Share

Bagian 5

Safwan tercekat, menatap nanar rumah yang bagai tak berpenghuni itu. Sejenak ia terpaku, sebelum akhirnya tersadar dan tergesa menuju sepeda motornya kembali.

"Ada apa, Wan?" Pipit--tetangga tepat samping rumah menyapa.

"Mmm ... tahu mereka pada ke mana, Kak?" Safwan bertanya khawatir.

"Lho, kamu belum tahu? Bukannya tadi mengantar istrimu mau melahirkan?"

"Kemana, Kak?" Laki-laki itu panik. Apa yang terjadi pada Arlina? Jantungnya berdegup kencang. Takut sesuatu yang buruk terjadi.

"Bagaimana, sih? Istri melahirkan, suami tidak tahu." Bukannya menjawab, perempuan tambun itu justru berucap yang membuat panas telinga Safwan. Padahal dia sedang butuh informasi.

"Kakak tahu Arlina dibawa kemana?" tanyanya tidak sabar.

"Ya ke rumah sakitlah. Masa ke pasar. Tadi kabarnya pingsan beberapa kali. Jadi Mak Yati minta tolong suami saya mengantar ke rumah sakit."

Pingsan? Safwan terhenyak. Bagai hilang logika, seketika laki-laki itu men-starter sepeda motornya lalu menarik tuas gas hingga full. Menuju rumah sakit daerah, ia melesat di antara ramainya pengguna jalan, abai pada umpatan karena dianggap begundal yang bisa mencelakakan.

Berkali-kali laki-laki itu mengusap kasar matanya yang berembun. Pikirannya hanya satu, Arlina. Ketakutan merajai hatinya. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi.

"Maafkan, abang, Sayang," lirihnya berulang kali.

"Abang mohon kuatlah. Kuat, Sayang," pintanya sepanjang perjalanan.

Memasuki pelataran rumah sakit, Safwan memarkirkan sepeda motornya sembarang. Tidak peduli sedikitpun pada area itu terdapat simbol huruf P disilang. Ia tidak sempat melihat sekitar. Kuda besi itu ditinggalkan begitu saja. Berlari kencang, ia menuju bagian UGD.

Seperti hilang akal, laki-laki itu berlari panik mengitari setiap bed, mencari sosok sang istri yang sangat dikhawatirkannya. Namun, nihil. Kemana Arlina? Safwan gemetar. Cemas membalut sukma.

"Pak ... Pak, cari siapa?" Pertanyaan dari perawat yang sejatinya sudah dilontarkan sejak tadi dan mengikuti kemana arah kakinya, baru terdengar.

"Istri saya," sahutnya cemas. Napasnya tersengal.

"Istri, Bapak, siapa?"

"Ngngng ... tadi, Arlina, mau melahirkan, pingsan." Kalimat yang meluncur terbata-bata. Tidak tertata dengan baik.

"Ibu Arlina?"

"Iya."

"Memang benar tadi ada pasien yang mau melahirkan atas nama, Bu Arlina, Pak. Tapi beliau sudah dirujuk."

"Rujuk?"

"Iya."

"Memangnya kenapa harus rujuk? Kemana?"

"Bapak ke Nurse Station saja, ya. Biar dijelaskan dokter."

Laki-laki itu mengangguk, bergegas menuju tempat yang dimaksud perawat dan meminta informasi dari dokter atas kondisi istrinya.

"Kondisi Ibu Arlina tidak baik, Pak. Demikian juga bayi yang di kandungannya, denyut jantungnya sangat lemah. Kami merekomendasikan beliau untuk menjalani sectio. Akan tetapi, dokter kandungan kita sedang dinas luar ke Kuala Lumpur. Jadi Ibu Arlina kami rujuk," papar dokter cukup melemaskan otot-otot Safwan. Seketika tulang belulangnya serasa luruh mendengar anak dan istrinya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Ya Allah ....

Serta merta air matanya lolos. Ia tergugu, menyesali telah terlambat membawa belahan jiwanya itu ke rumah sakit karena harus mencari pinjaman dana. Sementara tabungan sang istri, dia berikan kepada Lesti yang dengan sengaja tidak mau membayar padahal mampu.

Bagaimana jika ....

Ah, dia tidak mampu membayangkan. Begitu saja terucap pengharapan buruk dari hatinya untuk perempuan itu. Sebab dia telah zalim.

Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman, (HR Bukhari).

"Rujuk kemana, Dok?" tanyanya pilu.

"Kami arahkan ke Sanggau, Pak. Karena kalau ke Pontianak lebih jauh. Kita khawatir kondisi Bu Arlina dan janinnya. Beliau harus segera mendapat pertolongan medis."

"Tadi berangkatnya bagaimana, Dok?"

"Diantar ambulans."

"Apa sudah lama?"

"Sekitar setengah jam yang lalu."

"Baik, Dok. Terima kasih informasinya."

"Sama-sama."

Safwan meninggalkan ruang UGD, bergegas menuju tempat di mana tadi ia meninggalkan sepeda motornya. Bibirnya merutuk ketika benda itu tidak ditemukan. Sebelum satpam menyampaikan bahwa juru parkir telah memindahkannya pada tempat seharusnya.

Laki-laki itu mengarahkan kendaraannya menuju pulang, menyiapkan sedikit keperluan secepat yang dia bisa, mampir mengisi minyak kendaraan, lalu kembali menarik tuas gas hingga full.

Keselamatan pribadi sama sekali tak lagi ia pikirkan. Yang membayang hanya wajah lemah Arlina saat tadi dia tinggalkan, juga kalimat dokter saat di UGD tadi. Hatinya nelangsa.

Meski pandangan kabur oleh kabut yang menyungkup netra, tuas gas tak juga laki-laki itu kendurkan.

"Bertahanlah, Sayang. Abang mohon," lirihnya tak henti.

"Ijinkan aku memeluk istriku lebih lama, ya Allah. Ijinkan kami bersama hingga tua, membesarkan putra-putri kami berdua," pintanya berselang-seling.

Suara klakson terus menggema, menemani sepanjang perjalanan Safwan. Jarinya tak henti menekan tombol suara itu, meminta jalan kepada setiap pengendara. Meski balasan yang dia terima dibarengi umpatan, tak sedikitpun membuatnya berniat melemahkan tarikan gas.

Dua jam terlewati, Safwan tiba di gerbang rumah sakit daerah Sanggau. Segera saja dia menuju UGD, menanyakan informasi tentang Arlina pada personil di sana.

"Ibu Arlina sudah dibawa ke ruang kebidanan untuk tindakan persiapan operasi," terang perawat yang ada di sana.

"Di mana ruangannya, Sus?" Safwan bertanya cemas.

"Bapak keluar ruangan ini melalui pintu itu, kemudian belok kanan. Nanti ada plang penunjuk arah. Ikuti saja."

"Terima kasih." Safwan berlari menuju arah yang ditunjuk perawat, membaca penunjuk arah, bertanya pada siapa saja yang ditemui.

Belum sampai pada ruangan yang dicari, sebuah brankar didorong menuju arahnya berada. Dua orang yang mengekor petugas medis dari belakang sangat ia kenal. Artinya yang terbaring di atas brankar itu pasti Arlina.

Laki-laki itu mencelos. Lututnya lemah. Ia bagai terkunci ketika brankar itu melewatinya.

Kedua wanita yang mengekor di belakang menatapnya dengan raut cemas. Air mata tumpah pada masing-masing pipi mereka. Wanita yang lebih tua menyusut air mata ketika mendekati Safwan.

"Ridhai Arlina ya, Wan," pintanya serak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status