Zidan mengunjungi Alesya di rumah sakit dengan membawa sekotak makanan kesukaan Alesya dan seikat mawar putih. Begitu memasuki kamar, dia melihat Alesya yang tengah bahagia menggendong dan memberi ASI kepada bayinya yang baru keluar dari inkubator. Liam, duduk di sampingnya dengan tatapan penuh cinta dan bangga.Zidan menggigit bibirnya, hawa panas seketika menyeruak, berdesir tajam mengiris hatinya. Yang jelas tak bisa dijelaskan suasana hatinya saat ini. Apakah Zidan cemburu? Atau sedih melihat kebahagiaan mereka berdua?Namun, dia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Alesya dan Liam. Oleh karena itu, dia mencoba mengalihkan perasaannya dengan membuat candaan. "Wah, bayi-ku sudah keluar dari inkubator ya. Selamat sayang, bagaimana jika kamu di gendong Ayah, boy?""A-yah katamu?" tanya Liam kesal.Zidan mengangguk, "jauh sebelum kamu kemari kan aku sudah meminta izin kepada Alesya untuk menjadi ayahnya. Benarkan Ale?"Alesya mengangguk pelan, membenarkan ucapan Zidan. Sudut mata
Zidan berusaha menggoyahkan hati Alesya agar wanita itu tidak ikut bersama Liam. Dia ingin Alesya mandiri di atas kakinya sendiri. Dalamnya rasa sakit yang Alesya rasakan hanya Zidan yang tahu. Jadi karena itulah Zidan menghentikan Alesya."Zidan, kenapa kamu suka sekali mencampuri urusan Alesya. Aku suaminya, aku berhak memutuskan apa yang menurutku benar." Liam sangat kesal, meraih tangan Alesya dan ingin membawanya pergi jauh. Tiba tiba ....Srekh.Alesya melepas genggaman tangan Liam, segera mengambil sang buah hati dari gendongan Liam. Zidan melihat semuanya, ada rasa bahagia karena berhasil memenangkan Alesya."Ale, apa yang ….""Zidan benar, masalah harus dihadapi bukannya lari dari Bella, seperti pecundang saja."Liam menghela nafas berat, mengikis jarak dan mengatakan, “Bella itu psikopat yang bisa membunuh kita kapanpun dia mau." Liam melirik Zidan sesaat dan kembali berkata, "mengenai tes hasil DNA yang aku dapatkan itu …, setelah aku menelusuri dengan seksama, semua itu ad
"Nyonya sebaiknya Anda melihat rekaman CCTV Rumah Sakit," saran anak buah Bella. "Mari saya antar Nyonya."Bella berjalan kaki, bergegas menuju ruang pengawas di Rumah Sakit. Dalam hati, ia berharap dapat menemukan petunjuk tentang kepergian Alesya yang tiba-tiba menghilang. Ruang tersebut sudah di tutup oleh Bella.Hanya butuh waktu lima menit saja, Bella sudah duduk di depan beberapa monitor dengan banyak gambar dari berbagai sudut."Putar dari waktu semalam!" perintah Bella. "Baik Nyonya."Bella menyaksikan dengan seksama dari adanya liam, Marco bersama Alesya dan juga seorang lelaki yang tak dikenal. Lalu, Bella melihat Marco, sedang berbicara dengan seorang lelaki yang tak dikenal."Sepertinya wajah ini cukup familiar, Stuard. Apakah kamu mengenalnya?" tanya Bella pada Stuard namun, lelaki itu acuh tak acuh dan hanya sibuk menyeruput jus jeruknya. Rasa kesal dan marah memenuhi hati Bella."Stuard, sudah kubilang, aku butuh bantuanmu untuk mencari Alesya, tapi kau hanya sibuk den
"Pergi kataku. Pergi?!" teriak Alesya sekencang mungkin membuat bayinya kembali menangis.Oekh.Oekh."Cup cup sayang.""Maaf, maafkan mama ya sayang? Maaf."Bayi Alesya terus menangis hingga Alesya kesal. Dirinya juga lelah karena dari tadi pagi bayinya rewel, minta digendong terus. Liam melihat sang bayi, merasa tak tega. Melihat Alesya, semakin teriris. Meski kesal, Liam meraih sang bayi, mengambil paksa dari ibunya.Liam menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang, dia menopang kepala bayi yang mungil itu dengan hati-hati. Kedua tangannya merasa hangat saat memegang tubuh bayi yang lemah dan mungil itu. Liam merasa seolah-olah dia memiliki kekuatan super untuk melindungi bayi kecil itu dari segala bahaya yang mungkin mengintai. Meski baru pertama kali menggendong bayinya, Liam begitu cekatan dan terlihat seperti sudah ahli menggendong.Oekh.Oekh.Bayi itu masih menangis, tangisan yang menyayat hati Liam. Dia berusaha meredakan tangisan si kecil dengan cara mengayun-ayunkan tub
"Jangan pergi, Ale!" gumam Liam dengan mata tertutup. Alesya memandang pilu, merasa jika dia adalah wanita yang paling kejam di dunia ini. "Ale, jangan pergi lagi. Jangan tinggalkan aku!"Tangan Alesya yang bebas terulur untuk melepas tangan Liam. Setelah terlepas, Alesya segera berlari masuk kamar dan menguncinya."Maaf Liam.""Maafkan aku."Hiks, hiks.Alesya terduduk lemah di tepi ranjang kamarnya, tangisannya tersedu-sedu tak terkendali. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mengingat kalimat permohonan Liam yang begitu menyayat hati, "Tolong jangan pergi, Alesya. Aku mohon."Dalam hatinya, Alesya merasa dilema yang sangat mendalam. Di satu sisi, ia begitu terluka oleh sikap egois suaminya itu, tapi di sisi lain, ia juga tak ingin anak yang baru lahir itu kehilangan sosok ayah."Haruskah aku memaafkan Liam demi bayi kita?" gumam Alesya pelan, merasa begitu terbebani oleh keputusan yang harus ia ambil.Alesya mencoba mengusap air matanya dan menarik napas dalam-dalam, mencob
Bella merasa seperti disiram air panas, wajahnya memerah karena kemarahan yang memuncak. Anak buahnya yang berdiri di depannya dengan senyum sinis, telah mengolok-ngolok harga dirinya. "Jadi, kau bilang aku tidak punya harga diri?" tanya Bella dengan nada menggelegar.Anak buah tersebut tertawa kecil, "Itulah kenyataannya, Nyonya Bella. Seperti saat ini, Anda mencari Bos tanpa berpikir dua kali. Seperti boneka tanpa pendirian."Bella mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Dia mendekati anak buahnya tersebut, berdiri tegap di depannya, dan menatap mata anak buahnya yang sinis itu dengan tatapan tajam."Kalian semua yang buta!" ucap Bella sambil menunjuk-nunjuk anak buahnya. "Aku melakukan semua ini bukan karena tak punya harga diri, melainkan karena aku punya tujuan yang lebih besar! Tujuan yang tidak bisa kalian pahami!"Anak buahnya itu tertegun, tak menyangka bahwa Bella akan melawan balik. Bella menatap mereka satu per satu, memastikan bahwa mereka me
Malam hari.Alesya tampak gelisah, langkah kakinya bolak-balik di ruang tamu rumahnya, menantikan kedatangan sang ayah. Wajahnya pucat dan jelas terlihat kekhawatiran yang mendalam. Matanya menatap pintu utama, berharap segera melihat sosok ayah yang selalu ia sayangi itu muncul dengan selamat dan tanpa kekurangan apapun.Liam, melihat raut wajah istrinya yang ketakutan, berjalan mendekat, menepuk bahu Alesya dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya. "Ale, tenanglah. Ayah pasti baik-baik saja. Tenanglah, jangan terlalu khawatir," ucap Liam dengan suara lembut dan penuh kasih sayang.Alesya menoleh, menatap Liam dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tapi, Liam, aku takut ada yang terjadi pada ayah. Dia sudah terlambat beberapa jam dari waktu yang dijanjikan," gumam Alesya dengan suara yang bergetar.Liam menggenggam tangan Alesya erat, mencoba memberikan kekuatan dan dukungan pada istrinya. "Percayalah, Ayah pasti segera sampai. Mungkin ada hal yang membuatnya te
"Liam, aku juga mengandung anakmu, mengapa kamu lebih memperhatikan Alesya dan bayinya?" tanyanya dengan suara yang keras.Liam, yang sedang duduk di sofa sambil memeluk Alesya, terkejut dan melepaskan pelukannya. "Apa maksudmu, Bella?" tanyanya dengan nada yang seolah olah terkejut, berusaha menutupi diri dari kenyataan bahwa dia mengetahui kehamilan Bella itu.Alesya sendiri menatap Liam, mencari penilaian terhadap sikap apa yang akan dilakukan Liam jika dihadapkan dengan dua kasus yang sama. Dan pada akhirnya salah satu diantara mereka akan mundur dari sisi Liam. Meski Alesya mengetahui kehamilan Bella, dia juga berpura pura tidak tahu."Aku ingin hak yang sama, Liam. Aku ingin kau kembali ke kota bersamaku dan menafkahi aku yang sedang hamil ini," ujar Bella dengan tegas. "Aku tak mau diperlakukan seperti ini lagi."Liam menatap Bella dengan tatapan yang bingung. Alesya, yang juga terkejut, menggenggam tangannya sendiri erat-erat. "Jadi, kamu juga hamil, Bella? Apakah dia juga ana