"Memangnya berapa hutang dia, Bang?" tanyaku pada Bang Jemi.
"Kenapa rupanya? Mau kau bayarkan?" sentak Bang Jemi padaku.
"Hanya bertanya apa tidak boleh? Memang seberapa besar sampai kalian harus menyita rumah Lintang?"
"200 juta, sanggup kau bayar ha!" aku membulatkan mata, besar sekali hutang yang Lintang punya, untuk apa uang sebanyak itu? Berbagai Pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benakku.
"Untuk apa kau hitang sebanyak itu Lintang?"
"Untuk, untuk nebus Mas Bagas, Mbak," ucap Lintang lirih tapi aku masih bisa mendengarnya.
"Kenapa? Suamimu itu bersalah, jadi sudah seharusnya dia mempertanggungjawabkan perbuatannya! Lalu kenapa tidak juga keluar?"
"Ternyata penjaga nya minta 350 juta, Mbak, jadi uangnya tak cukup."
"Lalu kenapa tak kau kembalikan uangnya kalau tidak cukup."
"Sudah berbunga, Mb
"Padahal aku pengennya perempuan lagi, Mas.""Kan udah, Dek?""Iya tapi kan sama Mama.""Yah nanti kita buat lagi kalau si utun sudah lahir," Mas Anam menaik turunkan alisnya sembari tersenyum menggodaku."Mas Anam apaan sih, malu didengar Bu Dokter." ucapku tersipu."Hehehe, ya gak papa, Dek, namanya juga suami istri, ya kan, Bu Dokter?""Itu sudah biasa Bu Riri, jadi dimaklumi," jawab Bu Dokter sembari tersenyum. Setelah selesai periksa dan semuanya baik-baik saja, akhirnya kami pamit pulang, tapi sebelum itu Dokter meresepkan vitamin untuk aku konsumsi beberapa minggu kedepan.
"Huh dasar sombong, bukannya mempersilahkan masuk malah ditanya lagi apa, apa dia buta kalau aku sudah menunggu mereka hingga jamuran disini dari tadi ?" gerutuku yang tentunya hanya dalam hati, mana mungkin ku lontarkan kata-kata barusan pada Riri. Bisa berabe nanti."Mbak, Mas, maaf. Aku kesini mau minta tolong," ucapku dengan wajah yang kubuat sesedih mungkin."Tolong? Tolong apa?""Aku mau tinggal disini untuk sementara sampai aku mendapatkan kerja.""Kamu? Mau tinggal disini? Apa aku gak salah dengar?""Enggak, Mbak, aku minta tolong ijinkan aku tinggal dirumahmu, Mbak kan tahu rumahku disita sama Bang Jemi, sekarang aku gak tau lagi mau tinggal dimana, sedangkan uangku sekarang hanya tersisa lima puluh ribu lagi," sengaja aku menjual kesedihan pada mereka, biar mereka mengadihaniky dan mengijinkan aku untuk tinggal disini."Bagaimana, Mas?" tanya
Kumasukkan uang yang baru saja diberi oleh Mas Anam, otakku terus berpikir untuk melakukan sesuatu yang sekiranya akan membuat mereka kapok untuk tidak lagi semena-mena terhadapku. Mereka belum tahu sedang berhadapan dengan siapa sekarang.Kakiku terus saja melangkah entah sudah sampai dimana saat ini aku, kuputuskan untuk istirahat sejenak di warung dekat aku berdiri saat ini, tenggorokanku rasanya sangat haus, seperti habis berjalan puluhan kilometer jauhnya. Sembari minum dan duduk di kursi yang disediakan pemilik warung, aku memikirkan apa yang akan aku lakukan untuk membalas Riri si sombong itu.Saat mataku melihat kekanan dan kekiri tiba-tiba mataku terhenti pada satu objek yakni bensin. Yah, ide brilian terlintas di otakku. Aku akan membakar rumah Riri si sombong itu. Rasakan kau Riri, kali ini riwayatmu akan tamat. Seandainya Riri cacat maka dengan sangat mudah aku akan merebut Mas Anam dari sisi Riri karena sudah kupastikan Ma
Kuedarkan pandanganku mencari spot atau sesuatu yang sekiranya mudah untuk dibakar hingga api akan dengan mudah menjalar ke seluruh rumah Riri. Hingga aku menemukan gazebo berbahan daun kering dan kayu yang sengaja dibuat mepet dengan tembok rumah Riri. Rasanya dewi fortuna sedang berada di pihakku saat ini, dengan mudahnya aku menemukan celah untuk melancarkan aksiku kali ini.Sebelum aku membakar gazebo tersebut, ku pastikan sekali lagi kalau keadaan di sekelilingku aman. Dan saat kurasa memang beneran aman, aku kembali menuju gazebo yang kutemukan tadi. Kusiramkan sedikit demi sedikit bensin di gazebo, lalu sisanya ku siramkan ke sebagian dinding rumah Riri. Kini saatnya ku nyalakan korek api yang tadi aku beli.Crash, api kecil menyala dari korek yang aku bawa, hahaha, selamat tinggal Riri, semoga nasib baik berpihak padaku, salah siapa kau selalu menghalangi kebahagiaan hidupku, kini nikmatilah neraka duniamu, bye, Riri. Saat aku akan melempar korek yang masih aku pegang, tiba-t
"Ya Allah Lintang, kenapa kamu jadi seperti ini sih," ucap Anam dengan wajah sendu."Sabar, Mas, aku juga gak tahu kenapa Lintang sampai segitu bencinya padaku, padahal selama ini aku selalu berusaha baik padanya," ucap Riri."Dek, maafkan Mas ya, Mas sudah gagal mendidik adik Mas.""Ini bukan salahmu, Mas, Lintang dan kamu itu beda rahim, sudah pasti beda watak, bahkan yang satu rahim saja bisa berbeda wataknya, apalagi yang berbeda, aku tak pernah menyalahkanmu, semoga dengan ini menjadikan Lintang sadar sepenuhnya.""Sebenarnya ada yang mau Mas beritahu padamu, kenapa Lintang bisa membencimu.""Kenapa memangnya, Mas?" ucap Riri mengernyitkan dahi.
"Alhamdulillah, aku kira Mas beneran sudah melakukan itu dengan Lintang.""Enggak Lah, Dek, Mungkin saja Tuhan memang masih menjaga Mas dari niatan jahat Lintang, karena Tuhan tahu hati Mas itu seperti apa.""Terimakasih, mas,""Untuk?""Untuk semuanya, untuk kesetiaanmu, tanggung jawabmu, juga perhatianmu, semoga keluarga kita selalu dalam lindunganNya," Anam dan Riri saling menggenggam erat tangan mereka. Hingga saat Dokter keluar dari ruangan dimana Lintang dirawat."Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Anam pada Dokter tersebut."Pasien dalam keadaan koma luka bakarnya cukup serius, yakni 60% seandainya pasien sadar, kami terpaksa memutuskan untuk mengamputasi kakinya, karena api yang membakar tubuh pasien telah mematikan saraf-saraf di kakinya hingga harus diamputasi, berdoa saja semoga pasien secepatnya diberikan kesadaran, dan kita segera lakukan oper
Tak berselang lama Dokter dan perawat itu pun masuk kedalam kamar perawatan Lintang. "Gimana rasanya, Bu? Apakah sudah membaik?" tanya Dokter, sedangkan suster meletakkan buah dan pisaunya di nakas sebelah tempat tidur Lintang. "Dokter, bisa jelaskan kenapa kaki saya hilang?" Akhirnya dengan terpaksa dokter pun menceritakan bagaimana kaki lintang bisa diamputasi, air mata tak hentinya jatuh membasahi pipi Lintang. Lintang merasa semua nasib buruk yang menimpanya sungguh tidak adil. Kenapa, kenapa harus dia, bukan Riri saja yang mengalami semua ini, begitu pikir Lintang. Setelah dokter memberikan penjelasan dan berusaha menghibur Lintang, dokter itu pun pamit, karena masih ada pasien yang harus ditangani. "Yasudah Ibu Lintang, sini biar saya yang kupaskan apelnya," ucap perawat pada Lintang, tapi dengan tegas Lintang menolaknya. "Gak usah, Sus, biar saya saja, lebih baik suster keluar, karena saya mau sendiri sambil menikmati buah ini," ucap Lintang pada perawat, akhirnya perawat
Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku."Huft ... "Kuhembuskan napasku demi menghilangkan sesak yang tiba-tiba menghantam dada."Mas, jangan begitu, biar gimana pun beliau orang tua kamu. Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku agar selalu menebar kebaikan dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu?"Suara merdu Aliyah mampu menghipnotis pikiranku. Yah, aku lupa jika aku pernah menasehatinya seperti itu. Aku seperti seorang pecundang yang pandai menasehati tapi tidak pandai mengerjakan nasehat yang kubuat."Baiklah, mau berapa lama kalian numpang di sini?"&