Kota Tunggul Tua. Altar teleportasi yang sangat luas, dengan lebar beberapa kilometer. Hampir setiap orang yang baru pertama mengunjunginya mendongakkan kepalanya penuh kekaguman, termasuk seorang pemuda dengan jubah dan tudung kepala hitam. "Woahh?" Ia tanpa sadar memutar tubuhnya, melihat tembok raksasa dengan bentuk tak beraturan yang mengelilingi altar. Banyak yang sepertinya, ada ribuan orang yang datang dan pergi dengan altar teleportasi. "Apa ini?!" serunya kepada gadis di sampingnya yang juga mengenakan pakaian yang sama. "Batang pohon," jawab sang gadis sambil melenggang pergi. "Pohon? Bagian atasnya saja terbuka seperti itu kok!" Ia mengejarnya sambil menunjuk langit biru dengan beberapa awan putih. Mereka berjalan memasuki satu-satunya lorong. "Kalau dilihat-lihat memang seperti kayu tua," gumam sang pemuda sambil mengamati dinding lorong yang memiliki pola serat kayu. Di saat ia asik menyapu pandangannya, sang g
"Nekat sekali dia seperti kelakuan Regera!" gumam Komo, dengan senyuman terlihat di balik tudungnya. Namun, ia tiba-tiba menoleh dengan serius, ada tiga pasukan Kerucut di sana. "Obelia, kau bilang di sini tidak ada aturan bukan?" "Ada tuan, jika merusak harus mengganti,""Baiklah!" tatapannya begitu tajam dengan senyuman menyeringai, ia berjalan mendekati pasukan kerucut. Namun, Obelia segera meraih tangannya. "Tuan Komo, pelelangan sebentar lagi, sebaiknya jangan lakukan hal yang tidak perlu,""Tapi?... Ahh baiklah ayo!" Hanya beberapa belas meter darinya, ada Akara yang juga melihat keberadaan pasukan kerucut. Ia melirik sekilas ke sisi kanan kirinya yang beberapa orang telah mengikuti secara diam-diam, lalu tanpa basa-basi mendekati pasukan kerucut. "Tuan?!" Adlia cukup khawatir dan bergegas mengejarnya, tapi Akara telah melesat. Broll!... Dua orang ia hantam ke tanan dengan cekikan, tapi satu orang be
"Kenapa kau di sini?" ketenangannya dan tatapan mata acuh tak acuh membuat Komo menunduk ke samping. Namun setelah mendengar keriuhan warga yang sedang menonton, Akara berkata."Kalian berdua ikut denganku!" "Wah wah, ternyata Zur Adlia yang datang langsung." Seorang pria paruh baya menyapa Adlia yang sudah duduk di sofa, dan mengangguk sekilas menyapanya. Pria dari klan Sheva bergerak menatap Akara yang juga sudah membuka tudung kepalanya. Lingkaran formasi mulai menyelimuti kaca matanya."Zur Adlia, kebetulan beberapa hari lagi ada pelelangan Raga, apa berkenan menjualnya? Draking murni dengan penampilan sepertinya, pasti akan banyak orang yang bermin...""Maaf, tuan Regera bukan budak, beliau tamu di Aliansi Penempa. Kedatangan saya ke sini untuk mengambil pesanan ayah," jelas Adlia, membuat pria itu mengerutkan keningnya."Loh, bukankah sudah diambil?""Diambil?" Mereka saling kebingungan, lalu pria itu kembali menjelaskan.
"Apa tujuanmu melawan Fraksi Cahaya Ilahi?" Penguasa kota bertanya dengan tenang, sambil menghentakkan sebuah tongkat yang muncul, sebagai sandaran kedua tangannya di depan."Adakah alasan agar tidak melawan mereka?" Akara bertanya balik dengan senyuman kecut di bibirnya. Tekanan intimidasi menghilang saat penguasa kota duduk di sofa, lalu menawari keduanya untuk duduk. "Ingin mengeluarkan energi kutukan dari tubuhku?" tebak Penguasa kota setelah melihat luapan energi tipis di dadanya. "Apa tujuanmu?" Akara curiga, tapi tetap duduk tenang. "Klan Sheva hidup dengan energi gelap, jadi pak tua ini dapat merasakannya dengan mudah," jelasnya, tapi Akara tetap diam dan kurang puas akan jawabannya. Beberapa saat mereka saling pandang tanpa suara, akhirnya penguasa kota menggeleng sekilas dan berkata. "Fraksi Cahaya Ilahi sangat berhati-hati kepadamu, terlebih lagi, Aliansi Penempa terlihat sangat memihakmu." Ia melirik ke arah tangan mereka yang masih berpegang tangan. "Pak tua ini han
Melihat kejadian di depannya, terlihat kecemburuan di wajah Adlia."Mulutmu manis sekali anak muda, tapi tatapan matamu masih membuat tulangku menggigil!" Alkemis cantik mendorong dada Akara, tapi malah tubuhnya yang melayang menjauh perlahan. Ia mendarat dengan anggun di atas altar, berputar dan berdiri di tengahnya. Energinya meluap dan terdengar suara rantai berdencing, disusul suara putaran roda besi. Bagian tengah altar terbuka, lalu muncullah sebuah rak kayu. Jari-jari lentiknya terlihat sibuk memeriksa setiap lantai rak, hingga menemukan sebuah lembaran resep dari emas. Ia melebarkan jari-jari di depan resep, mengalirkan energi hingga tulisan yang terukir pada lembaran emas menyala. Ia tarik tangannya, membuat tulisan yang menyala seakan terlepas dari lembaran emas. Tulisan bergerak dan berubah, lalu muncul sebuah kertas dan langsung tercetak di sana."Carilah bahan-bahan itu!" Akara segera membuka kertas yang melayang ke arahnya, hanya hitungan detik segera masuk ke penyimp
"Hentikan! Kau hanya akan menghancurkan formasiku!" seru gadis berpakaian lingerie yang penuh kepanikan, diselimuti energi kutukan dan jiwa liar yang seakan mengaum padanya. "Tidak perlu berpura-pura, energi kutukan seperti ini tidak mungkin menyulitkanmu 'kan?""Hmph!" Alkemis cantik seketika tenang. "Salahku meremehkan orang yang dicari-cari oleh Fraksi Cahaya Ilahi!" Energi langsung meledak saat ia melebarkan kedua tangannya, rambut dan lingerie tipisnya berkobar. Tubuh indahnya yang terekspos segera tertutupi oleh energi seperti asap hitam. Cyar!... Es yang menyelimuti dinding pecah, tertembus oleh energi dari jamur bercahaya. Aliran energi yang sempat terhenti langsung menjadi begitu deras ke dalam tubuh Akara. Namun, terhalau oleh kilatan listrik ungu. "Bocah, aliran energimu akan semakin hancur jika hanya mengeluarkan energi kutukan begitu saja! Biarkan energi jamur membantumu!""Jamur yang sudah kau budidaya sangat lama, tidak mungkin tidak ada sesuatu di dalamnya. Kau jug
"Lanjutkan," ucap pendekar botak kepada gadis di ujung altar yang meleleh membentuk lubang. "Maaf, lanjutkan apa tuan?" Ia memastikan dengan ragu-ragu. "Perlu aku ulangi?" "Maaf maaf!" Ia langsung melangkah maju, lalu berdiri tepat di pinggir lubang besar pada altar. Energi meluap dari tubuhnya, disusul segel tangan yang rumit. Tidak butuh waktu lama, energi mengalir ke udara, menyebar di langit-langit gua. Sebuah lingkaran formasi terbentuk, lalu berdencing dan disusul aliran energi dari jamur di dinding gua. Energi kembali mengalir di tubuh Akara yang lemas di udara. Keraguan di wajah gadis Sheva telah berubah menjadi senyuman kepuasan. "Anak muda, takdir berpihak kepadaku," gumamnya...."Mama Serin?!" Akara berdiri tenang dalam kehampaan, tidak ada apapun dalam kegelapan. Bahkan ia tidak mendapatkan jawaban dari panggilannya kepada Serin yang seharusnya bersama dia. Ia lalu menyapu pandangan secara perlahan, sebelum akhirnya tertuju pada satu sisi. Tidak terlihat apapun, tapi
Di wilayah klan Vasto, tepatnya di salah satu sisi kota Laut Panas, ada portal besar yang dikelilingi batu pencakar langit. Sekitar 20 orang melayang di luar kubah pelindung, yang mengelilingi deretan batu pencakar langit. Mereka para Zurrark, Zur dan beberapa orang Vasto. Sedangkan di depannya, ada Adlar yang menghadang mereka. "Adlar, jangan buang-buang waktu, sekarang bukalah kubah pelindung!" ucap seorang Vasto dengan lempengan emas yang melayang, mengitari pundaknya. "Adik ipar, Adlia belum kembali dan Regera juga masih mengasingkan diri, tunggulah mereka sebentar lagi," jawabnya, pupil 3 garisnya sekilas melebar, memperlihatkan keseriusannya. "Regera sudah sebulan penuh tidak muncul, apa yang kau sembunyikan?" gertak pria Vasto bertubuh kekar dengan logam tebal melayang di pundak dan lengannya.Adlar yang terpojok masih tenang, tapi logam cair mulai naik dari kepulauan uap, menyelimuti kubah pelindung. …Akara menemui Myrna, Alkemis cantik. Altar di sampingnya telah berluban