldric membesar, tak menyangka akan permintaan gadis itu. Namun, ia merasa bertanya alasannya tidak diperlukan.

Eldric menurunkan pandangan. "Tidak," jawabnya, "aku tidak ingin melanggar aturan."

"Kenapa? Apa yang kamu takuti? Memang apa jadinya kalau kita bertemu lagi? Kamu akan kumakan?" Pertanyaan bertubi-tubi dilayangkan Merin dengan terkekeh. Melihat gadis itu masih mencoba bercanda, Eldric tersenyum tipis. Kemudian, senyum itu langsung lenyap, tergantikan dengan tatapan sendu.

"Karena aku takut akan seperti tadi," ungkapnya, "bukannya melumpuhkanmu, aku malah melepaskanmu."

Merin terenyuh. Bahunya akhirnya turun setelah daritadi menegang.

"Berandal ini ternyata anak baik."

***

"Ish! Tadinya aku mau benar-benar ingin menjaga mood malam ini, tapi ayah dan ibu malah datang," gerutu Merin sambil mengusap airmatanya.

Dia menggosok-gosok punggung, merasa pegal meski telah bersandar pada pintu.

Merin berteriak. Lebih singkat dan tidak cempreng. Namun tetap saja, bola matanya seperti akan keluar. Bukan serangan eksternal, melainkan karena dia melihat dirinya sendiri di cermin. Pipinya berdarah, tidak—lebih tepatnya dia seperti sedang nangis darah.

Gadis itu mengangkat tangan kanannya. Bagaimana dia bisa lupa bahwa sedang terluka? Saking mati rasa atau jangan-jangan dia punya ilmu kebal? Apa pun itu—baginya, benar-benar memalukan.

Merin melirik ragu drone, lalu berdeham kecil.

"Kamu masih di sana, Professor?" tanyanya memastikan.

Merin lega karena tidak ada suara yang menyaut. Bersyukur orang itu tidak sempat melihat kebodohannya. Merin memajukan wajah, menarik beberapa tisu basah sekaligus. Kemudian, menggosok pipinya secepat mungkin.

Sebenarnya, Eldric masih berada di sana. Memperhatikan layar dengan tangan menyilang. Sudah tak terhitung berapa kali, dia terkekeh sendirian.

"Oke, masalah teratasi!" serunya.

Tisu terakhir dilemparkannya ke keranjang sampah.

"Tunggu, tanganmu ...," celetuk Eldric ketika Merin mencoba mengambil sebuah berkas di mejanya.

Ringisan kecil Merin membenarkan peringatan Eldric.

"Argh, benar. Aku harus mengobati lukaku dulu sebelum latihan presentasi," gumam Merin.

Ujung kedua alis pria itu melengkung disertai helaan napas berat.

"Bodoh, kamu seharusnya beristirahat."

Tangan kiri Merin jadi bekerja lebih keras. Menarik laci dan mengeluarkan kotak P3K. Merin menjatuhkan kotak itu di bibir kasur, lalu duduk di sebelahnya. Plester, kain kasa steril, gel antiseptik, gunting, dan pinset pun terpampang. Namun, ia malah memandangi benda-benda itu.

Merin menggaruk pelipisnya. "Apa yang harus kuambil lebih dulu?"

Sontak, kelopak mata Eldric melebar. Dia mengusap bibir bawahnya, memilah cara yang tepat untuk membantu gadis itu. Jari-jemarinya mendarat di papan kibord, mengetikkan sebuah perintah pada smartlens.

Sending a videomail ...

Di tengah kebingungannya, Merin mendapati getaran kecil di smartlens. Sebuah video tutorial mengobati luka muncul di depan. Senyumnya langsung merekah, membentuk lengkungan bulan sabit. Sangat cerah... dan melegakan, setidaknya Eldric menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan momen langka itu.

Eldric menyandarkan punggungnya ke kursi. Menggunakan kedua tangan sebagai bantalan dengan mata masih tertuju pada Merin. Layaknya seorang guru TK yang mengawasi gadis kecilnya.

Posisi Eldric bahkan tak berubah setelah Merin selesai dengan lukanya.

Seperti tengah menonton komedi, Eldric betah melihat sesi latihan Merin. Di depan orang-orang, gadis itu tampak sangar. Ternyata, dia amat terlihat konyol bila hanya berhadapan dengan tembok.

"Para hadirin, marilah kita ...," Merin menggeleng cepat. "Tidak, kaku sekali pembukaannya, seperti kanebo kering."

Eldric tergelak. "Ternyata dia tak pandai dalam segala hal,"

Jarum jam terus menyusuri deretan angka. Beriringan dengan gerak bulan yang kini berada di puncaknya. Merin mulai menguap, membuat Eldric langsung menegakkan kembali badannya.

"Tidurlah. Aku kan sudah membiarkanmu bebas besok," bisiknya.

Seolah telepatinya sukses, Merin meregangkan tubuhnya lalu terhuyung-huyung ke kasur. Ia menarik selimut tebal dan langsung membenamkan kepala di bantal. Perlahan, matanya mulai terpejam. Namun, tak butuh waktu lama untuk terlelap.

Eldric mengamatinya tertidur, bahkan hingga fajar menyingsing.

***

Ketika arunika mulai menampakkan wujudnya, Eldric masih terjaga. Memang, dia sudah terbiasa. Namun kali ini, pikirannya diganggu oleh bayang-bayang Merin dan keluarganya. Dia merasa tidak boleh membiarkan hal semalam terulang lagi. Dia harus menjamin keselamatan gadis itu. Semalaman penuh, dia bergumul dengan kegelisahan hanya karenanya.

Dia segera menyambar jasnya untuk mengakhiri kegelisahan. Membuka pintu markas berlapis alumunium. Kali ini, markasnya terletak di tengah gedung penelitian PYRAMID—organisasi para ilmuwan pengembang teknologi milik Prof. Takeda. Banyak orang berjas putih terlihat berlalu lalang. Rata-rata, mereka menuju unit markas masing-masing. Membuat Eldric terlihat melawan arus.

Eldric merogoh ponselnya dan menghubungi Olivia dengan bahu terus naik-turun.

"Kamu mungkin akan kaget dengan rekam jejak semalam, nanti akan kujelaskan. Beritahu anak-anak aku ada urusan di luar,"

"Kamu tidak akan menemuinya kan, El?" balas Olivia cemas.

Eldric berhenti di depan mobilnya. Sedikit terhanyut dalam lamunan.

"Akan kupastikan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status