Beginilah resiko yang harus Dirham ambil, keengganan Kumala untuk kembali ke rumah mereka, buat Dirham yang harus mengalah. Sore sepulang kerja Dirham akan segera pulang, melihat rumah mereka sebentar lalu pulang lagi k erumah Kumala di desa, yang jaraknya dua samapi tiga jam perjalanan. Lelah namun resiko. Daripada kehilangan istri, lebih korban tenaga dan waktu.“Pak Dirham suami siaga sekali ini, pulang kerja langsung tancap gas, nggak pernah nongkrong lagi ini.” goda pak Adi. Laki-laki ini juga tahu dulu, Dirham sering jalan bersama Fiona sepulang kerja, bahkan tahu dimana mereka berakhir sebelum pulang ke rumah masing-masing.Dirham hanya tersenyum, tak ingin menanggapi candaan rekannya ini. sebab ia tahu, dalam candaan itu ada sindiran.Mana sempat Dirham nongkrong, apalagi jalan hingga larut malam seperti dulu saat menjalin hubungan gelap dengan Fiona, yang ada Dirham akan tergopoh-gopoh pulang agar tak terjebak macet di batas kota.Bahkan pernah Dirham di jalan hampir empat ja
“Kenapa, Sayang?” Dirham khawatir melihat wajah Kumala yang nampak seperti menahan tangis dan sesekali meringis. “Mala, ada yang sakit?” Dirham mengelus lembut lengan atas Kumala, untuk menengkan istrinya. “Aku mau pulang saja, Mas. Tolong antar pulang ke rumah ibu sekarang.” Pinta Kumala, enggan menatap ke arah suaminya. “Kasi tahu, Mas. Ada apa? Kita belum makan kan?” “Bungkus aja, makanannya.” Kumala menepis tangan Dirham yang hendak mengelus perutnya. Dirham yang tak tahu masalah, akhirnya manut saja tak ingin berdebat lebih panjang, padahal perutnya sudah keroncongan dari tadi. Lalu gegas Dirham menuju counter makanan yang tadi Kumala pesan, minta dibungkus saja dan segera membayar lalu mengajak Kumala untuk pulang. Sepanjang jalan ke arah parkiran Kumala hanya diam dan tertunduk. Burhan membuka pintu penumpang untuk istrinya, kemudian ia agegas naik ke mobil dan segera melajukan menuju jaln utama yangakan membawa mereka pulang. “Sayang, ada apa?” Dirham gusar sebab tak tah
Musim hujan sudah benar-benar melanda di negeri ini. Bahkan sebagian wilayah di Indonesia dilanda banjir parah, buat penduduk yang daerahnya terkena banjir harus mengungsi. Curah hujan yang tinggi dan hampir tiap hari, buat para pekerja harus betul-betul berhati-hati saat pergi dan pulang kerja, sebab musim hujan begini kadang diikuti dengan kecelakaan yang tinggi juga. Bahkan di beberapa ruas jalan terlihart polisi yang siaga dan sibuk mengatur jalannya arus lalu lintas yang tetap padat di tengah guyuran hujan yang tak pelan.Dirham begitu lega perasaannya, sebab Kumala sudah kembali ke rumah besar mereka lagi. Tentu selain karna bujukan ibu Fatimah dan mama Saida, juga usaha Dirham sendiri yang benar-benar bertekad merebut kembali cinta Kumala yang hampir karam.“Kamu, kenapa datang sih, Mas. Hujan deras begini juga. Kalau ada apa-apa gimana?” omel Kumala, saat Dirham kembali pulang ke rumah mertuanya di malam sabtu pekan lalu.“Ya gimana lagi, bini nggak mau pulang.” ucap Dirham, d
Air mata Dirham mengalir, ia terisak pelan melihat bagaimana perjuangan istrinya yang akan melahirkan putra mereka. Mama Saida, mbak Kirana dan juga mas Kahlil segera menyusul ke rumah sakit sejam setelah Dirham dan Kumala tiba. Bu Fatimah mengabarkan jika besok pagi baru akan berangkat, sebab di desa hujan deras tak henti dari kemarin. Tentu do’a-do’a yang baik beliau langitkan untuk keselamatan putri dan cucunya pertamanya. Benar kata orang, bila syurga berada di telapak kaki ibu, sebab lihatlah betapa untuk mengeluarkan insan yang bernyawa, sakitnya tiada terperi. Dirham benar-benar merasa bersalah, melihat istrinya yang sedang berjuang. Bila ia bisa merasakan sakit melahirkan seorang anak, tentulah Dirham tak akan tega mengkhianati pernikahan mereka dulu. Sungguh kenangan terkutuk yang harus di lupakan. Dan benar kata Kumala, mules dan nyeri perutnya itu tak langsung membuat bayinya brojol keluar. Sudah jam tiga sore namun bayi mereka belum juga keluar. Kumala semakin meringis s
Baby Davin, nama yang Kumala dan Dirham berikan pada putranya, sekarang berumur tiga bulan, nampak semakin gembul pipi bayi laki-laki itu. aroma bayi dan tangisan kecil putranya, buat Dirham selalu terburu untuk pulang selepas jam kerja. Tak ada lagi waktu untuk nongkrong seperti biasa, tak ada waktu untuk hangout bersama rekan kerja, apalagi rekan kerja wanita, meski ada tiga wanita partner baru Dirham dalam menjalankan proyek baru mereka. Ketiganya cukup kagum dan sering mencuri pandang pada papa muda ini. namun yang paling getol adalah wanita yang bernama Lili, anak pemilik perusahaan besi dan bagunan lainnya yang bekerja sama dengan Dirham kali ini. Lili jelas-jelas sering menatap kagum pada Dirham, rasa tertariknya pada pria ini, melihat sikap kebapakan Dirham dan begitu penyayang. Beberapa kali mereka meeting bersama, ia lihat Dirham mencuri waktu untuk menelpon istri dan anaknya. Janda muda ini, sering pula berdebar bila berdekatan dengan suami Kumala ini yang begitu terjaga tu
Mentari bersinar dengan teriknya, setelah seminggu hujan mengguyur bumi tanpa henti, seolah enggan memberikan kesempatan pada surya untuk menyinari mayapada. Hari ini barulah sang raja bumi menampakkan taringnya, memberi sinar dan panas, buat manusia mengejar panasnya sebelum hujan tercurah kembali. Begitu juga dengan para pekerja yang membantu jalannya proyek perumahan yang Dirham tangani kali ini. Perumahan dengan unit terbatas yang dibangun di pinggir kota dengan konsep alam dengan type kelas 1. Perumahan ini diperuntukkan bagi kalangan kelas ekonomi atas dengan sistem keamanan dua puluh empat jam serta fasilitas penunjang yang lengkap. Dirham nampak gagah dengan outfit lapangannya hari ini, celana panjang jeans hitam dengan sobekan sedikit di bagian lutut, baju kaos berkerah warna biru tua dilengkapi rompi perusahaan, sepatu boots warna kulit dan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Ayah satu orang anak ini, nampak sibuk memberi arahan pada mandor dan beberapa pekerja se
“Saya nggak ada waktu membalas chat mbak Lili yang nggak penting, ada perasaan istri saya juga yang harus saya jaga.” tandas Dirham tajam.Mendengar kata istri, perasaan Lili agak tersentil, betapa beruntungnya istri Dirham, dicintai lelaki serupawan ini. tak tahu saja Lili ini, badai apa yang telah dilewati istrinya Dirham, hingga pria yang ia taksir begitu enggan ,enatap kearahnya.“Kita makan siang dulu, Mas. kita sudah lama nggak makan sama-sama.” Pinta Lili lagi, rugi rasanya, jauh-jauh datang ke lokasi proyek, tapi tidak bisa bicara berdua dengan Dirham.“Oke, kita pakai mobil mbak Lili saja,” sahut Dirham cepat.“Oke, kamu yang bawa, Mas.”“Mbak Lili aja yang bawa.”“Oke, kita makan dimana? Aku belum terlalu tahu tempat makan di daerah sini.”“Kita, ke hotel.” ucap Dirham, sambil memasang sabuk pengaman.“Eh-apa, ma-maksudnya gimana, Mas.”“Cari hotel yang terdekat.”“Ya,”Lili berdebar bukan main, mendengar permintaan Dirham. Bayangan yang iya-iya langsung berkelebat di benak
Kenapa pula harus naik tangga manual, kan ada lift. Pikir Lili, sedikit heran dengan Dirham, padahal bukan pertama kali ini kan pria ini nginap di hotel. Tapi wanita ini memendam saja rasa herannya, sebab menunggu kejutan yang akan Dirham beri sebentar.Sementara Dirham yang berjalan di depan Lili, tetap fokus pada ponselnya, hanya sesekali ia melirik Lili, yang nampak pasrah mengikutinya kemana saja.“Di lantai berapa, Mas?” Lili mulai terenga-engah.“Di lantai tiga.” Jawab Dirham dengan cueknya sambil tetap fokus pada ponselnya.“Hah, kenapa nggak naik lift aja tadi, Mas? yang ada malah capek duluan.” Keluh Lili, dengan keringat yang mulai melunturkan bedaknya yang cukup tebal.“Liftnya rusak, kenapa, capek ya?”“Iya, capek Mas,” keluh Lili lagi, ingin rasanya ia memegang lengan Dirham, namun ia segan.“Istirahat sebentar kalau capek,” ucap Dirham dengan nada biasa saja, namun Lili yang merasa di perhatikan, bahagia luar biasa.“Ya, nggak papa.”Sekitar lima belas menit keduanya ber