POV DirhamKulihat dia, Kumala Riyani, wanita yang kunikahi lima tahun ini. istri yang menemaniku berjuang dari nol, istri yang mengurus segala keperluanku, istri yang yang selalu siap memuaskan hasratku yang sering datang di malam hari. Istri yang nyaris sempurna di mataku. Cantik, sederhana namun pandai membawa diri. Namun begitu tetap saja aku tega melukai hatinya dengan melayani permainan gila kawan akrabnya.Fiona, wanita binal yang telah memporakporandakan pondasi rumah tanggaku bersama Kumala, janda yang begitu getol mendekatiku dan memberi perhatian-perhatian kecil padaku dikala kami harus keluar kota bersama.Segelas alkohol yang kutenggak saat meeting beberapa bulan lalu, entah bagaimana caranya, bisa mengantarkanku bersama Fiona berakhir diatas ranjang dengan busana yang sudah tak lengkap.Mungkin aku dijebak, mungkin Fiona sendiri yang menjebakku, namun akupun begitu brengseknya, sebab malah ikut arus dan mengikuti permainan Fiona yang. Bermain api dengannya hingga buatku
Perlahan kubuka pintu kamar. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Kunyalakan lampu, mencari keberadaan istriku. Namun sungguh aku terkejut dengan apa yang kulihat.“Kumala…”Seperti ada yang ditarik dari dalam rongga dadaku, saat melihat koper dan dua buah tas besar yang Kumala isi dengan pakaiannya kemarin sudah tak ada di sudut kamar itu. jantungku rasanya berhenti berdetak, dengan tergopoh aku berlari kearah kamar mandi yang ada didalam kamar kami, berharap istriku ada didalam sana. Nihil. Jantungku semakin bertalu, jangan pergi sayang pintaku berulang dalam hati.Namun langkah kakiku yang mendekati meja rias, semakin menjelaskan bila Kumala sudah pergi meninggalkan istana kami yang hampir roboh karna ulahku. Tidak, belum, istana ini belum roboh, akan kuperbaiki dan kubangun kembali kemegahan cinta kita sayang.Hatiku benar-benar mencelos, melihat cincin nikah dan atm yang Kumala tinggalkan di atas meja rias ini. sebegitu dalam luka hati istriku, hingga ia mengembalikan semua yang ku
Dirham mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan protokol sore itu. sekalut apapun, namun Dirham juga memikirkan keselamatan dirinya, sebab ada istri dan calon bayi yang harus ia jaga dan nafkahi. Meski Kumala sudah mengembalikan ATM dan cincin pernikahan mereka, namun laki-laki ini tak berniat sama sekali mengucap talak untuk istrinya.Luka hati yang mendalamlah yang membuat Kumala mengambil keputusan tersebut. Harga dirinya sebagai perempuan benar-benar terkoyak saat melihat video dan foto-foto mesra suaminya bersama perempuan lain yang sangat ia kenal.Kumala ingat, ketika Fiona tiba-tiba datang ke rumahnya pagi itu. wajah yang penuh lebam dan bibir yang terluka bekas tampar suaminya, buat Kumala dan Dirham benar-benar terkejut melihatnya, padahal sepanjang yang Kumala tahu mas Bram pria yang baik dan penyayang. Beberapa kali Kumala berpapasan dengan mantan suami sahabatnya itu, Bram akan menyapa Kumala dengan sopannya.“Mas Bram pukulin aku, karna cemburu, Mal.” Te
Kumala terbangun dengan kepala yang masih terasa pusing, selang infus di tangan sebelah kanannya menandakan bila dirinya sedang berada di rumah sakit. hal terakhir yang ia ingat adalah saat berdebat dengan suaminya di kamar. Kumala dengan tekad yang semakin kuat untuk bercerai dan Dirham dengan rayuan dan kesungguhan hatinya untuk memperbaiki biduk rumah tangga mereka. Lalu Kumala ke kamar mandi sebab mual namun ia merasa nyeri di bagian bawah perut setelah itu…gelap.“Alhamdulillah, Sayang, kamu sudah sadar?” Dirham genggam dan kecupi jemari istrinya.“Aku, kenapa Mas?” tanya Kumala bingung dan masih sangat lemah.“Kamu pendarahan, Sayang.” Sahut Dirham dengan wajahd an suara yang begitu sedih.“Astagfirullah,” Kumala sudah menangis sesugukan, anak yang lima tahun ia harap kehadirannya, haruskah ia kehilangan lagi. Kumala terisak.“Untung anak kita bisa diselamatkan, Sayang.” Lagi Dirham kecupi jemari bahkan wajah istrinya.Kumala lega. Alhamdulillah.“Dimana ibu?”“Ibu pulang tadi,
Dirham mengikuti kakak iparnya keluar dari ruang perawatan istrinya, sedikit gugup juga dia, sebab melihat wajah tegang mas Kahlil.Mas Kahlil mengajaknya duduk di bangku yang agak jauh dari kamar perawatan istrinya.sengaja mencari bangku yang tak ada pengunjung.“Gimana, Mas. ada apa ini?” Dirham tak tahan, ia penarasan ada apa sebenarnya, hingga iparnya mesti jauh-jauh bicaranya.Terlihat mas Kahlil gusar bukan main, ia buang nafas kasar sebelum berbicara.“Duduklah dulu, saya ingin menanyakan sesuatu.”“Apa itu, Mas?” Dirham mengikuti kakak iparnya dengan memilih duduk di bangku panjang tak jauh dari mas Kahlil.“Kamu kenal dengan Fahmi kah? Mantan suami kedua Fiona. Kebetulan dia bekerja di bagian produksi tempat kerja saya, saya juga baru tahu kalau itu mantan suami Fiona.”“Cuma tahu namanya, Mas, tapi belum pernah bertemu.” Jawab Dirham masih dengan rasa penasarannya.“Ternyata orangnya masih muda banget, mungkin mudah lima tahun dari Fiona.” terang mas Kahlil lagi.“Ada apa me
Dirham berjalan ke ruangan dokter Dina dengan langkah gontai dan dada berdebar, rasa khawatir benar-benar melandanya. Terbayang bagaimana jika hasil pemeriksaannya tak baik-baik saja. bila dirinya yang kena biarlah sebab hukuman atas perbuatannya, namun janganlah Kumala ikut menanggung dosanya.Semakin dekat dengan ruangan dokter Dina, semakin berdebar tak karuan dadanya. Dirham kalut dan ingin menangis rasanya. Ia berdiri lama di depan pintu ruangan dokter kandungan itu, sebelum mengetuknya tiga kali. Menunggu jawaban dari dalam untuk dipersilahkan masuk. Tak sampai satu menit, dokter Dina sudah mempersilahkan dari dalam. Menunggu tak sampai satu menit namun rasanya lambat betul waktu berputar.Bila ada yang memperhatikan. Wajah Dirham sekarang nampak seperti tawanan yang akan di hukum gantung. Bulir keringat sebesar biji jagung mengalir deras dari pelipisnya. Gegas ia ambil sapu tangan dan menghapus air asin itu dari wajahnya.“Silahkan pak Dirham,” suara dokter Dina, seakan menar
Beginilah resiko yang harus Dirham ambil, keengganan Kumala untuk kembali ke rumah mereka, buat Dirham yang harus mengalah. Sore sepulang kerja Dirham akan segera pulang, melihat rumah mereka sebentar lalu pulang lagi k erumah Kumala di desa, yang jaraknya dua samapi tiga jam perjalanan. Lelah namun resiko. Daripada kehilangan istri, lebih korban tenaga dan waktu.“Pak Dirham suami siaga sekali ini, pulang kerja langsung tancap gas, nggak pernah nongkrong lagi ini.” goda pak Adi. Laki-laki ini juga tahu dulu, Dirham sering jalan bersama Fiona sepulang kerja, bahkan tahu dimana mereka berakhir sebelum pulang ke rumah masing-masing.Dirham hanya tersenyum, tak ingin menanggapi candaan rekannya ini. sebab ia tahu, dalam candaan itu ada sindiran.Mana sempat Dirham nongkrong, apalagi jalan hingga larut malam seperti dulu saat menjalin hubungan gelap dengan Fiona, yang ada Dirham akan tergopoh-gopoh pulang agar tak terjebak macet di batas kota.Bahkan pernah Dirham di jalan hampir empat ja
“Kenapa, Sayang?” Dirham khawatir melihat wajah Kumala yang nampak seperti menahan tangis dan sesekali meringis. “Mala, ada yang sakit?” Dirham mengelus lembut lengan atas Kumala, untuk menengkan istrinya. “Aku mau pulang saja, Mas. Tolong antar pulang ke rumah ibu sekarang.” Pinta Kumala, enggan menatap ke arah suaminya. “Kasi tahu, Mas. Ada apa? Kita belum makan kan?” “Bungkus aja, makanannya.” Kumala menepis tangan Dirham yang hendak mengelus perutnya. Dirham yang tak tahu masalah, akhirnya manut saja tak ingin berdebat lebih panjang, padahal perutnya sudah keroncongan dari tadi. Lalu gegas Dirham menuju counter makanan yang tadi Kumala pesan, minta dibungkus saja dan segera membayar lalu mengajak Kumala untuk pulang. Sepanjang jalan ke arah parkiran Kumala hanya diam dan tertunduk. Burhan membuka pintu penumpang untuk istrinya, kemudian ia agegas naik ke mobil dan segera melajukan menuju jaln utama yangakan membawa mereka pulang. “Sayang, ada apa?” Dirham gusar sebab tak tah