Share

Bab 4

Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.

Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.

Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?

Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.

Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.

Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa.

"Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan.

"Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa dengan kipas tangan yang terbuat dari bambu.

"Kemarin Mbak ke Bandung! Sepupu ada yang punya hajatan," tutur Mbak Lastri sambil menyerahkan plastik berisi makanan.

"Ow …." Aku segera menerimanya. Tak lupa aku berterimakasih.

"Hawa nantik, kamu lewel ya? Kamu nanis y? Jangan nanis cayang! Cini gendong Bude!" Mbak Lastri menirukan suara anak kecil, merayu Hawa biar dia tersenyum.

Namun si kecil tak juga tersenyum malah menyembunyikan wajahnya di balik bajuku.

Dengan telaten Mbak Lastri merayu Hawa hingga dia tersenyum dan mau di ajak olehnya. Aku menyerahkan Hawa, dari gendongan ku. Segera aku lihat plastik yang tadi di berikan padaku. 

"Nan, gimana Ibu mertuamu? Sudah berubah?" tanya Mbak Lastri sembari menggendong Hawa.

"Gak bakal dia berubah, Mbak! Yang buat dia berubah tu cuma satu, Uang …." Dengan lantang aku mengatakan itu pada Mbak Lastri.

"Iya, dia mah uang mulu yang di pikirin. Eh, Tau gak? Kemarin dia bilang sama Emak-Emak di tukang sayur, kalau kamu itu makannya banyak! Gak mau beberes rumah, sama gak suka bantuin beli belanjaan! Padahal aku lihat sendiri lho, kalau kamu itu sering belanja beras juga sabun." Mbak Lastri geleng-geleng kepala.

"Astagfirullahaladzim, dia bilang seperti itu, Mbak? Jahat banget!" Aku mengelus dada.

"Iya, Nan. Mending kamu bilang sama suami kamu!"

"Iya, Mbak. Nanti aku bicarakan dengan suamiku!" Aku sangking jengkelnya.

Mbak Lastri menceritakan semua tentang Ibu mertuaku diluaran sana. Entah itu benar atau tidak aku juga tidak tahu. Terkadang tetangga juga suka mengadu domba agar terjadi permusuhan di antara menantu dan juga mertua. Karena bisa dijadikan bahan gunjingan sesama tetangga. Sudah menjadi hal yang biasa jika itu terjadi. Dari kejauhan aku melihat motor yang tak asing bagiku.

Aku segera pulang, setelah melihat Mas Wawan pulang dari kerja. Kalau bukan karena Mas Wawan, mungkin aku sudah angkat kaki dari rumah ini.

Dia memang kaku orangnya. Tidak membelaku dan juga membantu memberi nasehat kepada ibu. Awalnya aku gak tahu jalan pikirannya. Aku kecewa, selalu saja marah jika dia gak pernah ngebelain aku di depan ibunya. 

Tapi ternyata dia lebih dewasa. Dia hanya tidak ingin ada kesalahpahaman antara aku, dia dan juga Ibu. 

Mungkin karena dia tipe pria yang tidak banyak bicara. Sehingga tak bisa memberi pengertian kepada ku dengan baik-baik. Maksud dia baik, tujuan dia juga benar tapi cara penyampaiannya yang kurang pintar.

Aku bisa memahami sedikit demi sedikit sekarang. Tapi tidak dengan tanggapan para tetangga. Mereka hanya berfikir kalau aku lah yang selama ini tidak benar. Dan selalu saja malas-malasan.

Aku berjalan tergopoh-gopoh setelah melihat Mas Wawan pulang bekerja.

"Wan, tu istrimu. Baru pulang main dari tetangga. Dia bakal pulang kalau kamu juga pulang kerja. Kalau kamu gak ada, dia gak pernah ada di rumah!" sungut Ibu mertuaku pada Mas Wawan, yang baru saja pulang kerja, yang belum sempat melepas sepatunya.

"Bu, aku itu gak main, aku ngajak Hawa ngadem. Dari tadi dia kepanasan, rewel." Aku memberanikan diri menjawab, karena sudah bosan disudutkan terus-menerus tanpa perlawanan.

Kalau tidak, dia akan bicara kemana-mana.

"Tu … dengar kan, sekarang dia mulai berani sama ibu. Itu akibat istrimu main terus ke tetangga. Ya seperti itu!" Ibu mertuaku semakin membuatku emosi. 

Sambil berkacak pinggang dia menatapku dengan tajam dan penuh ketidaksukaan.

Mas Wawan meletakan sepatunya di rak bambu yang dibuat sendiri. Lalu berdiri kemudian menghampiriku.

Tangan Mas Wawan meraihku. Dia menggelengkan kepalanya. Mengisyaratkan bahwa aku tidak boleh, meladeni ibunya. 

"Mas …." Aku berbisik hingga hampir tak terdengar.

Mas Wawan hanya tersenyum, dan mengajakku masuk ke dalam kamar.

"Kok kamu gak jawab sih, Mas? Gak ngomong apa gitu?" tanya ku sembari bibirku monyong dua Senti.

"Sudahlah, Dek.  Gak usah diladeni. Ibu memang begitu, kamu yang sabar menghadapi ibu. Maklum, ibu sudah tua!" Mas Wawan mencoba menenangkanku.

Aku tak menjawab namun bibirku sedikit mencebik.

"Nanda, kalau suaminya pulang itu dibikinin kopi. Bukannya malah marah-marah gak jelas!" teriak Ibu dari ruang tamu.

"Tu denger, Mas. Ibumu itu memang bawel!" Aku melangkah pergi ke dapur setelah menyerahkan Hawa kepada Mas Wawan.

Salah ku apa? Jika dipikir-pikir selama ini aku tidak juga ongkang-ongkang kaki dirumah. Meskipun ada Hawa, aku tetep mencuci baju, piring maupun bersih-bersih yang lain. Masak? Aku juga sering bantu ibu masak. Apalagi urusan mencabut rumput liar, itu sudah agenda mingguan yang wajib dikerjakan. Sabun habis aku juga beli. Mungkin dasarnya mertuanya kali yang gak peka. Kalau aku pernah berbuat salah. Biarkan itu menjadi penyesalanku seumur hidup. Bukan malah ikut memusuhiku.

Benar bukan?

🍀🍀🍀

Hari ini Mas Wawan masih bekerja shift pagi. Berangkat jam tujuh pagi pulang jam tiga sore. Aku sengaja masak tumis kangkung dan menggoreng tempe menggunakan tepung.

 Tak lupa membersihkan rumah setelah Hawa terlelap. Mas Wawan pun juga sudah berangkat kerja.

Bapak mertua, Adi dan juga ibu mertua sudah tidak ada dirumah. Mereka pergi dengan kesibukan masing-masing.

"Permisi," Teriak seseorang dari luar. Aku yang baru saja menyapu belakang rumah meninggalkan sapu begitu saja dan segera menghampiri sumber suara.

"Ya, cari siapa ya?" tanyaku penuh hati-hati.

 

"Ibumu ada?" tanya wanita yang tidak aku kenal.

"Tidak ada, Bu. Maaf, sudah pergi!"

"Kemana?"

"Kerja, Bu. Di Rumah depan jalan berwarna hijau, jam segini biasanya masih disana." Aku menunjuk arah dimana ibu mertua bekerja.

"Baiklah, terima kasih. Aku akan cari kesana!"

Wanita itu kemudian pergi meninggalkan aku yang masih penasaran kepadanya. Waktu pun terasa cepat tidak terasa jam menunjukan pukul dua tepat. Entah kemana ibu pergi. Biasanya jam satu dia sudah ada di rumah tapi tidak untuk saat ini. Belum terlihat ada tanda-tanda kedatangannya.

"Nan, kamu itu jangan suka ngasih tau sama orang dimana kerjaku."  Tiba-tiba mertua datang dan langsung berbicara dengan menaikan nada bicara satu oktaf.

"Maksud ibu apa? Aku gak ngerti?" Aku mencoba mencerna ucapan ibu mertua.

"Tadi ada yang nyari kan? Kalau gak tau urusannya gak usah ikut campur!" 

"Aku niatnya baik kok!"

"Gak usah sok baik!"

Kemudian Mas Wawan terlihat pulang. Tak biasanya dia pulang jam segini.

"Istrimu itu diajari sopan santun, Wan. Biar gak suka ngurusin urusan orang! Memangnya gak pernah dia ajari apa sama orang tuanya?!" Ibu berbicara lantang menghadap Mas Wawan yang baru saja masuk ke dalam rumah kemudian pergi begitu saja meninggalkan kami yang saling melempar pandangan.

"Mas …."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status