Kapokmu Kapan, Mas? (30)Mbok Mina yang melihat perubahan sikapku, lantas bertanya, "Ada apa, Bu?"Aku tak mampu menjawab tanyanya. Hanya kusodorkan kertas pesan dari Ira kepadanya. Mbok Mina menerimanya dengan ragu-ragu."Astaghfirullah ... apa ini benar, Bu?" tanyanya.Aku mengangguk, lalu menggeleng. Air mataku keluar begitu saja. Tubuhku rasanya tidak bertulang menerima kenyataan ini."Kalau ini benar, Ibu harus segera pergi dari sini, Bu!"Aku tak menjawab perkataan Mbok Mina."Bu!" Mbok Mina kembali menegurku dengan sedikit meninggikan suara. Cara itu berhasil mengembalikan kesadaranku."Ya, Mbok?" Aku balik bertanya."Ibu harus pergi dari sini secepatnya, Bu! Mumpung Bapak tidak di rumah."Ah, ya, benar kata Mbok Mina. Ini kesempatanku mumpung Bang Robi sedang tidak di rumah.Tiba-tiba saja aku jadi bertenaga. Aku langsung berjalan menuju kamar untuk melakukan persiapan. Ya, aku harus pergi dengan persiapan matang. Tidak boleh pergi begitu saja tanpa membawa apa pun. Minimal, a
Kapokmu Kapan, Mas? (30b)Astaghfirullah ... hidup atau mati?"Bu ...."Aku tak mampu menjawab panggilan Mbok Mina sampai akhirnya sentuhan di bahuku mengembalikan kesadaranku. Saat menoleh, Mas Wisnu mengisyaratkan agar aku kembali menjawab telepon dari ibunya."Ya, Mbok?""Ibu tenang aja di situ, ya! Insya Allah di situ aman. Wisnu akan jagain Ibu."Aku menoleh pada Mas Wisnu. Dia memberikan sebuah anggukan mantap sebagai jawaban. Melihat itu hatiku seperti menemukan ketenangan.Aku kembali fokus dengan perbincangan bersama Mbok Mina. Lagi-lagi, Mbok Mina menasehatiku dengan banyak hal. Benar-benar aku merasakan kehadiran seorang Ibu dari sosoknya.Perbincangan kami harus diakhiri karena Bang Robi sudah kembali lagi ke rumah setelah pergi tadi kata Mbok Mina. Walaupun masih banyak yang ingin kubicarakan, aku harus menurut. Jangan sampai Bang Robi tahu tentang persekongkolanku dengan Mbok Mina.Tiga hari berlalu sejak kepergianku dari rumah. Selama itu juga aku terus berhubungan deng
Kapokmu Kapan, Mas? (31)Entah apa yang menjadi pemicu ledakan itu. Aku sama sekali sedang tidak menyalakan kompor. Aneh juga mengapa api dengan sangat cepat merambat.Mukena yang kugunakan mulai dijalari api. Begitu juga dengan tubuh wanita itu yang sudah mulai dipenuhi api. Kami berhenti bergelut dan sibuk menepuk-nepuk tubuh untuk meredakan nyala api.Sayangnya usaha kami sia-sia. Ledakan lain terdengar. Kemudian api semakin menyambar ke arah kami. Kami semakin dikelilingi api dalam sekejap.Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan sekarang?Aku diliputi ketakutan. Tak henti aku berdoa dalam hati. Berharap ada pertolongan di saat seperti ini.Lalu, tiba-tiba aku teringat untuk segera melepas mukena yang kugunakan. Meski sulit, aku akhirnya berhasil melakukannya. Tak kuhiraukan panas di wajahku yang terkena api dari mukena yang terbakar. Aku harus bisa keluar dari rumah Mbok Mina kalau tidak mau mati terbakar.Wanita tadi kulihat sudah menggelepar di lantai. Api memenuhi tubuhnya. Se
Kapokmu Kapan, Mas? (31b)Setiap hari, Emak dan Nining telaten merawat tubuh dan luka-luka di sekujur tubuhku. Mereka menempelkan ramuan-ramuan entah apa di wajah dan beberapa bagian tubuhku yang luka bakarnya paling parah. Entah bagaimana rupaku, Emak dan Nining tak pernah menyinggungnya. Bahkan, ketika aku bertanya, mereka sengaja mengalihkan pembicaraan.Setelah dua minggu dalam perawatan Emak dan Nining, aku merasakan banyak perubahan. Tubuhku yang biasanya panas menusuk hingga ke tulang, mulai berangsur normal. Begitu juga dengan wajahku, hal sama kurasakan. Aku juga sudah bisa bangun dari tempat tidur meski belum mampu untuk berjalan.Emak dan Nining dengan sabar merawatku. Mereka bahkan tak jijik membersihkan kotoran di tubuhku. Mereka ikhlas melakukan itu semua tanpa pamrih dan peduli siapa aku. Aku merasa terharu. Allah masih mempertemukanku dengan orang-orang baik seperti mereka.Setelah satu bulan, aku benar-benar merasa sudah pulih meski masih sedikit merasakan sakit di be
Kapokmu Kapan, Mas? (32)Tekadku sudah bulat. Aku harus membalas perbuatan Bang Robi!Aku sadar, balas dendam dengan keadaan seperti yang kualami sekarang ini bisa dibilang mustahil. Tanpa sepeser pun uang. Terlebih dengan kondisi fisik yang sudah tak sempurna.Namun, tekadku sudah kuat. Aku tidak akan mundur. Aku akan tetap membalaskan dendam ini bagaimana pun caranya.Berhari-hari aku merenung. Berbagai cara dan langkah kupikirkan dengan matang. Rencana balas dendam ini harus berhasil walau tanpa modal. Aku yakin aku pasti bisa!Akhirnya aku mempunyai ide. Aku akan menghancurkan Bang Robi lewat pekerjaannya. Untuk itu, aku membutuhkan persiapan yang matang.Mula-mula, aku meminta Nining mengajariku teknik make-up artis yang dia kuasai. Syukurlah, aku yang sudah mempunyai sedikit dasar pengetahuan akan itu lebih mudah untuk memahami apa yang diajarkannya. Hanya butuh waktu tiga hari, aku sudah bisa merias wajahku sesuai yang kuinginkan. Aku bahkan bisa menduplikat wajahku mirip denga
Kapokmu Kapan, Mas? (33)Kukumpulkan semua informasi tentang Bang Robi dari menguping pembicaraan karyawan kantor saat aku sedang menjalankan pekerjaan. Bang Robi begini. Bang Robi begitu. Semua kucatat dalam ingatan. Rupanya tak terlalu banyak perubahan pada diri Bang Robi selepas tiga bulan kami tak bersama.Bulan pertama aku bekerja di kantor Bang Robi, aku belum juga bisa mencari celah untuk masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerja Bang Robi selama ini hanya boleh dimasuki orang-orang tertentu. Bahkan, office boy atau cleaning servisnya pun ada orang khusus. Jadi, ya, wajar bila aku agak kesulitan menjamah tempat itu. Terlebih, aku adalah karyawan baru di perusahaan itu.Satu bulan kerja di kota, aku sudah dua kali pulang ke rumah Emak. Beliau dan Nining selalu menelepon menanyakan kabar. Hal itu membuatku merasa tersentuh dan ingin cepat-cepat bertemu mereka setiap libur tiba. Kebetulan, setiap dua minggu sekali aku diberi jatah libur tiga hari. Jadi aku memanfaatkannya untuk melepas
Kapokmu Kapan, Mas? (34)Aku benar-benar penasaran dengan acara di masjid sorenya itu. Jadi, setelah selesai makan, aku segera pamit pulang. Aku ingin bersiap-siap untuk melakukan pengintaian lebih lanjut."Terima kasih banyak, Bu. Saya pamit dulu," ucapku saat Kak Elfa mengantar sampai depan pintu."Hati-hati, ya, Mbak.""Iya, Bu. Permisi."Aku berlalu dari rumah itu dengan perasaan tak menentu.Dari sana, aku langsung pulang ke indekos. Aku segera mengganti penampilan untuk melakukan pengintaian selanjutnya. Kalau benar apa yang kuduga tentang Bang Robi dan Miska, aku akan memberi pelajaran untuk mereka saat itu juga!Aku berganti pakaian dan riasan. Lantas bergegas menuju masjid yang letaknya tak jauh dari rumahku tadi. Aku yakin acara yang Kak Elfa maksud adalah di masjid itu. Sebelum pulang, aku sempat melihat beberapa orang sibuk memasang tiang-tiang tenda.Aku sampai di masjid tepat saat azan Ashar berkumandang. Karena aku sedang berhalangan, aku menunggu di luar masjid sambil
Kapokmu Kapan, Mas? (35)Ira. Betul itu Ira! Aku yakin seratus persen bahwa wanita yang sedang berjalan berbelok ke arah toilet bioskop itu Ira."Pak, saya izin ke toilet sebentar, boleh, kan? Bapak antri sendiri dulu, gak papa, kan, Pak?" Aku bertanya ragu-ragu pada Pak Arsyad.Berkali-kali aku membuang pandang pada arah kepergian Ira dengan cemas. Ini kesempatan emasku. Tidak boleh aku sia-siakan begitu saja!"Boleh, dong, Ning. Silakan aja, saya tunggu di sini, ya. Atau nanti kalau udah selesai antri, saya tunggu depan toilet. Biar gak ilang." Seperti biasa, Pak Arsyad selalu melontarkan senyum ramahnya setiap kali berbicara denganku."Iya, Pak. Permisi."Aku langsung berjalan cepat menuju toilet bioskop tempat tadi kulihat Ira memasukinya. Semoga saja aku tidak bersisian dengannya.Aku langsung masuk ke toilet dan mendapati tempat itu penuh sesak oleh beberapa wanita yang sedang mengantre bilik toilet di dalam ruangan itu. Tak kulihat Ira di antara orang-orang yang sedang mengantr