Share

3. Little Devil

Suara sirine menggema di langit universitas. Terdengar jeritan paling keras yang berasal dari Denada

Chloe. Beberapa orang menahan tubuh gadis itu yang hampir ambruk saat sahabatnya dibawa oleh petugas medis dengan tubuh tertutup kain putih. Situasi sidang menjadi kacau dan menegangkan. Para dewan akhirnya memutuskan untuk menunda sidang pertama.

"Denada Chloe," panggil salah seorang polisi membuat tangisnya berhenti.

Dia mengusap air matanya dan mencoba berdiri tegak.

"Apakah Anda adalah sahabat dari Isabella Liu?"

Denada langsung mengangguk dengan cepat. "Benar."

"Apa Anda bersedia memberikan kesaksian pada kepolisian?" tanya polisi itu memastikan.

Tanpa ragu, Denada kembali mengangguk. Namun, kecurigaan sedikit menyeruak di batin Denada sebab tidak dibawa ke kantor polisi. Dia justru digiring memasuki tempat paling ujung di universitas.

"Apa saya tidak akan memberi kesaksian di kantor polisi?" tanyanya.

"Tidak. Kepala polisi menunggu kesaksian Anda di markas Profesor Eldric," jelas polisi itu singkat tepat saat kedua tangannya membuka pintu markas.

Polisi itu menepi, sehingga Denada bisa melihat dengan jelas orang-orang di dalamny. Kepala

kepolisian bernama Pak Bram, Eldric, timnya, dan seorang jaksa yang sudah berumur, tapi masih memiliki badan tegap. Ia adalah perwakilan dari pengadilan, Tuan Robert.

Tangan Denada terkepal dengan mata membara. Dia menyadari bahwa Merin Noella ada di tengah-tengah mereka. Menjadi pusat, sekaligus berartikan orang yang bertanggung jawab. Sementara itu,

Merin hanya melirik Denada dengan ketus, lalu memalingkan wajah. Sayangnya, percuma. Merin dipaksa mengindahkan kembali Denada karena gadis itu meloncat ke arahnya. Kedua tangannya mencekik Merin dengan keras. Membuat Merin terperajat dan terbatuk-batuk di sudut ruangan.

Merin mencoba memberontak sebab dia hampir kehabisan napas, sementara yang lainnya juga ikut menarik

Denada.

"Kamu! Kamu pasti penyebab Isabella meninggal? Gadis siluman!" jerit Denada.

Mr. Bram meraih pistol di pinggangnya, lalu mengarahkannya ke pelipis gadis itu.

"Denada Chloe, saya perintahkan untuk mundur."

Tangan Denada gemetar. Sedikit luruh karena suara berat Mr. Bram. Akal sehatnya kembali. Dia sadar bahwa dia akan ikut dijebloskan ke penjara jika membuat lebih banyak kekacauan.

Merin menganga dan masih terbatuk-batuk. Ia langsung menghirup banyak oksigen begitu Denada melangkah mundur.

Eldric langsung berpindah posisi tepat di depan Merin. Melindungi gadis itu apabila ada serangan lanjutan. Tak disangka, sesuatu membuat tubuh Eldric menegang.

Dengan terengah-engah, Merin menyandarkan dahinya ke punggung profesor muda itu. Pandangan Eldric menjelajah ke seluruh ruangan sebab mendadak salah tingkah.

"Sebentar, Profesor," gumam Merin, "biarkan saya meminjam punggungmu sebentar."

Denada menggigit bibir bawahnya.

"Biar saya tanya sekali lagi, apa benar Merin Noella adalah tersangka utama?" tanya Denada dengan suara parau.

"Benar, dia telah menceritakan kronologi kejadiannya," ungkap Mr. Bram.

"Lalu, kenapa kalian tidak langsung membawanya ke kantor polisi?"

"Saudara Denada, saat ini Merin Noella tengah dipertimbangkan menjadi tersangka istimewa," sela Tuan Robert.

Denada mengeryit. "Apa?"

"Anda akan tahu begitu berita ini dirilis. Namun sebelumnya, Merin ingin mendapatkan beberapa informasi dari Anda."

Merin mengangkat kepalanya, lalu kembali menghampiri Denada. Menatap datar gadis itu meski disambut oleh decihan kebencian.

"Siapa pacar Isabella?" tanya Merin dengan tatapan tajam.

Denada terkekeh. "Isabella tidak punya pacar! Aku orang terdekatnya, kalian bisa menjamin itu."

Dahi Merin berkerut. Otaknya terasa berlari di kubus yang sempit, sementara percakapan Isabella di telepon masih terus terngiang-ngiang.

Merin menoleh ke Mr. Bram. "Apa kalian menemukan ponselnya?"

"Ponsel tidak ditemukan di sekitar jasadnya," sahut Mr. Bram.

"Kamu bilang sempat mendengar percakapan Isabella dengan pacarnya. Apa yang kamu dengar?" sela Olivia.

"Dia akan memberikan file Fantasia pada pacarnya," jawab Merin.

"APA?" teriak Jasper keceplosan.

Eldric mundur beberapa langkah. Membuat punggungnya membentur dinding.

"Tidak mungkin—"

"Dugaanku, Isabella telah mengkhianati kalian. Karena aku tahu pacarnya akan datang, jadi aku meninggalkannya tergantung di tepi tangga."

Loey yang sedari tadi merapatkan bibirnya, kini sedikit menganga. Dia terpelatuk mendengar Merin adalah seseorang yang menakutkan. Dia meninggalkan gadis yang sekarat? Itu dilakukan oleh orang-orang tanpa hati.

"Psikopat! Berani-beraninya kamu memfitnah Isabella!" cela Denada.

Mr. Bram segera mengambil langkah pencegahan lebih lanjut. Dia memberi isyarat pada bawahannya untuk membawa kembali Denada keluar.

"Saudara Denada, terima kasih telah bekerja sama. Bawahan saya akan mengantar Anda."

Denada mendengus, lalu meninggalkan ruangan dengan emosi yang masih bergumul. Merin berbalik, menatap Eldric dengan nanar.

"Aku mengakui kesalahanku, tapi kupikir kalian bisa menyelidiki pacar Isabella dan menemukan alasan mengapa ponselnya hilang," pinta Merin pada Mr. Bram tanpa mengalihkan pandangan.

Mr. Bram mengangguk pelan sambil mengusap dagunya.

"Saya sudah menerima pernyataan dari berbagai saksi. Merin dengan kesaksiannya tentang Isabella yang menelepon pacarnya di TKP. Lalu, dikuatkan dengan pernyataan Eldric bahwa Isabella menelponnya 30 menit sebelum kejadian. Artinya, memang benar Isabella membawa ponsel.

Kemudian, terkait pernyataan Denada yang membuat semuanya tumpang tindih—" Mr. Bram menahan sejenak kata-katanya. "Bagaimanapun, kami akan menyelidikinya lebih lanjut."

Kursi berderit mencegah keheningan yang mungkin akan terjadi. Tuan Robert mengibaskan jas abunya, lalu duduk lebih dulu di meja diskusi berbentuk bundar yang berada di tengah-tengah layar utama dan tabung smartlens.

"Publik sudah menunggu. Pengujian harus dilakukan hari ini. Mari kita fokus kepada Merin Noella yang dipastikan akan menjalani hukuman Fantasia."

Eldric bergabung bersama Tuan Robert, lalu disusul Mr. Bram. Sementara itu, tim Eldric kembali ke meja kerja mereka.

"Saudara Merin, silakan duduk," pinta Eldric. Merin memutarbalikkan bola matanya dengan tangan terlipat di dada. Sejenak ia mendengkus, kemudian mendaratkan tubuhnya ke kursi.

"Jadi, bagaimana?" ketus Merin.

"Loey," panggil Eldric. Dengan sigap, anak yang bertugas menjalankan sistem operasi ini mengerti maksud dari ketuanya. Suara ketukan kibord terdengar sangat cepat. Kemudian saat bunyi itu berakhir, semua pasang mata berbinar. Memantulkan cahaya biru dari big screen yang memuat sebuah tulisan dengan bunyi 'bip'.

MEMUAT KEABSAHAN MERIN NOELLA AMYRA SEBAGAI KRIMINAL ISTIMEWA FANTASIA . . .

Sebuah benda mirip mata yang menempel di tengah layar menghujani lantai dengan cahaya yang berpendar. Cahaya biru itu kemudian semakin menipis dan membentuk siluet seorang gadis dengan rambut panjang tergerai yang tengah duduk.

Merin menyipitkan mata.

Siluet itu perlahan menjelma sempurna menjadi duplikat seorang Merin Noella Amyra. Dengan tatapan kosong, tapi dapat berkedip dan tersenyum.

Merin dibuat terpana dengan apa yang dilihatnya. Mulut gadis itu sedikit menganga, dengan bercak biru yang tersisa di pupilnya.

"Bagaimana kalian dapat membuat hologram ini dalam waktu singkat?" tanya Merin.

Eldric beringsut dari kursinya. "Tempat dudukmu dilengkapi sistem Holographic Laser Projection dan sensor infra merah yang terhubung pada layar besar ini."

Bibir Merin melebar dengan alis terangkat. "Well, aku akan berusaha untuk tidak terlihat bodoh."

Terdengar kekehan tipis dari Tuan Robert. Sementara itu, Eldric berbalik dan menggerakkan tangannya seolah menggeser layar. Beberapa tulisan terjulur di samping hologram Merin. Eldric membacakannya dengan serius.

MERIN NOELLA AMYRA

Jakarta, 27 Juni 1999

Mahasiswi

DIDAKWA SEBAGAI KRIMINAL ISTIMEWA KARENA TELAH TERBUKTI MELAKUKAN KESALAHAN. DALAM HAL INI, MENDORONG KORBAN ( DIAKUI ).

BUKTI : SIDIK JARI & BARANG TERAKHIR KORBAN BERUPA FLASHDISK

SAKSI : Eldric Lee Peterson

DALAM HAL INI SESUAI DENGAN S&K SEBAGAI KRIMINAL ISTIMEWA, DIANTARANYA SEBAGAI BERIKUT.

KRIMINAL ISTIMEWA ADALAH ORANG YANG TERBUKTI DAN MENGAKUI KESALAHANNYA

KRIMINAL ISTIMEWA ADALAH ORANG YANG MEMILIKI BANYAK TUNTUTAN OLEH PUBLIK.

KRIMINAL ISTIMEWA ADALAH TERSANGKA UTAMA YANG DINYATAKAN BERSALAH. NAMUN KARENA KURANGNYA BUKTI, TIDAK BISA DIPENJARAKAN.

Mengacu pada syarat pertama, maka merin noella amyra resmi dinyatakan sebagai Kriminal Istimewa.

Selepas menjelaskan, Eldric berjalan menghampiri Merin. Ia mengulurkan tangannya dengan wajah datar. Loey melenyapkan semua hologram di depan dan menggantikannya dengan kursi yang turun dari langit-langit ruangan.

Merin menunggingkan senyum sambil meraih tangan Eldric. Mereka berjalan dan duduk di depan, tepat saat Olivia mendorong tabung smartlens dan menempatkan benda itu di sampingnya. Perasaan tegang menyeruak bersamaan dengan embusan napas.

"Tuan Robert, sesuai kesepakatan, pengadilan harus mengeluarkan lisensi resmi untuk Fantasia bila Merin Noella berhasil menjalankan proyek ini dalam waktu 6 bulan."

Tuan Robert berdeham. "Tentu saja."

Eldric mengalihkannya pandangannya pada Mr. Bram.

"Mr. Bram, Anda selaku pihak kepolisian telah resmi menjadi saksi atas proyek ini."

Anggukkan Mr. Bram menyambut pernyataan Eldric. Merin mendongak tepat di saat Eldric meliriknya.

"Teman-teman, mulai operasi!" cetus Eldric.

Olivia menekan tombol hijau di sisi atas tabung. Asap mengepul begitu tabung terbuka. Mengekspos smartlens yang tertaut besi tipis. Eldric mengambil penjepit khusus, menjepit satu per satu smartlens. Tubuhnya membungkuk di depan Merin, menyebabkan ia bisa melihat lentiknya bulu mata gadis itu. Merin dengan peka menatap Eldric begitu jarak wajah mereka menyempit. Tidak bisa dipungkiri, degup jantung keduanya saling berlomba satu sama lain.

Eldric memiringkan wajah supaya jemarinya bisa lebih muda menempelkan smartlens di bola mata Merin. Dengan refleks, Merin mengerjapkan matanya berkali-kali begitu smartlens itu berhasil mendarat di sebelah matanya.

"Wow, rasanya berat sebelah," gumam gadis itu. Eldric mengulang gerakannya, kali ini ia berusaha lebih cepat.

"Aku bisa melihat kamu begitu membenciku," racau Merin lagi, menyebabkan Eldric menahan jari di atas wajah gadis itu. Ia menahan tatapan agak lama.

"Kupastikan kamu tidak akan lolos dari hukuman ini selamanya."

Sejenak Merin menundukkan pandangan, lalu menatap kembali Eldric lagi.

"Kita akan lihat nanti, apakah tatapan kebencianmu akan berubah bila mataku telah sepenuhnya membiru."

Eldric tetap tidak berekspresi. Sambil merampungkan pekerjaannya, diam-diam Eldric mencoba menerka maksud dari gadis itu. Apa dia menggodaku agar aku meringankan hukumannya? Gadis pintar, tapi jangan harap aku akan melakukannya, Batin Eldric.

Selesai, tapi hal ini menandakan awal yang baru. Suasana hening seketika. Semua orang di ruangan menunggu reaksi Merin. Otot-otot wajah mereka tampak kaku dan terlihat menahan napas. Sampai akhirnya, kerjapan mata cepat Merin memberikan angin lega. Itu artinya, smartlens berhasil ditanamkan tanpa mengubah fungsi mata.

Eldric berjongkok di hadapan gadis bermata biru itu. Tatapan gelisah dilontarkannya.

"Kamu bisa melihatku dengan jelas?"

"Heem, tampan!" goda Merin dengan anggukkan dan senyum merekah.

Sayangnya, senyum itu langsung ditariknya kembali dan lenyap seketika. Dia mendongak, tatapannya menjadi penuh ketakutan. Telinganya berdesing keras seolah sesuatu menariknya masuk ke dalam dimensi lain. Sejenak dia terpejam sambil menutup telinganya. Kemudian ketika mencoba mengintip, sebuah pesawat besar siap menyambarnya dengan kecepatan penuh.

"Awas!!!" teriak Merin sambil menjatuhkan tubuhnya pada Eldric. Membuat punggung sang profesor terlentang sambil membiarkan gadis itu memeluknya erat.

"Jasper," panggil Eldric dengan suara berat.

"Apa? Sistem keamanannya baik-baik saja,"

Eldric melirik Loey yang masih terfokus pada komputernya.

"Baik-baik, aku pause dulu."

Anak itu kembali mengotak-atik komputer dengan malas.

Merin masih memeluk Eldric dengan ringisan tipis. Rasa pegal mulai menjalar, Eldric dengan ragu menepuk-nepuk punggung Merin.

"Buka matamu. Bahayanya sudah hilang."

"Apa itu tadi?" seru gadis itu sambil beranjak bangun.

Eldric menyusul. Mengibaskan kedua tangan di permukaan jas dan merapikannya.

"Situasi level pertama, kedua dunia aktifkan. Saat di mana hologram 7 dimensi kami menyatu dengan duniamu."

"Cuma hologram? Kenapa suasana yang terasa begitu nyata?" tanya Merin dengan kesal.

Telunjuk Eldric bermain di mata, lalu mengetuk-ngetuk pelipisnya. Dia mengisyaratkan keduanya saling terhubung satu sama lain.

Terdengar kekehan dari Tuan Robert. "Ternyata hukuman ini membuat orang menjadi gila."

"Lebih tepatnya hukuman mati," sela Olivia, "hukuman ini juga mendorong seseorang bunuh diri."

Pandangan Tuan Robert mengarah ke Eldric. "Tentunya Anda tidak bisa membiarkannya mati sebelum pengujian berakhir. Anda harus ingat pengadilan belum mengetuk palu. Hukuman ini hanya sementara. Bila Merin mati sebelum pengujian, maka proyek ini gagal sepenuhnya."

Seketika ekspresi semua orang menegang, terutama Merin yang mulai terpancing. Ia mengertakkan gigi dengan sedikit berdecak. Percikkan kekesalan menghujaninya. Tak disangka, hukuman ini berujung pada hal mengerikan dan jahat. Bagaimana bisa Eldric menghukum manusia dengan cara begitu licik.

Dasar iblis kecil, Ejek Merin dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status