Sungguh aku sangat bersyukur atas segala nikmat dan rezeki yang Allah berikan padaku secara bertubi-tubi. Memang benar janji-Nya, jika Dia tidak akan mengambil seseorang dari hidup kita tanpa menggantinya dengan yang lebih baik, begitupun yang kurasakan kini, Allah memutus jodohku dengan mas Jazirah dan keluarga, namun Dia dengan murah memberikan gantinya dengan mempertemukanku dengan keluarga baik seperi Bu Rosmalia.=====================================================Saat mentari belum beranjak dari peraduannya, aku memutuskan untuk membangunkan kedua putraku dari tidur lelap mereka. Kubimbing anak-ananku untuk membuka mata dan mengajak mereka untuk menunaikan kewajiban dua rakaat bagi seorang muslim. Selepas sholat subuh langsung kuajak mereka untuk jalan pagi berkeliling desa.Kami menelusuri jalan-jalan disekitar desa yang sudah hampir tujuh tahun ini ku tinggali. Suasana saat ini masih agak gelap, namun sudah cukup ramai orang-orang berlalu lalang di jalan, mungkin karena s
“Oh begitu ya, Bu, wah asik yah, walaupun enggak pakai uang, kita tetap bisa bersedekah,” ungkap Langit kesenangan.“Iya, dong. Yuk jalannya agak cepat, kan kita mau membantu om Rriza membuat gerobak untuk ibu dagang,”“Ayo, Bu, ayo! Langit mau sedekah dengan membantu om Riza bikin gerobak,” kata Langit semangat, seraya berlari-lari kecil agar segera sampai rumah bu Rosmalia.“Bumi juga mau!!” seru Bumi berusaha mengejar kakaknya yang sudah lebih dulu berlari, membuatku tersenyum melihat tingkah kedua putraku.“Hati-hati, jalan aja, Langit, Bumi!” seruku menghentikan mereka yang berlari kesenangan.=====================================================Setibanya di rumah bu Rosmalia, aku langsung ke dapur untuk membuat sarapan, kali ini aku hanya membuat nasi goreng bawang tanpa kecap, kemudian dicampur telur orak arik. Belanjaan yang tadi kubeli dipasar akan kumasak untuk makan siang dan malam.Selesai sarapan, ternyata Mas Riza sudah menungguku di halaman depan untuk membeli bahan-
Adzan dzuhur berkumandang tepat saat kami menyelesaikan makan siang, segera mereka bewudhu secara bergantian, kemudian bersiap-siap untuk melaksanakan sholat dzuhur berjama’ah. Sedangkan aku yang baru saja kedatangan tamu bulanan, melanjutkan aktivitas membereskan meja makan dan mencuci piring.“Gi, bisa minta tolong buatkan saya kopi?” suara Mas Riza yang tiba-tiba membuatku terkejut hingga menjatuhkan gelas yang tengah kupegang, hingga menimbulkan suara gaduh.“Kamu kenapa, Gi? Riza! Kamu apain Gianira, sih?”=====================================================Pov RizaUdara yang panas di luar cukup membuat pekerjaanku terganggu, aku masih memaku dan membuat beberapa pola agar gerobak untuk Gianira berjualan bisa jadi dengan sempurna. Jangan tanya mengapa aku bisa menawarkan diri untuk membantunya membuat gerobak, semua ini adalah ide ibuku. Entah mengapa beliau berbaik hati sekali dalam membantu wanita beranak dua itu. Mungkin karena ada persamaan nasib yang mereka alami, sehingg
“Pokoknya nanti pas mbak Gia sudah resmi bercerai, Rima mau ajak dia ke salon untuk merawat dirinya, biar nyesel tuh Jazirah berokokok!”“Anak kecil sok tau dasar!!” godaku, membuat bibir Rima mengkrucut, lucu sekali.“Awas aja kalau nanti mbak Gia sudah perawatan dan kecantikannya yang selama ini tertutupi beneran bersinar, jangan nyesel lho! Rima mau jodohin mbak Gia sama dosen Rima yang masih muda, bye!!” Rima beranjak meninggalkanku yang masih mencerna ucapan terakhirnya. Apa katanya tadi? Dia mau menjodohkan Gianira dengan dosennya? Alamak!! Mengapa feelingku mendadak tidak enak, ya?!=====================================================Aku mengejar Rima hingga ke dalam kamarnya, entah mengapa sepertinya aku kemakan candaan satu-satunya adik yang kumiliki tersebut. Bukan, bukan karena aku cemburu, hanya saja … aku juga tidak mengerti dengan yang tengah kurasakan. Aku sangat mencintai almarhum istriku, ibunya Tiara, hanya dialah wanita yang mampu mengisi ruang kosong dihatiku,
Setelah dirasa pembicaraan selesai, Gianira memutuskan untuk undur diri dari kami, membuat hatiku sedikit tenang karena dia tidak akan jadi pusat perhatian lagi bagi Dhanis. Namun baru saja aku bernafas lega, tiba-tiba suara yang keluar dari mulut Dhanis membuatku mendadak ingin pingsan.“Rim, saya setuju di jodohkan dengan Gianira!” ucap Adhanis yang disambut senyuman lebar dari mulut adikku.=====================================================Entah perasaan apa yang tengah menimpaku, sehingga ucapan yang baru saja temanku katakan mampu membuat seluruh persendianku lemas, kepala rasanya berputar dan timbul gejolak dari perut menuju kerongkonganku. Mengapa semua terlihat seperti menjadi pertanda jika semesta mendukung adikku menjodohkan mereka sih? Apa semulus ini jalan cintanya Gianira dengan Adhanis? Ah entahlah, kurasa ini hanyalah sebuah kebetulan semata.Aku menenggak habis minuman dingin yang Gianira suguhkan tadi, tidak kusisakan setetespun, tenggorkanku benar-benar kering. R
Hingga tiba-tiba ada getaran yang kurasakan bersumber dari kantong celanaku, rupanya ponselku berdering, nama Rima Cantik terpampang di layar ponselku, jangan tanya siapa yang memberikan nama tersebut, karena sudah pasti jawabannya adalah dia sendiri yang menyimpan nomernya dengan nama itu di ponselku. Cekatan aku menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan dari adik perempuanku yang beberapa hari ini membuatku marah. Baru saja aku ingin menumpahkan kekesalanku, tiba-tiba Rima lebih dulu berujar membuat aku kehilangan kata-kata. =====================================================Aku segera memacu kendaraan roda duaku dengan perasaan kesal setengah mati, orang yang aku tunggu-tunggu di parkiran pasar hingga berpuluh menit, nyatanya sedang menikmati makan siangnya di rumah makan Bumbu Dapur. Rima tadi menelpon karena ingin menanyakan apa aku, ibu dan anak-anak mau nitip makanan juga untuk dimakan di rumah atau tidak. Tergesa aku terus melajukan motorku hingga tiba di parkiran ru
Aku pamit untuk makan di halaman belakang kepada Bu Rosmalia, yang kemudian ternyata Tiara juga ingin ikut denganku. Segera ku bimbing mereka untuk keluar dari ruang makan, namun saat aku belum sampai menghilang dari ruang makan, suara Mas Riza kembali terdengar mengatakan hal yang menyakitkan.“Makanya jangan sok ikut campur urusan orang lain!! Kamu tuh cuma bantu-bantu di rumah ini, enggak usah berlagak jadi nyonya besar!!” sentaknya keras, membuat air mataku mendadak jatuh setetes demi setetes. Ternyata rasanya sesakit ini.=====================================================POV AuthorSemua orang terkejut dengan kalimat yang baru saja Riza lontarkan, kemudian memandang penuh rasa iba ke arah Gianira yang masih berdiri mematung di depan pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang. Tubuh kurusnya bergetar, menandakan jika dia sedang menangis. Berbalik badan, Gianira yang sudah berlinang air mata perlahan menghampiri Riza yang masih duduk tenang di kursi makan. Pandanga
“Gi, minumnya mana?” ucap Riza lagi, membuat lagi-lagi Gianira menghentikan langkahnya.Sambil menarik nafas dan membuangnya dengan perlahan, Gianira kembali masuk dapur dan menyiapkan minuman untuk Riza. “Gi, temenin makan dong!” sekuat tenaga Riza menahan malu saat mengatakan hal tersebut, membuat Gianira melongo dibuatnya.=====================================================Aku tercenung mendengar ucapan konyol yang Mas Riza ucapkan, setelah dia menyakitiku dengan ucapan kasarnya, kini dengan seenaknya dia memintaku untuk menemaninya makan mie instan, malam-malam pula. Aku memilih untuk tidak menanggapi permintaan Mas Riza dan beranjak untuk pergi meninggalkannya sendiri, namun lagi-lagi suara bariton miliknya menginterupsi langkahku.“Gi, kamu enggak mau nemenin saya?” astaga, orang ini habis nelan apa sih? Kok otaknya jadi geser gini.“Saya harus tidur, Mas, besok saya harus bangun dini hari untuk memasak bubur buat jualan,” tolakku tegas, berharap dia bisa melepaskanku untu