“Minumlah dulu,” ucap Ansel sambil memberikan sebotol air untuk Aruna. Aruna tak mau pergi dari rumah sakit, hingga akhirnya Ansel mengajak Aruna di taman yang ada di samping gedung rumah sakit. “Terima kasih,” ucap Aruna sambil menerima botol minum dari Ansel, lantas menenggak perlahan. Ansel sendiri tidak tega melihat Aruna yang seperti ini. Terlihat sedih, kosong, juga seperti putus asa. “Semua akan baik-baik saja, seperti yang kamu katakan kepadaku dulu,” ucap Ansel sambil menggenggam telapak tangan Aruna. Aruna diam memandang botol air mineral itu. Dia menyesal berdebat dengan Bintang, tapi juga kesal karena Bintang tak mau memahami perasaannya. “Aku tidak tahu lagi cara meyakinkan Mommy,” ucap Aruna setelah minum. “Mommymu sedang dalam kondisi syok, karena itu tak bisa diajak bicara dengan baik. Mungkin kita harus lebih bersabar lagi, takutnya jika terlalu memaksa, akan semakin membuat kondisi kesehatannya buruk,” balas Ansel agar Aruna tidak sedih. Aruna diam karena fru
“Papi, Oma Bintang marah, ya?” Emily sedang bersama Ansel di kamar. Gadis kecil itu pergi ke kamar ayahnya karena cemas dan takut dengan sikap Bintang siang tadi. Ansel menatap Emily yang sedang sedih. Dia pun berusaha tersenyum agar Emily tidak semakin merasa terbebani. “Papi juga belum tahu, tapi yang jelas Oma Bintang sedang sakit sekarang. Emi jangan merasa bersalah karena ini bukan salah Emi,” ucap Ansel menjelaskan. “Iya, tapi karena aku tidak jawab, Oma Bintang jadi pergi begitu saja. Bahkan wajah Oma Bintang seperti saat Papi atau Oma marah,” balas Emily yang benar-benar memperhatikan bagaimana ekspresi wajah Bintang. Ansel mengangkat tubuh Emily lantas mendudukkan di pangkuannya. “Sudah, Emi jangan terlalu memikirkan itu,” ucap Ansel mencoba menenangkan, meski dirinya sendiri pun gelisah dengan nasib hubungan antara dirinya dan Aruna. Emily memeluk Ansel, lantas berkata, “Semoga Oma Bintang tidak marah, biar Kakak Cantik bisa jadi mamiku.” Ansel hanya bisa mengamini s
“Kamu sudah menemui Mommy lagi?” tanya Ansel saat siang itu menemui Aruna. Aruna menggelengkan kepala, lantas mengguyar kasar rambut ke belakang. “Mommy tidak mau menemuiku. Jadi percuma jika aku ke sana,” ucap Aruna terlihat sangat sedih. Aruna mengaduk-aduk makanannya tanpa menyantap karena tak berselera memikirkan Bintang yang tak merestui hubungannya dengan Ansel. Ansel pun tidak bisa melihat Aruna seperti ini. Dia benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat Aruna bertengkar dengan Bintang. “Maaf, jika bukan karenaku, kamu dan mommymu tidak akan bertengkar,” ujar Ansel penuh penyesalan. Aruna langsung memandang Ansel saat mendengar ucapan pria itu. “Aku tidak bisa melihatmu sedih seperti ini, Runa. Jika bersamaku membuatmu sedih, lebih baik--” Apa yang ingin dikatakan Ansel terjeda karena dipotong cepat oleh Aruna. “Apa? Kamu mau bilang apa? Lebih baik kita berpisah, begitu? Jadi usahaku meyakinkan diriku sendiri untuk kembali menerimamu itu salah!” Aruna langsung meng
“Papi, sepertinya Oma Bintang benar-benar marah kepadaku,” ucap Emily mengadu karena tak mendapat balasan dari Bintang. Ansel baru saja menginjakkan kaki di rumah saat mendengar aduan putrinya itu. Dia pun bingung dengan maksud ucapan Emily. “Kenapa Emi bilang begitu? Berprasangka buruk ke orang itu tidak boleh,” ucap Ansel menasihati. Emily malah memanyunkan bibir mendengar ucapan Ansel, hingga ayahnya itu akhirnya menggendong lantas mengajaknya ke ruang keluarga. “Coba sini cerita, memangnya apa alasan Emi bilang begitu?” tanya Ansel memastikan meski yakin jika Bintang membenci Emily karena tak menyukai dirinya. Emily memandang Ansel sambil memainkan jemari, lantas menjawab, “Tadi itu, aku minta Bibi buat antar ke rumah sakit. Terus aku ketemu Opa Langit yang ngajak buat jenguk Oma Bintang, tapi aku ga mau. Aku takut kalau Oma Bintang marah terus tambah sakit.” Ansel pun sangat terkejut mendengar ucapan Emily. Dia tidak menyangka jika Emily pergi untuk menemui Bintang. “Kamu
“Daddy akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Daddy tidak akan membiarkan orang yang ingin mencelakaimu bebas begitu saja.” Pagi itu Langit meminta Aruna datang menemui di kantin rumah sakit. Aruna sendiri datang bersama Ansel. “Bisa-bisanya dia ingin mencelakaiku, padahal aku pun tak pernah menuntut perbuatannya kepadaku!” geram Aruna begitu emosi. “Maksudmu, kamu mabuk malah itu karena pria itu?” tanya Ansel penasaran. Aruna dan Langit menatap Ansel bersamaan, lantas Aruna menjelaskan. “Iya, benar. Dia kesal aku tidak mau menemaninya minum karena memang aku tidak bisa minum alkohol. Lalu dia mengerjaiku dengan mencampur alkohol di jus jerukku,” jawab Aruna menjelaskan. “Dia sudah berani mengerjai Runa, kemudian malah berniat mencelakainya. Tentu saja daddy tidak akan membiarkannya,” ucap Langit. “Daddy juga mendapat informasi jika adanya penurunan harga saham, juga jumlah penjualan produk mereka yang membuat perusahaan mengalami kerugian karena tak bisa mencapai target penjua
“Makan yang banyak, ya.” Aruna baru saja memotong-motong daging untuk Emily. Aruna dan Ansel memang sengaja menjemput Emily, lantas mengajak gadis kecil itu makan siang bersama. “Apa Oma Bintang sudah sehat?” tanya Emily sambil menatap Aruna yang duduk di sampingnya. “Sudah, Oma Bintang hari ini juga sudah boleh pulang,” jawab Aruna sambil terus mempertahankan senyum. “Syukurlah,” ucap Emily penuh kelegaan. Aruna sampai terkejut melihat Emily yang berucap syukur seperti orang dewasa. Dia melirik Ansel yang hanya mengedikkan bahu. “Papi. Minggu depan ada acara market day di sekolah, apa Papi bisa datang?” tanya Emily sambil menatap ke Ansel penuh harap. “Papi belum tahu. Apa harus datang?” tanya Ansel setelah menjawab dengan tak pasti. Emily langsung menunduk dengan wajah sedih mendengar jawaban Ansel. Dia yakin jika ayahnya takkan bisa datang ke acara itu seperti biasa. Aruna melihat Emily yang sedih. Dia memandang ke Ansel, lantas merangkul pundak Emily. “Kalau Papi tidak b
“Sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini, Bin?” Langit benar-benar sudah pusing menghadapi emosi Bintang yang benar-benar tak terduga. Bintang tak membalas ucapan suaminya. Dia hanya diam tanpa kata sambil duduk di tepian ranjang. “Aku tahu kamu sedih, kesal, dan marah. Tapi tidak bisakah sedikit saja kamu berusaha mengalah. Kita tidak tahu bagaimana nantinya masa depan Runa. Kita tidak tahu, apa rencana Tuhan untuk Runa. Jadi bisakah kamu sedikit saja menurunkan ego? Jika tak bisa menyukai Ansel, kamu hanya perlu membuat Runa bahagia? Kamu tidak ingat dulu juga pernah melakukan sama seperti Runa, menentang Papi demi mempertahanku yang begitu fatal menyakitimu.” Langit terus berusaha untuk membuat Bintang sedikit melunak. “Sekali saja pahami putrimu sendiri, Bin. Tak selamanya yang terlihat buruk itu buruk. Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya tak ingin keluarga kita terpecah. Apa kamu baru akan sadar saat Runa meninggalkan rumah ini?” Langit menatap Bintang yang masih d
Saat pagi hari. Bintang melakukan aktivitasnya seperti biasa di dapur menyiapkan sarapan bersama pembantu. Langit baru saja keluar kamar setelah bersiap-siap ke kantor. Dia berpapasan dengan Aruna yang juga sudah siap ke kantor. “Kamu sarapan dulu, kan?” tanya Langit untuk memastikan agar Aruna tak berangkat tanpa sarapan. Bukan apa-apa. Langit hanya tak ingin masalah antara Bintang dan Aruna semakin memburuk. Aruna terdiam sejenak mendengar pertanyaan Langit. Dia pun menganggukkan kepala. Keduanya berjalan menuju ruang makan sambil membahas soal pria yang menjadi dalang penyerangan Aruna. “Polisi sudah menangkap Gallen kemarin sore saat dia baru saja kembali dari luar negeri,” ucap Langit sambil berjalan. “Baguslah, pria brengsek seperti itu memang harus mendapat balasan. Dia pikir aku karyawan biasa yang sombong karena menolaknya. Dia pikir aku gampangan yang mudah dibujuk hanya dengan segelas minuman.” Aruna tersenyum miring mengejek pria itu. “Semoga dia mendapatkan hukuma