“Emi, katanya mau dijemput maminya. Mana?”Emily memasang wajah kusut mendengar pertanyaan teman sekelasnya. Dia memilih memalingkan wajah tak mau menjawab.Emily baru saja keluar dari kelas setelah jam pelajaran usai, tapi temannya sudah menanyakan hal yang tadi diceritakannya.“Nanti pasti datang,” jawab Emily yang kesal.“Emi ‘kan suka bohong. Kalau ke sekolah diantar pengasuh, bukan mami. Kok bilangnya punya mami,” celoteh teman sekelas Emily.Emily semakin kesal karena teman-temannya terus mengejek. Dia pun berbohong jika punya mami dan akan dijemput.Emily memilih meninggalkan teman sekelasnya itu saat baby sitternya datang. Bahkan dia berjalan cepat meninggalkan pengasuhnya karena kesal“Non!” Pengasuh Emily pun terkejut melihat gadis kecil itu malah meninggalkannya.Emily pergi ke depan gedung. Dia memandang mobil-mobil yang terlihat antri untuk menjemput para siswa, Amily berharap Aruna tidak mengingkari janji untuk menjemput agar dia bisa membalas ejekan teman-temannya.“Non
“Papi!” Emily langsung berlari ke arah ranjang Ansel begitu masuk kamar inap. Ansel senang melihat Emily datang, hingga tatapannya tertuju ke Aruna yang berjalan bersama baby sitter. Emily ingin naik ranjang untuk memeluk Ansel, tapi Ayana langsung mencegah. “Jangan dulu, ya.” Ayana menahan tubuh Emily agar tidak naik ranjang. “Kenapa tidak boleh, Oma?” tanya Emily penasaran. “Perut Papi sakit, kalau tidak sengaja tersenggol, nanti Papi kesakitan lagi,” jawab Ayana menjelaskan dengan yang mudah dipahami. Emily menatap Ayana yang sedang menjelaskan, lantas memandang Ansel yang hanya tersenyum. “Papi kemarin tidak nangiskan waktu disuntik?” Emily bertanya sambil memasang wajah cemas. Pertanyaan Emily membuat Ansel sangat terkejut, begitu juga dengan yang lain. Aruna langsung menahan tawa karena mendengar ucapan Emily. Ansel langsung menatap Aruna yang sedang menahan tawa. Tentu saja dia malu jika kelemahannya itu diketahui Aruna. “Tidak ada yang nangis. Masa disuntik saja nangi
Aruna pergi ke rumah sakit untuk menemani Ansel. Dia datang ke sana saat ada keluarga Ansel sedang datang menjenguk. Aruna tiba-tiba merasa canggung, apalagi tatapan semua orang tertuju kepadanya. “Kamu datang,” ucap Ansel dengan wajah semringah. Semua orang menatap Ansel, hingga menebak siapa Aruna. Aruna sendiri hanya menganggukkan kepala sopan sambil memulas senyum. Dia mendekat perlahan karena merasa canggung. “Ah … jadi benar, ya.” Jean langsung menggoda kakak sepupunya itu. Semua orang di sana pun langsung menoleh Jean saat mendengar wanita itu bicara. “Benar apa?” tanya Jill—adik sepupu Ansel yang lain. “Coba aja tanya ke Ans,” jawab Jean sambil melirik Ansel. Ansel langsung melotot mendengar Jean bicara. Dia was-was jika sepunyanya itu kembali bicara sembarangan. “Kemarilah, Runa. Mereka keluarga kami,” ucap Ayana yang berdiri lantas mengajak Aruna mendekat. Aruna semakin canggung karena harus bertemu dengan keluarga Ansel. Ayana memperkenalkan Aruna ke adik dan ip
Bumi melirik Aruna. Dia ikutan pusing karena harus terjebak dengan kebohongan wanita itu. Aruna sebelumnya sudah bilang kalau dirinya menjadikan Bumi alasan agar bisa menjenguk Ansel. Kini Bumi harus menyelaraskan jawaban jika Bintang bertanya soal apa yang Bumi dan Aruna lakukan saat bertemu. “Mommy mau beli apa? Kenapa malah mengajak ke mall?” tanya Aruna keheranan. Bintang mengajak Bumi dan Aruna ke mall, membuat keduanya bingung. “Mommy hanya ingin jalan-jalan bertiga dengan kalian, apa tidak boleh?” Bintang bicara sambil menatap Aruna dan Bumi bergantian. Bumi dan Aruna pun saling tatap, mereka sepertinya harus pasrah saja menuruti keinginan Bintang. Bintang membelikan beberapa barang Bumi meski sempat ditolak. Bumi sampai bingung karena Bintang tak mau mendengar penolakannya. “Sepertinya kamu lebih baik jujur ke mommymu, Run.” Bumi bicara berdua dengan Aruna saat berada di kafe. Bintang sedang ke kamar kecil, membuat mereka bisa bicara dengan bebas. “Aku dan Ans belum si
“Siapa gadis tadi?” tanya Aruna yang penasaran karena Bumi pergi cukup lama.Mereka berada di mobil. Bumi dan Aruna baru saja mengantar Bintang pulang, lalu sekarang Aruna yang mengantar Bumi ke kafe.Bumi menoleh Aruna, tapi tak langsung menjawab pertanyaan wanita itu.“Kenapa diam? Dia yang kamu maksud ingin menjaga hati?” tanya Aruna menebak.“Ya, aku sudah berjanji kepadanya,” jawab Bumi singkat.Aruna pun mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban Bumi, hingga kemudian membalas, “Seleramu ternyata yang masih kecil.”Bumi melotot hingga langsung menoleh Aruna karena ledekan wanita itu.“Kenapa kaget? Iya benar, kan? Coba aku tanya berapa umur gadis itu?” tanya Aruna karena melihat Bumi malah menatapnya seperti itu.“Seharusnya dua puluh dua tahun,” jawab Bumi dengan polosnya.“Tuh, kan bener. Kamu saja hampir tiga puluh tahun, dia baru dua puluh dua. Pantas saja kamu ga pernah pacaran, ternyata nungguin yang kecil legal,” ledek Aruna lagi.Bumi langsung mencebik mendengar ledeka
“Aku sudah memikirkan sebuah rencana,” ucap Aruna saat menemui Ansel.Aruna memberanikan diri mendatangi rumah orang tua Ansel. Dia di sana tentunya disambut hangat oleh Ayana. Aruna dan Deon pun sekarang bicara di samping rumah.“Rencana apa?” tanya Ansel penasaran.“Aku menyadari jika kondisimu belum benar-benar sehat. Jika dipaksakan untuk menemui lalu menjelaskan ke Mommy, takutnya ada hal-hal yang tak diinginkan. Jadi aku ingin membuat Mommy membatalkan perjodohanku dulu, baru kemudian kita berusaha bersama-sama menjelaskan ke Mommy soal hubungan kita,” jawab Aruna menjelaskan.Aruna tahu jika keputusan atas ide yang diberikan Langit sangat mendadak. Dia juga tidak tahu apakah bisa berjodoh dengan Ansel, tapi rencananya ini bukan hanya untuk dirinya karena ada Bumi yang harusnya mendapat hak memilih juga.“Bagaimana caranya? Sebenarnya siapa yang dijodohkan denganmu? Bukankah lebih baik aku menemuinya lalu memintanya mundur agar lebih mudah?” tanya Ansel keheranan kenapa Aruna ta
“Apa kamu tidak merasa kalau sikap Aruna sedikit aneh?” tanya Bintang saat bicara berdua dengan suaminya di kamar. “Aneh bagaimana?” tanya Langit sambil melirik istrinya yang duduk di ranjang. Tentu saja Langit berpura tak tahu apa-apa agar Bintang tak curiga. Bintang menatap suaminya, terlihat kecemasan dalam tatapan matanya. “Ya, aneh saja. Dia waktu baru pulang, diajak belanja saja tidak mau, bahkan seharian lebih suka berada di kamar. Tapi sekarang dia sering sekali pergi, pagi pergi awal, sore pulang terlambat,” ucap Bintang mengemukakan keanehan yang dirasakan. “Aneh bagaimana? Menurutku malah normal kalau dia mau keluar entah nongkrong atau bertemu teman lama. Daripada dia terus murung di kamar,” balas Langit lantas naik ranjang dan duduk di samping Bintang. “Bukan seperti itu. Tapi aku merasa ada yang berbeda,” ucap Bintang lagi. “Berbeda bagaimana? Yang kulihat dia lebih ceria, apa pun alasan yang membuatnya senang, bukankah itu bagus. Setidaknya kita bisa kembali mend
“Nanti aku kabari lagi,” ucap Aruna sambil melepas seat belt.Ansel mengantar Aruna sampai di depan lobi setelah mereka makan siang.“Apa nanti sore kita bisa jalan sebentar?” tanya Ansel sebelum Aruna keluar dari mobil.Aruna terkejut mendengar pertanyaan Ansel, tapi tak mungkin menolak permintaan pria itu.“Tentu,” jawab Aruna sambil memulas senyum.Ansel pun terlihat senang mendengar jawaban Aruna. Semenjak mereka berbaikan, keduanya belum memiliki waktu berdua untuk membahas banyak hal.Aruna turun dari mobil. Dia berdiri sambil melambai ke Ansel, sebelum akhirnya masuk lobi.Ansel pun meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perusahaannya.Aruna berjalan menuju lift, hingga dia dikejutkan dengan suara Langit.“Masih belum melakukan yang daddy sarankan?”Aruna terkejut sampai memegangi dada melihat Langit yang tiba-tiba muncul di sampingnya.“Aku menunggu Ansel benar-benar pulih, Dad. Tidak mungkin aku membahas hubunganku dengan Ansel ke Mommy sendirian. Nanti terkesan Ansel seper