Hening ... tidak ada suara sama sekali kecuali deru napas yang membuyarkan keheningan. Aku menajamkan pendengaran. Aku takut kalau Bu Aisyah sudah mengetahui keberadaanku. Kucoba menyapu tempat beliau berdiri. Ternyata tidak ada. Padahal aku masih terjaga dan tidak ada sama sekali memejamkan mata. 'Kemana ibu mertuaku pergi?' gumanku dalam hati."Nggak usah terlalu mencampuri urusanku dengan Rusly, Nesya. Aku mau taubat dan ingin sekali menebus kesalahan besar yang pernah aku perbuat."Aku terkejut ketika mendengar suara itu. Kuedarkan pandangan ke asal suara itu. Ternyata beliau sudah berdiri tepat di belakangku. "Bu-bukannya aku mau ikut campur, Bu. Namun, aku khawatir masa depan ibu bakalan carut-marut untuk membiayai hidup. Apalagi Rusly mengetahui kalau ibu membelinya dengan terpaksa.""Aku tahu konsekuensi yang harus kuterima. Mau sampai kapan aku harus menanggung dosa memisahkan seorang anak dengan ibu dan ayah kandungnya?"Aku menghela napas lalu memeluk tubuh ringkihnya. B
Bu Aisyah tidak menyangka kalau aku bisa berkata seperti itu. "Ka-kamu tidak salah 'kan berkata seperti itu?" tanyanya lirih.Aku melangkah pergi begitu saja. Padahal niatku mau bicara empat mata dengannya makanya aku membawa beliau kemari. Ternyata itu semua sia-sia dan sudah terlanjur basah.Aku berkata seperti itu karena sudah sakit hati. Seolah-olah aku ini laksana orang lain yang mau menjerumuskannya jatuh ke dalam jurang nan nista. Ternyata menyesal selalu datang terlambat. Kalau di awal itu namanya pertemuan.****Di sudut pojok kamar Ririn menggeliat. Sang arunika sudah menyapa bumi begitu lembut dan mesra. Dia merasa nyaman dengan tidur begitu nyenyak. Sudah lama dirinya tidak merilekskan tubuhnya seperti ini. Biasanya dia tidur di atas jam dua puluh tiga lewat. Kalau kemarin malam lebih cepat dari biasanya dan lebih lama bangun."Kamu sudah bangun?" tanya Prasetyo sambil mengulum senyum simpul. "Silakan sarapan terlebih dahulu," imbuhnya kembali.Ririn meregangkan tubuhnya
Part 55: Hari Rusly Luluh"Ternyata kamu manusia berkepala ular. Selicik-liciknya kancil, ternyata lebih licik lagi kamu," umpat Rusly tidak terima kalau Ririn telah bermain api di belakangnya."Aku seperti ini karena ulahmu. So ... jangan salahkan aku yang telah berpaling darimu."Ririn bergelayut manja di bahu Prasetyo. Melihat pemandangan yang tidak enak dipandang mata, membuat Rusly naik pitam."Ok ... ok .... Aku sudah mengerti dan paham apa maksud dan tujuanmu. Sekarang aku akan memberikan talak kepada benalu yang selalu menganggapku laksana mesin ATM pencetak uang. Aku akan memastikan dirimu menyesal setelah hati kecilmu mengetahui kalau perbuatanmu itu salah."Rusly pergi berlalu begitu saja. Selera makannya ambyar dan dadanya masih sesak.Cobaan kini datang bertubi-tubi. Rusly merasa lelah dengan semua ini. Ketika dirinya telah dibuang laksana seonggok sampah, kini dia telah menyesal menyia-nyiakan yang ada."Aku sangat merindukanmu, Nesya,' ucapnya lirih sambil terus melangk
"Karena kamu sudah mengetahui semuanya. Aku itu cuma akting dan tidak benar apa yang kamu lihat?" jawab Ririn mencoba berkelit.Masih saja kamu bisa berkata akting. Dasar wanita durjana! Semua cara kamu lakukan demi mendapatkan apa yang kamu inginkan," hardik Rusly kepada Ririn. Prasetyo hanya diam dan terus fokus menikmati sarapan pagi.Rusly melangkah pergi. Selera makannya tidak ada lagi. Di dalam otaknya hanya bertemu kepada ibunya.Sesampainya di dalam kamar. Rusly mengemasi pakaian dan barang-barangnya. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan wanita yang merawat dan membesarkannya. Walaupun perempuan itu bukan ibu kandungnya.Tidak perlu buang-buang waktu, Rusly sudah cek out dari hotel. Namun, pikirannya masih dihantui oleh kejadian yang ada. Perempuan yang didambakan kini berpaling darinya.'Nesya ... apa kabar denganmu?' tanya Rusly dalam hati. Dia bermonolog setelah sekian lama tidak merasa nelangsa.Rusly menginjak pedal gas menuju alamat yang sesuai dikirim ibunya. Sepanjang
Aku terkejut melihat bulir bening mengalir dari sudut matanya.'Masa pria yang selama ini aku kenal tidak pernah meneteskan air mata dan nyatanya pada detik ini dia mewek. Ada apa gerangan?'Aku mencoba menampar pipiku sebelah kanan. Ternyata sakit. Berarti pemandangan yang kulihat saat ini tidak mimpi dan nyata adanya."Rusly," sapa Bu Aisyah. Ternyata mertuaku mendengar tamparanku sehingga dia keluar dan memastikan suara apa yang baru saja terdengar. Rusly melihat ke arah suara itu. Dia mengusap bulir bening itu. Rasa malu dan sedih kini bercampur menjadi satu.Rusly bergeming dan tidak mampu berkata-kata. Hanya isak tangis yang dapat dia lakukan pada saat ini."Ayo masuk," ajak Bu Aisyah. Aku melangkah mendahului Rusly masuk ke dalam rumah. Sementara Rusly masih saja mematung.Aku menghempaskan bobotku di atas kursi yang terbuat dari rotan. Kuedarkan pandangan melihat tamu yang baru saja datang. Aku tidak mengenali siapa mereka sesungguhnya.Bu Aisyah mencari keberadaan Rusly. Te
"Tenangkan pikiranmu! Aku melakukan ini bukan karena tanpa alasan.""Cukup!" sela Rusly sambil terisak cengek. Baru kali ini dia mewek seumur hidupnya. "Kalau aku ini anakmu, apa buktinya?! Terus kenapa kamu tega melakukan itu kepadaku?" tanyanya kembali dengan gemetar. Sorot matanya sangat menggambarkan emosi yang membara. Siapa pun itu orangnya pasti bakalan marah. Sejak lahir bahkan bisa dikatakan masih merah sampai usia tiga puluh dua tahun berpisah dengan ibu kandung dan ayah kandung. Hatinya mencelos tidak karuan."Pada saat itu ayahmu tidak sanggup membayar biaya operasi dan berobatku," jawabnya menunduk malu. Rasa bersalah lahir dalam dirinya. Namun, itu dia lakukan bukan juga maunya. "Lagi pula, seandainya pun kamu hidup bersama aku dan ayahmu, aku rasa kamu tidak sebahagia ini," imbuhnya menimpali"Bahagia kamu katakan?!" bentaknya seolah tidak terima. "Bahagia seperti apa yang kamu katakan?" Rusly menunjuk wajah ibunya. "Lebih bagus aku hidup apa adanya daripada bergelimang
Part 56: Menebus Dosa"Coba kamu berada di posisiku! Apakah kamu bisa menerima kalau dirimu dipisahkan secara paksa dengan ibu kandung sendiri?!" bentak Rusly kepada Bu Aisyah pertanda tidak terima. Kemudian sorot matanya yang tajam kini diarahkan ke wajah wanita yang melahirkannya. Namun tidak pernah merawat dan menyusuinya sama sekali. Rusly menyapu ke arah Bu Aisyah kembali. Rasa dendam dan benci kini lahir di dalam dirinya. "Apakah kalian tidak punya hati atau perasaan sehingga tega memisahkanku begitu saja?!"Aku hanya menunduk sambil mencari ide untuk mencoba meredam emosinya, Rusly. Walau bagaimanapun itu, pasti ada alasan tersendiri kenapa tragedi yang tidak diinginkan bisa terjadi.Bu Aisyah hanya tergugu dan terisak. Retinanya yang mulai berembun melahirkan bulir bening. Hati tak kuasa untuk sekedar menahan air mata itu. Sesekali dia menghapus air matanya yang sudah terlanjur jatuh dari kedua sudut matanya."Kenapa kamu hanya diam saja?!" dampratnya seolah tidak sabar ingin
'Akankah aku mereguk warisan ini dengan mengikhlaskan kehidupanku berpisah dengan ibu kandung?' Rusly meratapi nasibnya yang malang. Netranya kini berembun seolah akan turun hujan lebat dari tepi sudut retinanya."Aa-aku tidak akan menandatangani surat ini. Aku akan melaporkan kamu kepada pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Aisyah!" amuk Rusly dengan wajah memerah."Kalau kamu mau menjebloskanku ke dalam jeruji besi, silakan!" balas Bu Aisyah dengan tegar. Dia meneguk salivanya dengan berat. Kalau kamu mau mengikuti amarahmu, aku juga bisa menuntutmu balik dengan cara memaksa kamu untuk mengembalikan semua biaya selama ini."Bu Aisyah mematikan cakapnya, Rusly. Dia terpaksa berkata seperti itu karena ulah anak yang selama ini dirawat penuh dengan kasih sayang."Rusly –," tegur perempuan tua renta itu terjeda. Dia hendak memeluk tubuh anaknya, malah ditepis Rusly dengan sigap. "Aku tahu kamu pasti membenciku dan Bu Aisyah. Aku melakukannya karena bukan tanpa alasa