Share

Bab 2. Bertemu Arman

Sejak menerima persetujuanku, ibu merasa sangat senang. Ia seperti anak kecil yang menjuarai sesuatu. Senyum sumringah selalu menempel di wajahnya. Dengan semangat ia menyiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan laki-laki yang akan dijodohkan denganku itu.

Perasaan ibu bertolak belakang denganku. Aku merasa begitu tidak berdaya karena aku tidak diijinkan menentukan jalan hidupku sendiri. Namun, apa yang bisa aku katakan lagi. Mereka benar. Aku hanya seorang perawan tua yang hidup masih menumpangi ibuku. Aku, hanya tamatan SMA. Masalah biaya, menjadi alasan aku tidak melanjutkan pendidikanku. Karena itu, aku bekerja siang malam untuk membantu orang tuaku membiayai pendidikan adik-adikku. Keadaan semakin sulit saat ayahku tiada.

"Assalamualaikum!"

Aku mendengar dari kamarku ada yang memberi salam. Itu seperti suara Paman Surya.

"Waalaikumsalam," aku mendengar suara ibuku. "Silakan masuk!"

Jantungku berdebar kencang. Hatiku merasa sangat tidak nyaman. Ingin rasanya menghilang saat ini. Aku mendengar suara derap langkah ibu. Kemudian ia mengetuk pintu kamarku.

Tok! Tok! Tok!

"Yun! Mereka sudah datang," beritahu ibu dengan berbisik.

Dengan hati berat, aku membuka pintu kamar. Ibu memindai penampilanku dari atas sampai bawah. Ia tersenyum puas melihatku.

"Tolong kamu bawakan minum untuk mereka. Buat lima gelas termasuk untuk kamu juga!" perintah ibu padaku. Aku hanya mengangguk pelan. Jantungku sudah berdetak tak beraturan saat ini. Yang bisa aku lakukan hanya menuruti keinginan ibu.

Aku datang ke ruang tamu kami dengan membawa nampan yang berisi lima gelas teh hangat dan satu piring cemilan yang dibuat ibuku tadi pagi.

Dengan canggung aku menghidangkan isi nampan ke atas meja. Dengan sudut mataku, aku dapat mengetahui berpasang-pasang mata menatapku.

Setelah semua yang ku bawa terhidang, aku pun menyimpan nampan di bawah meja dan duduk di samping ibuku.

Ibu menyentuh pahaku dan tersenyum padaku.

"Yun, perkenalkan ini Arman, laki-laki yang akan dijodohkan denganmu," ucap ibuku lembut.

Laki-laki yang bernama Arman itu mengulurkan tangannya seraya tersenyum ramah. Aku menyambut uluran tangannya, lalu kami pun bersalaman seraya menyebut nama masing-masing.

"Arman!"

"Yuni!"

"Bagaimana pendapat kamu tentang Yuni, Arman?" Paman Surya langsung menanyai Arman dengan gamblang. Aku sempat mencuri pandang dengan Arman. Aku menebak usia Arman pastilah beberapa tahun diatasku. Itu terlihat dari wajahnya. Kulitnya sawo matang dan tubuhnya tidak kurus juga tidak gemuk. Ia termasuk tegap untuk ukuran laki-laki seusianya.

Arman tersipu malu. Ia terus menatapku. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Aku mengalihkan pandanganku dengan menunduk, untuk menghindari tatapannya yang menghujam padaku.

"Ternyata Yuni lebih cantik saat dilihat langsung, bang!" puji Arman padaku tanpa melepaskan tatapannya dariku.

Aku tersedak dan terbatuk. Rasa canggung menguasaiku. Segera aku mengambil gelas tehku dan meminumnya.

Paman Surya dan ibu tertawa mendengar jawaban Arman.

"Bagus! Bagus! Jadi apa kamu yakin untuk memperistri keponakan Abang, Man?" tanya paman Surya.

Aku mendongak menatap padanya. Mengapa dia tidak memberikan pertanyaan itu padaku? Tidak pentingkah pendapatku? Pikirku sedih.

"Aku yakin, bang. Aku siap membawa orang tuaku ke sini untuk melamar Yuni. Betul kan, bang?!" Arman melihat ke arah temannya yang dari tadi diam.

"Kalau saya ikut kata Arman saja. Karena dia yang akan menjalankan pernikahan ini kelak dengan Yuni," ucap laki-laki itu.

Paman Surya dan ibu saling pandang dengan senyum puas.

"Yuni," ibu memanggilku lembut. "Menurutmu, kapan sebaiknya kalian melangsungkan pernikahan?"

Hatiku sedih saat ibu menanyakan pertanyaan itu. Bukankah seharusnya ibu mempertanyakan kesediaanku dulu? Namun membantah ibu saat ini hanya akan menambah masalah. Sudah dapat dipastikan aku akan menjadi pihak yang dipojokkan tanpa peduli apa yang aku rasakan. Akhirnya aku hanya bisa bersikap pasrah.

"Yuni terserah ibu dan Paman Surya saja," jawabku lirih dengan nada lesu. Ungkapan perasaanku sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Mereka semua tersenyum bahagia saat aku mengucapkan kesediaanku.

"Kamu dengar sendiri, Man? Keponakan Abang bersedia menerima pinanganmu. Kapan kamu bawa orang tua kamu ke sini untuk meminang secara resmi?" tanya Paman Surya pada Arman.

"Secepatnya, bang!" jawab Arman dengan wajah sumringah. "Paling lambat minggu depan aku bawa orang tuaku, bang!" janji Arman.

Paman Surya mengangguk-angguk puas.

"Alhamdulillah, semua berjalan lancar ya, kak?" ucap Paman Surya pada ibu. Ibu tersenyum menanggapinya. "Mudah-mudahan rencana pernikahan Yuni bisa berjalan lancar. Jika Yuni sudah menikah, barulah aku merasa tenang, kak! Sudah lunas rasanya utangku sama bang Samsul," ucap Paman Surya menyebut nama ayahku.

Ini membuatku teringat kembali pada ayah. Seandainya ayah masih hidup, mungkin aku bisa berbagi kesedihan dan kekecewaanku dengannya.

"Iya, Sur. Kakak juga merasa lega. Sekarang Yuni sudah ada yang jaga. Bukan begitu, nak Arman?" ibu beralih pada Arman.

"Iya, Bu. Saya janji akan menjaga Yuni hingga akhir ayat saya. Saya akan membahagiakannya. Saya tidak mau pernikahan kedua saya gagal lagi seperti yang sebelumnya. Tapi saya yakin, Yuni wanita baik dan sholehah," ucap Arman meyakinkan ibuku.

Aku hanya diam tidak menanggapi mereka. Toh, tidak ada yang mendengar pendapatku. Aku memilih untuk belajar ikhlas menerima takdirku bersama Arman kelak. Mudah-mudahan pernikahan yang bahagia memang akan menjadi milikku.

***

Seminggu kemudian orang tua Arman betul-betul datang meminangku sekaligus mengadakan acara pertunangan. Meskipun acaranya sederhana dan hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat, namun raut wajah bahagi terpancar di wajah mereka semua, kecuali aku.

Aku duduk terpekur di kamarku menunggu acara tukar cincin yang dilakukan oleh orang tua Arman dengan keluargaku. Raut wajahku tampak lelah dan sedih. Rani, adik bungsuku masuk ke kamarku dan duduk di sampingku. Ia menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Perlahan wajah Rani memerah, kemudian air mata mengalir dari sudut matanya. Ia menunduk menyembunyikan tangisnya.

"Kenapa kamu menangis, Ran?" tanyaku.

"Aku minta maaf, kak. Gara-gara aku, ibu mendesak kakak menerima pinangan laki-laki itu. Aku tahu, hati kakak berat menerima pernikahan ini," ungkap Rani masih dengan kepala yang tertunduk.

Aku termangu. Aku pikir tidak ada yang memikirkan perasaanku. Ternyata adik bungsuku mampu memahami aku, meskipun ia tidak bisa berbuat apa-apa, sama seperti ku. Namun, ini sudah cukup mengobati luka hatiku. Aku kemudian memeluknya erat.

"Tidak apa, Ran. Kamu doakan saja kakak agar kakak bahagia di pernikahan ini," pintaku.

"Iya, kak. Pasti aku mendoakan kakak," ucap adikku di bahuku. "Jika seandainya pernikahan ini tidak lancar, kakak jangan pendam sendiri. Datang padaku, kak. Jadikan aku tempat kakak berkeluh kesah," sambungnya.

Aku tersenyum. Rani memang adik yang paling dekat denganku. Sebenarnya ia tidak ingin mendesak ibu untuk menikahkan aku, tapi desakan calon suaminya lah yang membuatnya terpaksa melakukan itu. Itu juga yang membuatnya semakin bersalah padaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status