##Bab 96Permintaan maaf siska"Mas Wawan, sarapan dulu yuk! Udah aku siapkan di meja. Pagi ini aku masak spesial," pinta Nanda dengan nada manja. Wanita beranak satu itu pagi ini terlihat sangat ceria. Rumah yang berantakan abis kebakaran sudah direnovasi olehnya dengan kurun waktu yang lumayan singkat.Begitu banyak keberuntungan berpihak kepadanya. Meski tidak sedikit cobaan juga kerap singgah di hidupnya. Kini tinggal menata hati dan pikiran berfokus pada usahanya."Masak apa, Dek?" tanya Wawan yang menarik kursi plastik perlahan."Ayam goreng sama sup bakso kesukaan Hawa. Sini, Nak. Mangkoknya biar ibu kasih bakso yang banyak! Kamu suka?" Nanda melempar pandangannya ke arah anak semata wayangnya."Iya, Hawa suka. Bu," Hawa memanggil sang ibu yang masih sibuk dengan kegiatannya. Tatapannya kembali ia arahkan kepada Hawa."Apa, Sayang?" tanya Nanda dengan penuh kelembutan."Hawa pengen punya adik. Kayak Tasya, dia sekarang udah punya adik!" pinta Hawa yang membuat Ayahnya tersedak.
##Bab 97Rumah sakit JiwaSemua orang yang ada di halaman rumah Nanda secara bersamaan menoleh ke arah mobil tersebut."Kasih?" ucap Partini terkejut melihat Kasih.Kasih berjalan menghampiri mereka. Satu persatu disalami dan saling berpelukan."Ada perlu apa kamu kesini, Nak Kasih?"" Gak ada apa-apa, Bu. Cuma mampir saja.""Ayo masuk!" pinta Partini langsung menggandeng Kasih.Partini meninggalkan Nanda dan juga Siska dihalaman rumah.Mereka saling melempar pandangan. Tatapan Siska kepada Nanda sulit diartikan. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu?"Pulanglah, daripada sakit hatimu!" pinta Nanda dengan nada biasa saja."Itukah calon istri Adi?" tanya Siska dengan ekspresi terkejut."Secepat itu Adi akan menikah lagi? Apakah aku tidak ada harga nya sama sekali?""Entahlah, kau pikirkan saja sendiri. Aku tidak ada waktu memikirkan hal itu!" Nanda pergi meninggalkan Siska.Kali ini Siska tak lagi berharga Dimata keluarga Adi. Apalagi Siska pergi dengan meninggalkan luka yang mendala
##Bab 98Akhir bahagia"Mas, Siska meninggal dunia. Kemarin di rumah sakit karena sebuah kecelakaan. Karena tidak ada keluarga yang mengurusnya jadi keluarga Adi yang akan mengurusnya. Mas Wanto ke sini kan?" tanya Nanda dengan suara serak. Meski Siska tidak terlalu menyukainya tapi tetap saja dia pernah menjadi bagian dari keluarga itu. Ada rasa kehilangan meski hanya secuil.Lelaki yang ada di seberang telepon itu terdengar gundah. Ada keraguan Ingin mengucapkan sesuatu."Mas Wanto lagi dirumah sakit, Jasmin sakit, Nan. Sudah seminggu ini di rumah sakit. Semua tindakan dan juga tes dijalani. Hari ini akan keluar hasilnya. Seandainya hasilnya bagus. Jasmin akan rawat jalan. Tapi kalau tidak bagus. Kemungkinan dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa di kota.""Separah itu, Mas?" Nanda terdengar mengkhawatirkan Jasmin."Kemarin dia berulah. Hampir saja Mas celaka. Tapi Alhamdulillah, ada tetangga yang datang menolong!""Astagfirullahaladzim, tapi kamu gak papa kan, Mas?" "Gak papa! Mas
"Mas, sepertinya aku hamil. Bulan ini aku belum haid, padahal ini sudah hampir ganti bulan!""Terus kenapa?""Aku takut, Mas. Kita kan belum menikah, lagian aku belum kamu kenalkan dengan kedua orang tuamu. Aku takut kamu gak mau bertanggung jawab!" desak ku pada Mas Wawan."Apa beneran positif? Sudah di cek belum? Nanti cuma telat?" tanya Mas Wawan yang masih menatap layar ponselnya. Tidak ada rasa takut maupun khawatir terhadapku."Belum, Mas. Aku takut!" Aku memainkan cincin yang melingkar di jari manis sebelah kanan."Takut kenapa?""Takut kalau aku beneran hamil!" Pandanganku beralih pada pria yang ada di sebelahku."lha terus gimana?" Mas Wawan masih terlihat memainkan ponselnya.Aku diam sejenak, meraih dompet yang aku taruh dalam tas. Dan terlihat disana hanya ada beberapa lembar uang lima ribuan."Mas, aku lagi gak ada duit! Tolong belikan tespeck ya?" pintaku pada Mas Wawan sembari bergelayut di lengannya."Aku lagi gak ada duit, belum gajian," Dengan gampangnya dia menjawab
Sebelum aku menikah dengan Mas Wawan, aku sudah lebih dulu membeli motor. Meskipun baru setahun aku mencicil. Paling tidak aku sudah mengeluarkan uang muka serta angsuran setahun. Ternyata Mas Wawan juga mengambil kredit motor, alhasil setelah dia menikahiku. Beban yang harus dibayarkan terlalu banyak, sehingga dia berencana mengembalikan motor ke Dealer."Pak, aku gak sanggup. Bayar angsuran, motor mau aku balikin ke Dealer," ucap Mas Wawan pada Bapaknya.Karena memang Mas Wawan sudah membayar cicilan motor milikku. Jadi jika harus membayar juga cicilan motor miliknya. Mungkin uang gaji tidak akan cukup jika nanti ingin digunakan untuk periksa kandungan. Sebab ongkos untuk memeriksakan kandungan saat ini kisaran dua ratus ribu."Biar diterusin adikmu, nanti bapak yang bantu. Udah setahun, kan sayang kalau mau di balikin!" Jelas bapak pada suamiku."Iya, Pak!" Mas Wawan menyetujui. Toh, dia yang mengatakan jika akan membantu melunasi motor bersama adik Mas Wawan.Mas Wawan memang gak
Pagi menjelang, tatkala tubuh ini malas untuk beranjak dari lelap. Namun niat harus tetap disatukan. Ya selama aku tinggal bersama mertua, bangun pagi sudah menjadi kewajiban. Mendahului dia yang punya rumah. Mas Wawan belum pulang kerja. Dia berangkat jam sepuluh malam, sekitar jam delapan pagi dia baru tiba dirumah. Aku membawa pakaian kotor ke kamar mandi. Karena memang aku mencuci dengan tangan di kamar mandi. Dapur milik ibu mertuaku tidak lah luas, maka dari itu untuk mencuci baju aku sudah terbiasa di kamar mandi. Matahari yang masih malu-malu menampakkan sinarnya, aku yang masih hamil besar pun bersusah payah menyikat baju satu demi satu. Ibu mertuaku mulai memasukan kayu ke dalam tungku untuk memasak. Ya, rumah suamiku masihlah sangat sederhana. Untuk memasak pun kami masih menggunakan kayu bakar. Tak ada angin tak ada hujan, aku mendengar di balik pintu kamar mandi. Ibu mertuaku berbicara kasar, aku mengerti itu dia tunjukan kepada ku. Entah apa yang membuat ibu, seakan b
Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa."Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan."Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa
"Mas … Tapi ibumu bicara seperti itu, tidak pada kenyataannya! Aku capek, Mas. Mengalah terus! Selalu di hina sama ibumu! Kamu ngerti gak sih perasaanku?!" Air mataku menganak sungai, sesekali aku mengusapnya dengan gendongan Hawa."Sabar, di tahan dulu. Sebentar lagi kita bangun rumah. Kamu gak perlu lagi mendengarkan omongannya!" Mas Wawan menasehati ku sembari meraih Hawa."Memang ada apa tho? Ibu kok marah-marah?" tanya Mas Wawan yang ingin tahu."Tadi itu ada orang datang nanyain ibu. Aku ngasih tahu dong, dimana tempat kerjanya. Eh, dia malah marah-marah gak jelas! Emang salah ya, Mas. Kalau aku ngasih tau? Dia malah bawa-bawa orang tua segala. Gak ada hubungannya!" "Sabar, ibu itu kalau lagi gak ada duit emang bawaannya emosi. Coba kalau kamu ada duit, bagi-bagi sama dia. Pasti dia seneng!""Mana ada duit, Mas. Aku? Aku kan dikasih duit cuma dari kamu! Gimana sih?""Ya sudah, diem aja. Besok kalau ada yang nanya lagi dimana Ibu. Bilang aja kamu gak tau, dia pergi dari pagi. Dah