Air matanya akhirnya sebak menjulur ke bawah. Panas begitu terasa ketika cairan bening itu mengalir begitu saja. "Aku tahu air matamu yang baru saja jatuh hanya air mata buaya. Itu bukan murni karena kamu menyesali apa yang telah terjadi," sindirku dengan mengangkat dagunya agar kedua bola mata kami bersirobok.Ririn menepiskan pandangannya. Dia merasa terhina atas perlakuan yang kuciptakan. Aku tidak peduli bagaimana pun itu perasaannya saat ini. Perasaan senang kini lahir di dalam jiwa dan ragaku."Kumenyesali apa yang telah melanda diriku," ucapnya parau. Ririn terisak pilu seolah dia yang paling terzalimi atas apa yang telah menimpa dirinya. "Bo-boleh kah aku meminta tolong kepadamu, Nesya?" tanyanya memberanikan diri.Aku menatap sorot matanya yang sendu. Walau bagaimana pun itu, raut wajahnya yang terpahat. Aku tidak boleh sama sekali merasa kasihan apa yang dialaminya. Ketika dia merebut suamiku dan datang sebagai tamu tak diundang ke dalam surga yang sedang kubina. Dia tidak a
"Aku tahu dia hanya akting. Segala macam cara dia lakukan demi kepuasan dan kesenangannya."Aku mendelik seolah tidak paham apa maksud dari tujuan perkataan Pak Sudrajat."Ma-maksudnya, Pak?" tanyaku melahirkan wajah heran."Kamu lupa atas kasus pemalsuan kata matiku dia buat. Nah, ini juga pasti akal-akalannya untuk berbuat gila atau sekarat.""Masalahnya kenapa ke aku imbasnya. Buat apa dia berbuat seperti itu untuk mengorbankan orang lain. Sama halnya Rusly. Menjandakan istri sah demi seorang wanita janda." Pak Sudrajat mengukir senyum tipis. Aku tidak menyangka seribet ini urusannya."Aku tidak habis pikir pola pikir beliau ntah bagaimana. Masa dia ingin terbebas dan melihat orang lain bahagia, akan tetapi mengorbankan orang lain. Itu sudah jalan yang salah, Pak," imbuhnya tidak terima apa pun itu keputusan yang ditempuh Bu Aisyah."Sudah aku katakan. Segala macam cara dia lakukan. Jalan pantas dianggap pantas. Jadi ... kamu harus berhati-hati terhadap mereka semua!"Aku menghela
Part 74: KembaliBu Aisyah memang pura-pura drop. Dia tidak mau mendekam di penjara di usia senjanya. "Lihat saja nanti Sudrajat! Aku akan membalas kembali perbuatanmu setelah keluar dari jeruji besi ini."Perawat dan dokter sudah angkat tangan menangani pasien atas nama Bu Aisyah. Segala macam cara dia lakukan agar bisa lepas dan bebas dari tahanan. Belum lagi dia selalu ingin melukai dirinya sendiri. Seperti pada saat itu, dia mencabut jarum infus lalu diarahkannya kepada ke dua bola matanya. Dokter dan perawat tidak tahu lagi harus berbuat apa."Ibu tolong jangan berbuat yang aneh-aneh!" seru perawat dengan nada hati-hati. Dia tidak mau kalau pasien mencelakai dirinya. "Aku tidak gila! Aku ini sehat dan waras!" bentak Bu Aisyah dengan wajah memerah.Memang tubuh dan jiwanya beliau tidak sedang sakit. Namun, pikirannya saja yang bermasalah karena impiannya untuk membuat Sudrajat lenyap dari atas muka bumi ini. Semua yang dia harapkan tidak sesuai. Itu sebabnya pikirannya tidak sang
Aku mencari ponsel di atas nakas. Niat hati untuk menghubunginya agar mantan suamiku segera mengurus berkas. Kucoba menelponnya, tetapi tidak ada sama sekali jawaban. Aku menaruh curiga dan pikiran jahat menggerayangi otakku.Kurobohkan tubuh ini ke atas ranjang sembari memegang ponsel. Kutatap langit kamar seolah berpikir kenapa dia tidak mau menerima panggilanku? Padahal, beberpqa hari yang lalu dia datang bersimpuh memohon dan bahkan mengemis agar aku aku dan dia rujuk.Baru saja aku mengingat-ingat sisi baiknya. Tidak ada sama sekali kukenang. Semua tentang kenangan pahit laksana pahitnya empedu. Pikiranku seolah berubah haluan untuk kembali jatuh ke dalam pelukannya.'Aku tidak boleh terlalu bucin. Sekali jatuh, tidak boleh lagi jatuh ke dalam lubang yang sama.' Aku bermonolog untuk menguatkan hati dan pikiranku agar tidak goyah.Aku baru ingat pesan Pak Sudrajat. Kalau hari ini ada jadwal untuk bersua dengannya. Dia katanya ingin memperkenalkan seorang pria yang jauh lebih baik
Di ujung belahan bumi yang lain, Rusly sedang galau memikirkan masa depannya. Dia baru sadar kenapa bisa terjebak dengan pernikahan sirih antara Bu Aisyah dengannya. Dia tidak tahu kalau masalahnya jadi serumit ini.'Ibu ... aku butuh bahu buat bersandar.' Rusly bermonolog. Dia menelan salivanya terasa getir. Nasi sudah jadi bubur. Andai kata dia tahu kalau dampaknya seperti ini. Dia tidak akan bermain api.'Aku harus berdua dengan ibu. Aku tidak mau melukai hati dan perasaannya.' Lagi dan lagi dirinya bermonolog. Dirinya sudah sadar akan dosa dan salah yang dia lakukan kepada ibu kandungnya."Tolong beri tahu aku di mana alamat ibu kandungku sekarang!" desak Rusly kepada Bu Aisyah. Dia baru saja berdua dengan ibu angkat sekaligus istri sirihnya. "Aku tidak tahu di mana dia tinggal," jawab Bu Aisyah meninggikan nada. Bagaimana pula dia bisa mengetahui keberadaan Larasati. "Lagi pula coba tanya kepada Nesya!" jawabnya sambil mengukir senyum tipis.Rusly sebenarnya enggan untuk berhubu
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanyaku keceplosan. Setelah kata suami saya keluar dari bibirku aku teringat kalau Rusly bukan suamiku lagi. Aku merapalkan istighfar berkali-kali. Aku tidak mau jatuh kembali ke dalam lubang yang sama. "Kemungkinan besar kakinya tidak bisa diselematkan," jawab dokter sembari menyodorkan hasil lab dan ronsen. Dinginnya AC di dalam ruangan dokter sudah tidak terasa karena informasi yang aku dengar membuat diriku terkejut."Apakah separah ini?!" tanyaku panik setelah memeriksa dengan seksama foto yang baru saja kuterima dari dokter.Dokter tersebut memejamkan mata pertanda pertanyaanku itu benar adanya."Bagaimana kejadiannya sih? Kok bisa separah ini?!" gerutuku seolah tidak terima apa yang terjadi. Sejenak aku berpikir dan membayangkan kejadian itu, akan tetapi masih sulit rasanya untuk kuterima."Apakah masih ada yang ingin dipertanyakan?" tanya dokter membuyarkan lamunanku. Kalau jika tidak ada, sebentar lagi aku ada jadwal operasi. Bukannya men
Aku tidak tahu kenapa Arlan bisa mengetahui keberadaanku di sini. Aku bergeming dan menelaah dari mana dia tahu aku di sini. Santai saja! Tidak usah heran seperti itu," ucapnya sembari meletakkan bobotnya di atas kursi persis di depanku. Tubuhnya Rusly kini ada di tengah.Aku menunduk sembari berpikir kenapa Arlan ada di sini dan apa maksud dan tujuannya? Otakku rasanya mau pecah. Belum selesai masalah satu sudah datang masalah yang baru."Bagaimana keadaan kamu, Rusly?" tanya Arlan memecah keheningan. Dia membetulkan duduk sembari melirik ke arahku. Pandangannya tertangkap oleh retinaku yang tiada berhenti untuk melirik aktivitasnya.Rusly tidak ada sama sekali menjawab. Bahkan dia berkata jauh dari apa yang aku harapkan. "Aku tetap cinta dan sayang kepadamu, Nesya. Tolong urus segera pernikahan kita. Malam ini harus ijab Syah."Sebenarnya Rusly waras atau pura-pura gila. Dari tadi ngaur terus perkataannya. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya begitu saja."Enak saja! Nesya i
"Sudah seminggu Rusly dirawat di rumah sakit. Dia merasa beban yang ditanggung amatlah berat. Kini telah terasa kalau tidak ada kehadiran seorang istri baru terasa kesepian."Sial! Masa Nesya tidak mau berbakti kepadaku untuk merawat dan menjaga!" umpat Rusly kesal. Dia hampir saja jatuh terpleset di kamar mandi. Kalau sudah seperti ini siapa yang akan merugi?" sindirku ketika aku baru sampai di kamar tempat dirinya dirawat.Bola mata Rusly membulat seolah tidak percaya kalau aku mendengar umpatannya. Dulu ke mana saja ketika berkuasa menghampiri dirimu?!" Aku melipat kedua tangan lalu kuletak sejajar dengan dada. Sesekali aku harus bisa dan berani mematikan cakapnya.Bantu dulu aku! Kamu malah bengong pula di situ!" ucap Rusly dengan nada tinggi dari biasanya. Aku masih saja diam bak patung Liberti. Aku sesak pipis, cepat bantu buka resleting celanaku!" bentaknya kembali tidak sabar karena sudah di ujung."Aku dan kamu sudah tidak mahram lagi. So ... aku nggak mau membukanya." Aku be