Aruna sudah bisa duduk. Dia dan Ansel duduk melihat berita tentang kasus sabotase dan penculikan Aruna. Manager Clay membuat klarifikasi soal perbuatan Clay. “Depresi? Dia bilang modelnya depresi? Mudah sekali berucap untuk lolos, sedangkan dia tak tahu ada hati yang sakit karena perbuatannya.” Aruna geram melihat berita yang mengatakan jika Clay mengalami depresi berat karena tekanan yang didapat setelah ayahnya meninggal sehingga melakukan tindakan yang tak terduga. “Bukankah seharusnya kita tak perlu terkejut jika ada pertanyaan seperti itu? Agensinya tentu tak mau ikut terseret ke dalam kasus Clay, karena itu mereka membuat pernyataan untuk menyelamatkan diri mereka, tanpa memikirkan perasaan korban,” ujar Ansel menjelaskan, lantas menoleh Aruna. Aruna masih menatap layar televisi. Dia tampak kesal karena bagaimanapun, sengaja atau tidak, Clay sudah membuat impian Aruna menimang bayi harus tertunda. Ansel meraih remote televisi, lantas mematikan benda elektronik itu. “Kenapa
“Jill.” Hanzel menatap Jill yang hanya diam saat dia bertanya. “Tidak, aku tidak sakit,” ucap Jill sambil memulas senyum. Hanzel masih menatap Jill seolah tak percaya dengan jawaban wanita itu. “Oh ya, kenapa kamu di sini. Kamu sakit?” tanya Jill untuk mengalihkan perhatian Hanzel. “Tidak, aku mau jenguk Runa,” jawab Hanzel. “Runa? Dia kenapa?” tanya Jill langsung berubah panik. “Dia kemarin hampir diculik, lalu mengalami kecelakaan dan sekarang masih dirawat karena luka yang didapat,” jawab Hanzel menjelaskan. Jill sangat terkejut hingga menutup mulut mendengar jawaban Hanzel. “Dia terluka parah?” tanya Jill langsung khawatir. “Aku juga belum lihat, ini baru mau jenguk. Kamu mau ikut?” tanya Hanzel menawari. Jill langsung mengangguk tanpa berpikir. Dia dan Hanzel pun akhirnya pergi untuk menjenguk Aruna. Di ruang inap Aruna. Ansel sedang menyuapi Aruna penuh perhatian. “Kapan aku bisa pulang?” tanya Aruna karena tak betah di rumah sakit, belum lagi dia mencemaskan Emily
“Cokelat.” Ansel memberikan secangkir cokelat untuk Aruna yang sedang duduk sendiri di balkon kamar mereka. Aruna mendongak mendengar suara Ansel. Dia lantas menerima cangkir berisi cokelat panas itu. “Terima kasih,” ucap Aruna sambil melebarkan senyum. Ansel duduk di kursi yang terdapat di samping Aruna, lantas menikmati kopi yang dibawanya. Aruna meniup pelan cokelat panasnya, lantas menyesap perlahan. “Di sini dingin, kenapa duduk di luar?” tanya Ansel sambil menoleh Aruna. Aruna baru saja menyesap cokelat panas. Dia menatap langit yang tampak gelap, lantas menoleh ke suaminya. “Duduk di sini terasa menyenangkan,” jawab Aruna lantas meletakkan cangkir di meja. “Masih memikirkan semua masalah yang menimpa keluarga kita?” tanya Ansel karena takut Aruna masih terbebani dengan segala kejadian yang menghampiri biduk rumah tangga mereka. Aruna terkejut mendengar pertanyaan Ansel. Dia hendak membalas, tapi suaminya itu sudah lebih dulu menggenggam telapak tangannya. “Maaf karena
“Ada apa memintaku datang kemari? Memangnya kamu tidak bisa mengatakannya dari telepon?” tanya Bumi keheranan karena Aruna memaksa dirinya datang siang itu. “Kamu ngeluh terus, tampaknya kamu memang tak tertarik mencari tahu soal Winnie,” balas Aruna kesal dengan sikap Bumi. Bumi terdiam mendengar balasan Aruna. Bukannya dia tak mau mencari tahu atau tak peduli, hanya saja Bumi merasa terabaikan karena Winnie sama sekali tak merespon pesannya. Aruna memperhatikan Bumi yang hanya diam. Dia pun menghela napas kasar lantas mencoba menjelaskan. “Winnie mengalami insiden di sana, Bum. Aku tidak tahu detailnya, tapi itu kata Kak Nanda,” ujar Aruna memberitahukan apa yang diketahui. Bumi tentu saja begitu terkejut mendengar ucapan Aruna hingga menatap sang sepupu dengan rasa tak percaya. “Insiden apa?” Bumi langsung terlihat mengkhawatirkan Winnie. “Aku tidak tahu. Kak Nanda hanya bilang kalau kakak dan ibunya Winnie menyusul ke sana karena Winnie dirawat di rumah sakit. Itu pun kejadi
“Mami, kapan Mami bisa antar sekolah lagi?” tanya Emily sambil menatap bayangan Aruna dari pantulan cermin. Aruna tersenyum sambil menyisir rambut Emily lantas menjawab, “Hari ini mami yang mengantarmu.” “Benarkah?” Emily terlihat sangat senang, bahkan dia tersenyum lebar. Aruna mengangguk-angguk, lantas menyelesaikan menyisir agar Emily siap ke sekolah. Aruna dan Emily pergi ke ruang makan, di sana sudah ada Ansel dan yang lain menunggu mereka. “Hari ini Mami mau antar ke sekolah, Oma.” Emily duduk di kursi sambil memberitahukan informasi yang membuatnya senang. “Benarkah?” Bintang langsung menatap Aruna setelah mendengar ucapan Emily. “Apa kamu yakin sudah bisa mengantar Emi?” tanya Ansel sambil menatap istrinya itu. “Aku tidak sendiri, nanti biar diantar sopir jadi aku tidak perlu menyetir,” jawab Aruna karena tahu akan kecemasan sang suami. Ansel mengangguk paham mendengar jawaban Aruna. Dia hanya tak ingin kalau istrinya kelelahan atau kenapa-napa lagi karena belum sepen
“Aku tadi bertemu Milea.” Aruna sengaja mendatangi kantor Hanzel sambil menunggu jam sekolah Emily selesai. Hanzel langsung menatap Aruna saat mendengar apa yang diucapkan sepupunya itu. “Kenapa harus melapor? Kamu ke sini hanya untuk mengatakan itu?” Hanzel mendadak berubah sikap karena Aruna membahas Milea. Aruna benar-benar penasaran, kenapa Hanzel selalu kesal tiap membahas Milea. “Tadi aku ngobrol sebentar dengannya, dia--” Apa yang ingin diucapkan Aruna dipotong cepat oleh Hanzel. “Sudahlah, kenapa harus membahas dia. Aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa pun. Aku juga tak mau mendengar namanya lagi,” ujar Hanzel memotong ucapan Aruna. “Sudah tidak ada? Berarti dulu ada? Apa karena dia pergi ke luar negeri, makanya tak ada hubungan lagi?” tanya Aruna menebak. Hanzel tak menjawab pertanyaan Aruna. Dia hanya menatap tajam ke sepupunya itu. Aruna sendiri tampak terkejut melihat tatapan Hanzel. Dia tak pernah melihat tatapan semengerikan itu dari mata sang adik sepupu yang
Hari itu Ansel menepati janji mengajak jalan-jalan Emily dan Aruna. Aruna dan Emily sudah bersiap-siap, memakai pakaian santai bermotif sama sehingga keduanya terlihat sangat menggemaskan. “Kami siap,” ucap Aruna saat menemui Ansel yang masih di kamar. Ansel menoleh dan melihat dua perempuan kesayangannya itu berpakaian kembar. “Dari mana datangnya ide memakai pakaian sama, hm?” tanya Ansel sambil mendekat ke Aruna dan Emily. “Mami,” jawab Emily sambil menunjuk ke Aruna. “Tentu saja aku,” jawab Aruna juga. “Sebagai ibu dan anak, kami harus kompak. Bukankah begitu, Emi?” Aruna mengajak Emily melakukan tos. Emily memberikan tos yang diinginkan sang mami, lantas tertawa menggemaskan. “Kalau begitu ayo kita berangkat,” ajak Ansel. Emily dan Aruna mengangguk. Emily menggandeng Ansel dan Aruna saat menuruni anak tangga, tak lupa mereka pamit ke Bintang dan Langit sebelum pergi. Sepanjang perjalanan, Emily menyanyikan lagu yang diajarkan di sekolah. Dia sangat senang karena akhirnya
“Bagaimana kondisi Winnie, Kak? Dia sudah dibawa pulang, kan?” tanya Aruna saat menemui kakak iparnya itu. “Duduklah dulu, kamu ini baru datang tapi langsung tanya,” protes Sashi karena sang adik tak sabaran. “Ya, kan aku hanya ingin tahu. Lebih cepat, lebih baik,” balas Aruna karena terkena teguran sang kakak. Sashi mencebik karena tingkah sang adik. Dia pun mengajak adik dan iparnya itu duduk untuk membahas Winnie. “Kamu tanya-tanya soal Winnie, apa karena Bumi?” tanya Sashi menebak karena tahu soal hubungan Winnie dan Bumi. Nanda sendiri terkejut istrinya tahu karena dirinya tak pernah tahu soal itu. “Iya, aku kasihan saja karena Bumi benar-benar mencintai Winnie, tapi mendadak Winnie tak bisa dihubungi,” jawab Aruna jujur ke sang kakak. “Jadi, bagaimana kondisinya? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Aruna sambil menatap sang kakak ipar. Nanda dan Sashi saling tatap sejenak, lantas menatap Aruna bersamaan. “Sebenarnya tidak baik,” jawab Sashi. “Kami tadi sudah ke sana karena