[Lihatlah, calon istrimu sedang bermain gila bersama pria lain. Apa kamu yakin mau menikahinya? pikirkan seribu kali.]Nomor misterius tiba-tiba mengirim pesan pada Ibra. Pekerjaannya terhenti saat melihat foto Ayra seolah-olah sedang dipeluk dari belakang oleh seorang pria. Tangannya mengepal. Dia tidak terima ada orang misterius yang memfitnah calon istrinya. Tentu Ibra tak mudah percaya hanya dengan sebuah foto yang bisa direkayasa."Baik, rapat kali ini cukup sampai di sini. Saya ada kepentingan lain. Nanti kita lanjut nanti."Secara tergesa-gesa, Ibra membubarkan rapat. Padahal, seharusnya masih ada beberapa hal yang harus dibahas. Namun, rasa kesal, dan penasaran membuatnya tak bisa fokus. Ibra segera menelpon orang kepercayaannya. Sebelum dia mendatangi Ayra di butik, Ibra ingin mencari tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi. "Hallo, cepat datang ke butik adik saya. Cek cctv di sana. Cari informasi mengenai apa yang dilakukan Ayra, dan Mayang di sana.""Sekarang, Bos?" tanya
"Ma-maksud, Mas apa? aku tidak paham." Mayang sedikit gemetar melihat wajah Ibra tidak seperti biasanya. Sangat datar dan dingin. "Cepat katakan siapa pria yang kau suruh untuk menjadi wayang sebagai bahan fitnahan untuk Ayra?!" Ibra terus saja mendesak Mayang untuk mengatakan padanya yang sejujurnya. Meskipun Ibra memiliki bukti tapi, tetap saja Ibra masih menunggu itikad dari Mayang untuk jujur. Ibra ingin Mayang sendiri yang mengatakan padanya tentang rencananya itu. Akan tetapi, jika Mayang masih saja terus berkilah dan tidak mau memberitahukan semuanya maka dengan sangat terpaksa Ibra akan mengeluarkan bukti itu. "M-Mas jangan bercanda ah, aku kan gak ngapain-ngapain. Memangnya pria yang mana sih? Aku lho gak ngapain-ngapain." Mayang masih berusaha berkilah. Dia masih kekeh belum ingin mengatakan yang sejujurnya pada Ibra. Ibra kembali merangsek maju mendekati Mayang. Tangannya masuk ke dalam saku celana dan mengambil sesuatu di dalam sakunya itu. Ibra mengeluarkan ponsel da
Mayang menelan salivanya dengan wajah yang memucat sedangkan Ibra menarik tangan Ayra dan membuat wanita itu mengikuti kemana kaki Ibra berjalan. Sedangkan Mayang hanya bisa menatap kesal kepada keduanya. Dirinya tak bisa apa pun karena Ibra mempunyai kuasa yang besar. Usahanya bisa sebesar itu juga karena bantuan dan sokongan dana dan promosi dari Ibra selebihnya Mayang hanyalah ceceran kotoran kucing. Untuk itulah Mayang tak bisa mendebat Ibra lebih banyak lagi. Ibra terus saja menggandeng tangan Ayra menuju ke liar butik. Namun, saat keduanya hampir sampai di pintu tiba-tiba saja ada Sifa yang melihat dan menghampiri keduanya. "Lho Pak Bos sama Mbak Bos mau kemana? Kok gandeng-gandengan? Hayoh belum muhrim!" Sontak saja Ibra dan Ayra saling melepaskan tangan. "Nah gitu dong kan belum menikah jadi jangan pegang-pegang." Sifa masih saja terus nyerocos dan tidak melihat perubahan dari raut wajah Aura dan Ibra. Namun, setelah banyolan Sifa tidak ditanggapi Ibra maupun Ayra, Sifa l
"Memangnya kita mau kemana?" "Penghulu!""Hah, Penghulu?" tanya Ayra kaget."Pelankan suaramu, Sayang. Biar aku jelaskan di mobil."Ibra menarik tangan Ayra segera masuk ke dalam mobil. Begitu pula dengan Sifa. Gadis itu duduk di bangku belakang. Sementara Ayra dan Ibra di depan. "Aku sudah mengatur pernikahan kita malam ini, Sayang. Lebih cepat lebih baik," ujar Ibra saat sudah melakukan kendaraannya di jalanan. "Apa, menikah? ya ampun, Pak Bos. Ko, dadakan kaya tahu bulat, sih. Sifa juga ikut menyaksikan pernikahan kalian 'kan? yah, gimana dong, belum persiapan. Bukannya seharusnya acaranya beberapa hari lagi?" tanya Sifa yang lebih dulu mengincar Ibra dengan banyak pertanyaan."Sifa, harusnya aku yang banyak bertanya. Kamu diam dulu," ujar Ayra."Hehehe, maaf, Mbak. Saya syok luar binasa. Jadi, mulutnya nyurucus deh."Ayra tak merespon ucapan Sifa. Perempuan itu ingin menanyakan duluan rasa penasaran di hatinya. Tak mau dipotong, karena Ayra ingin tahu duluan maksud dan tujuan I
Mereka berdua pergi ke ruang makan. Pemilik rumah menyambut hangat keberadaan mereka. Kebetulan, Pak penghulu yang akan menikahkan Ibra, adalah ustadz yang sering ia kunjungi. Seorang guru spritual yang biasa dijadikan Ibra tempat konsultasi terkait urusan agamanya. Maka, ibu pemilik rumah memperlakukan mereka layaknya saudara dekat. Dengan sukarela mau menyiapkan acara pernikahan Ayra dan Ibra. Memanggil RT dan RW setempat sebagai saksi juga."Aduh, aku harus cari tukang rias ke mana?" tanya Sifa pada dirinya sendiri. Sedari tadi, dia tak henti bolak-balik di teras depan."Mbak, makan dulu. Sudah saya siapkan di dalam," ujar Ibu pemilik rumah dengan ramah. "Iya, Bu. Saya sebenarnya lapar, tapi gak bisa fokus makan. Harus memikirkan MUA yang bisa mendandani Mbak Ayra malam ini," ujarnya curhat. "Oalah, saya tahu MUA di desa ini. Saya juga punya nomor teleponnya Mbak. Sebentar coba saya hubungi.""Serius, Bu?" tanya Sifa berbinar."Serius, toh, Mbak. Masa bohong. Sebentar."Ibu pemi
Pukul sepuluh malam, Ibra memutuskan segera pergi ke hotel yang sudah dipesannya. Jarak hotel tidak terlalu jauh, hanya lima belas menit. Ibra memang sengaja memilih lokasi tempat istirahat terdekat. Agar bisa secepatnya menghabiskan malam berdua saja dengan Sang Istri. "Pak, bos tunggu dulu. Aku tidur di mana? masa bertiga sama kalian," tanya Sifa yang mengekor di belakang Ibra dan Ayra sampai kamar pengantin mereka. Ibra sampai lupa memberi kunci untuk anak buahnya, karena terlalu antusias menuntaskan hasratnya. "Ya ampun kenapa kamu baru bilang? malah ikut ke sini. Cepat ke bagian resepsionis. Ambil kunci yang sudah aku pesan atas namamu. Ingat jangan ganggu kami.""Hehehe, siap, Pak. Mau main kuda-kudaan yah.""Sifa," tegur Ayra dengan mata melotot sambil tersipu malu."Ups, maaf Mbak. Mulutku suka keceplosan. Ya sudah, selamat malam pertama Bosku. Semoga sukses dan punya bos junior.""Sudah, cepat pergi!" usir Ibra kesal.Sifa menunjukkan cengiran kuda. Pikirannya sudah merab
"Istri?!" pekik Fahri dan Fiona dengan kompak."Yah, Papi dan Ayra sudah menikah kemarin, kami sudah sah menjadi suami istri dengan begitu Ayra sekarang adalah Ibu dan juga mertua kalian. Jadi, Papi harap bersikaplah sopan dengan Ayra karena mulai sekarang dia lah yang akan menghandle semua yang berhubungan dengan rumah ini." Fiona dan Fahri semakin melongo dibuat oleh ucapan Ibra. Fiona dan Fahri saling berpandangan dan kembali melihat ke arah Ibra dan saat mata Fiona bersitatap dengan Ayra, Fiona tersadar jika hal itu bukanlah mimpi. "Papi apa-apaan sih! Jangan be4canda, Pi! Ini gak lucu tau!" ketus Fiona dan is berdiri sembari berkacak pinggang. "Lho, memangnya siapa yang bilang kalau Papi sedang bercanda atau sedang melawak?! Gak ada kan? Apa yang Papi katakan adalah serius. Mulai hari ini urusan rumah baik itu masalah makan dan kebersihan dan segala keperluan rumah berdasarkan keputusan Ayra. Karena dia adalah istri Papi jadi semua harus sesuai dengan keputusannya. Hal itu mut
Kini, kedua orang itu saling menyalahkan dan itu membuat Ibra muak mendengarkan perdebatan mereka yang menurutnya tidak ada manfaatnya itu. "Stop! Hentikan omong kosong kalian! Kalian berdua itu sama saja karena sama-sama tidak bisa menahan hawa napsu dan iman kalian lemah. Tapi meskipun begitu aku sangat berterima kasih padamu, Fahri. Dengan kamu yang melepaskan Ayra, aku jadi tidak kesepian lagi. Aku tidak jadi duda lagi dan hidupku sekarang jauh lebih berwarna. Terima Kasih telah melepas wanita sebaik dan sesempurna Ayra. Kamu bodoh telah melepas wanita yang hampir sempurna seperti istriku." Ibra pun pergi meninggalkan Fiona dan Fahri yang melebarkan matanya karena melihat Ibra merangkul pinggang sang istri sembari berjalan beriringan menuju kamar mereka. Namun, langkah Ibra dan Ayra terhenti saat sebuah suara memanggil nama mereka. "Lho kok aku ditinggalin? Terus aku harus gimana ini Pak Bos dan Mbak Bos?" Ayra dan Ibra saling pandang lantas keduanya melihat ke arah Sifa. Kedu