Magma menyelimuti dinding ruangan berbentuk kubah, seakan ada pembatas transparan hingga cairan panas itu tidak tumpah. Ruangan dengan sebuah ranjang, terlihat begitu terang karena magma merah yang terus bergejolak. Salah satu sisi magma bergerak, memberikan sebuah lorong kecil dan muncullah Adlar bersama Akara.
"Ambillah!" Pria itu melemparkan lempengan kartu logam kepada Akara dan kembali berkata. "Kartu itu tidak hanya untuk masuk ke ruangan ini, tapi juga semua tempat di kota Laut Panas. Tidak ada yang bisa menyinggungmu jika menunjukkan kartu itu. Jika ingin lebih bersantai, pergilah ke atas." Ia menunjuk ke arah sebuah lubang tepat di atas kubah ruangan."Baiklah!" jawab Akara sambil menyapu pandangan. Sedangkan Adlar mulai melangkah pergi, tapi segera terhenti dan berbalik sebelum berkata."Masih ada cincin seperti yang dimiliki wanita malam sebelumnya?"Tanpa basa-basi, Akara menjentikkan jarinya dan meluncurlah sebuah cincin yang langsuAkara mengikuti Adlar, memasuki ruangan dengan altar batu yang sangat luas. Bukan sekedar ukiran batu, namun magma merah menyala mengalir di sela-selanya, membuatnya terlihat seperti lingkaran formasi yang menyala. Ia menyapu pedangan, melihat magma yang juga menyelimuti segala sisi dan akhirnya tertuju ke tengah altar, ada pancuran magma yang bertingkat seperti pagoda. "Jika tidak ada aura Alkemis, bagaimana cara kalian menempa?" Pria abu-abu bertubuh tinggi kurus mengibaskan tangannya, seketika pancuran magma berubah bentuk, menjadi sebuah tungku pembakaran. "Kami memanfaatkan altar. Aliran energi kita saat melakukan pembakaran akan ikut mengalir dengan magma. Aliran ini yang akan menjaga formasi tetap menyala," jawab Adlar sembari menunjuk magma yang mengalir di sekitarnya. "Oh?" Akara lalu berjalan ke samping dan menjulurkan tangannya. Ia merenggangkan jari-jarinya perlahan, namun bilah dimensi terbentuk sangat lebar. Altar rusak, membuat
Aliran magma yang membentuk formasi semakin lebar kerusakannya, hampir seperempat dari seluruh sisi altar. Beberapa senjata tingkat Suci sudah melayang, berselimut energi putih di sekitar tungku penempa. Sang penempa masih nampak bersemangat, bertelanjang dada dengan tubuh kurusnya yang masih terbentuk otot. Sepasang belati melayang di depannya, dengan aliran energi dari formasi di altar magma yang mengalir, masuk ke dalam belati. Merasa bosan, pemuda yang duduk di ujung ruangan segera bangkit dan berkata. "Ada ruangan untuk menempa lainnya?""Pergilah ke ruangan lainnya dengan kartu yang aku berikan!""Kabari aku jika sudah bisa mengendalikan formasi sepenuhnya tanpa bantuan altar." ucapnya seraya melangkah ke salah satu sisi dinding. Tanpa melakukan apapun, dinding magma terbuka otomatis dan kembali menutup saat ia melewatinya. Lorong luas dengan langit-langit setinggi lima meteran yang juga transparan, hingga warna merah menerangi seluruh sisi. Cukup banyak klan Vasto yang berlal
Beberapa hari kemudian, Akara telah selesai menempa, dengan beberapa pasak seperti tombak yang sudah melayang di sekitarnya. Dengan tubuh penuh keringat, ia meraih salah satu pasak dan berjalan ke arah pancuran magma di tengah altar. Begitu santai ia jatuhkan tepat di tengah pancuran, tapi pasak segera melesat memasuki aliran magma. Beberapa pasak lainnya juga menyusul. Ia lalu segera pergi, tidak ada yang berani berkomentar tentangnya lagi. Ketika berpapasan, mereka hanya menyingkir dan bergegas menghindar. Sesampainya di ruangan Adlar, bukan pria berpupil tiga yang tengah berlatih. Namun pemuda berpawakan tenang yang setengah bagian atas wajahnya bernoda hitam. Seperti habis dicelup ke dalam tinta, juga bekas tetesan turun ke pipinya. "Sepertinya kau terlalu fokus sampai tidak mendengar teriakanku dari luar!" seru Adlar yang ada di sisi samping, bersama kedua gadis yang salah satunya menatap sinis Akara. "Oh?" jawab Akara sambil mengamati pemuda di pusat altar yang masih menyempu
Pemukiman berada pada gunung-gunung batu yang mencuat, melubanginya hingga seperti deretan gedung-gedung. Karena bagian bawahnya merupakan lautan air panas, mereka membuat jembatan di atas batu pencakar langit. Ada juga beberapa pulau yang melayang di udara. Keramaian di sana sedang membicarakan satu hal yang sama. Pertandingan menempa? Iya, Zur Adlea yang mengumumkannya. Pantas saja, manusia itu yang sebelumnya menghajar tuan muda Roldan. Pergerakannya sangat cepat sekali seperti tidak terpengaruhi belenggu kota! Kabarnya manusia itu juga diangkat menjadi murid tuan Adlar. Sangat menarik! Manusia misterius yang menjadi murid tuan Adlar melawan salah satu jenius generasi ini! Di tempat lain, tepatnya di sebuah ruangan di salah satu batu pencakar langit. Adlia duduk di samping saudarinya yang sedang menyantap kue. "Adlea, apa perlu sampai seperti itu?" "Memangnya kenapa kak? Budak itu yang memulai masalah!" jawabnya dengan ketus sambil tetap menyantap kuenya, tapi Adlia masih santa
Baru sadar ternyata malah pada spam vote :") Bang Joehandi masih memimpin, disusul bang Harly89 Junior yang juga langsung spam banyak, ada bang Imron Rosid dan yang lainnya juga. Makasih banyak para pembaca lama yang masih ngikutin Akara, buat pembaca baru selamat datang. Kalau ada kekurangan silahkan hujat Author, akan Author coba perbaiki. Author sudah ada catatan sampai end mau bagaimana, nasib karakter akan jadi apa, tapi ada aja yang tanpa disengaja berasa mengendalikanku. Alur sebenarnya mau ke jalur A, tapi berubah gara-gara kemunculannya, nasib karakter lain juga berubah gara-gara dia. Padahal cuma sekedar muncul dan tindakannya gak tertuju langsung pada Akara, bahkan juga tanpa melakukan apapun. Kalau Author tetep maksa ikuti alur awal malah gak jalan, harus mengikuti kemauannya dulu. Dari awal bukan hanya mengendalikan perjalanan Akara, tapi Author sendiri berasa disetir sama dia. Keberadaannya bisa Author katakan tertinggi, tapi kok malah jadi sampai ngendalikan Author sen
"Terima kasih karena tidak membuat nama ayahku tercoreng." Adlia memimpin jalan dan Akara mengikutinya. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari Akara, membuat pakaiannya yang penuh rumbai terlihat begitu indah. Mereka meniti jalan lantai batu yang melayang. Bukan di atas batu pencakar langit, tapi di dalam lautan magma.Beberapa saat sebelumnya, saat para penonton terkejut dengan mata naga Akara. Adlar kembali berkata. "Kita kesulitan mendapatkan bahan baku. Dengan adanya tuan Regera di sini, ada perjanjian bisnis. Jadi di masa mendatang, kita bisa menempa dengan bebas tanpa dipusingkan mencari bahan baku senjata!" Mendapatkan harapan baru, para warga bersorak gembira. Namun, membuat Adlea semakin kesal dan segera pergi. Di sisi lain, Adlar nampak ragu dan berkata kepada Akara. "Kau yakin tentang ini?" "Tergantung sikap kalian. Jika urusanku telah selesai di Alam Danirmala, aku akan kembali ke alam bawah dan menghubungkan bisnis kita,
"Ada apa? Kenapa raut wajahmu seperti ini?" Ia segera menarik cucunya untuk duduk."Ayah membawa seorang Draking, budak itu melukai teman-teman Adlea..." Gadis itu bercerita panjang lebar kepada neneknya. "Menamparmu?!" Sang Ratu mengusap pipinya dengan lembut, lalu menoleh ke arah singgasana kosong di sampingnya. "Tunggu kakek dan pamanmu selesai berlatih!"...Penyerapan energi yang Akara lakukan menarik perhatian banyak orang. Bagaimana tidak, energi meluap semakin besar, dengan munculnya benda misterius berbentuk telur bercahaya ungu. Belasan orang berkumpul termasuk Adlia, menunggu Akara keluar dari cangkangnya. Apa memang seperti itu pelatihan klan Draking? Mereka memang kuat, apalagi generasi murni sepertinya! Tapi kenapa banyak yang dijadikan budak?Mereka langsung terdiam saat Adlia menoleh ke arahnya. Tidak lama kemudian, aliran energi melebur, hembusan energi mulai normal kembali saat cahaya ungu hilang. Kubah pelindung terbuka, me
Beberapa minggu kemudian, di sebuah aula besar di salah satu batu pencakar langit. Adlar menyambut beberapa tamu dengan ramah."Kau terlihat luar biasa seperti biasanya, Zurrark Alltar!" Adlar melayangkan kepalan tangan, sebagai salam kepada pria Vasto bertubuh kekar. Bukan kekar yang berlebih, tapi proporsional yang terlihat begitu gagah, ditambah lagi rambut abu-abu di bagian atas disisir ke belakang. Bajunya berwarna coklat yang hanya kacing bagian bawah dikaitkan, memperlihatkan otot tubuhnya. "Kau mengganggu latihanku, Adlar!" candaan ringan ia lontarkan saat memberi pukulan salam, sedangkan tangan lain menepuk lengannya. "Terlihat semakin kuat ya?" Adlar mengangkat alisnya yang tak ada bulu alis, melihat ke arah pundak Alltar. Ada lempengan logam tebal yang melayang di lengan dan atas pundaknya. "Anakku yang membuatnya!" Ia menoleh ke arah seorang pemuda dengan penampilan sama, tapi lebih rapi bernama Zur Allran. "Paman!" Allran