Safwan menyusut air mata mengantar tubuh Arlina yang didorong masuk ke ruang operasi. Hatinya luruh.
"Abang ridho atasmu, Sayang. Berjanjilah kamu akan kuat. Berjuanglah," lirihnya sambil mencium wajah pucat yang terpejam.
Beberapa lama ia terpaku di ruang tunggu bedah central, kemudian memutuskan keluar.
"Saya ke sana dulu, Mak," pamitnya pada ibu mertua yang duduk di kursi lorong rumah sakit tidak jauh dari ruang bedah. Perempuan senja itu tampak tak henti mengusap pipi. Bibirnya selalu bergetar, melirihkan berbait doa untuk keselamatan putri bungsu tercinta.
"Ya," sahutnya sambil mengangguk lemah.
Safwan melangkah gontai, netranya menatap plang penunjuk arah. Yang dia cari adalah musholla. Ia butuh bicara kepada Sang Pencipta, meminta agar Arlina baik-baik saja. Tidak dapat ia bayangkan jika wanita itu harus pergi. Hatinya tidak sanggup. Kondisi sang istri dan buah cinta mereka sedang tidak baik-baik saja, dan doa adalah salah satu cara untuk mengubah takdir itu.
Sepanjang kaki menapak mencari tempat yang dituju, air mata terus menguntai di pipinya. Tak sedikitpun ia berniat untuk mengeringkan. Isak yang menjadi pusat perhatian orang sekitar, ia biarkan begitu adanya.
Safwan membasuh wajah, juga organ tubuh yang lain. Sedikit sejuk dan tentram ia dapatkan.
Setelahnya, ia khusyuk dalam sujud panjang, menyampaikan hajat pada Sang Pemilik jiwa.
"Selamatkan Arlina, Ya Allah." Sesenggukan ia meminta. Tidak banyak kata yang sanggup laki-laki itu luahkan. Namun, dia percaya Allah tahu maunya.
Safwan menghentikan munajatnya ketika ponsel jadul yang dia letakkan di samping kakinya bergetar. Nama Kak Arni muncul di layar, kakak pertama Arlina yang sedang menunggu di depan ruang operasi bersama Mak Yati.
Gegas, dengan jantung berdetak kencang karena khawatir terjadi sesuatu, Safwan meraih benda itu dan menekan tombol hijau.
"Safwan, anakmu telah lahir." Suara dari seberang bergetar.
"Alhamdulillah," lirihnya menyambut, "Bagaimana Arlina, Kak?"
"Arlina masih di dalam. Dokter ingin bicara tentang anakmu," sahut Arni.
Jantung Safwan kembali berdegup kencang. Perasaannya kacau. Cemas segera merajai hati. Gegas ia beranjak dan setengah berlari kembali ke ruang operasi. Sepanjang perjalanan, beribu pikiran buruk melintas.
"Jangan, Ya Robb. Jangan terjadi," lirihnya menepis ketakutan yang membayangi.
Di depan ruang operasi, Arni berdiri tegang menyambut. Sedangkan Mak Yati luruh bersandar di kursi dengan air mata yang membanjir.
Safwan menatap dengan rasa tak karuan. Ia panik.
"Ada apa, Kak?" tanyanya cemas. Antara tak sabar dan takut untuk mengetahui apa yang terjadi.
Arni menyusut sudut netra, "Dokter ingin bicara," ucapnya.
"Anak saya mana, Kak?" tanyanya di luar apa yang disampaikan Arni.
"Sudah dibawa bidan."
Safwan menatap curiga, tetapi enggan menelisik lebih jauh. Ia melangkah takut menuju ruang di mana tadi ia bicara dengan dokter.
Di tempat yang sama, tetapi dokter berbeda yang menyambut.
"Suami Bu Arlina?" Dokter ini menyapa tak kalah ramah. Safwan mengangguk. Cemas masih bertahan di hatinya. Entah apa yang akan disampaikan dokter, hal itu benar-benar membuatnya takut. Bagaimana jika kabar buruk? Ia tak sanggup menerima.
"Mohon maaf, Pak. Kami telah berusaha, tetapi putri Bapak terlalu banyak meminum air ketuban sehingga menghambat saluran pernapasan. Dia telah tiada beberapa saat sebelum lahir."
Safwan terhenyak. Sendi-sendinya lemas.
"Istri saya bagaimana, Dok?"
"Istri Bapak masih dalam penanganan. Secara umum, hasil analisa kondisinya baik. Entah mengapa keadaannya lemah. Saya tidak tahu apakah ada beban psikologis yang mengganggu pikiran beliau. Apalagi dengan melihat kondisi janin yang diduga stres dalam kandungan. Yang pasti Ibu sangat butuh dukungan."
"Tapi istri saya akan baik-baik saja 'kan, Dok?"
"Insya Allah. Mohon bantu dengan doa. Tim dokter akan berusaha yang terbaik."
Safwan mengusap wajah kasar. Tentu Arlina stres memikirkan persalinannya. Arlina tipe wanita yang tidak bisa melupakan suatu masalah. Sekecil apapun akan dipikirkannya dalam-dalam.
Apalagi sejak gagal menagih utang untuk pertama kali, wanita itu memporsir tenaga dengan berjualan kue lebih banyak. Tidak hanya dititipkan ke warung atau diposting di sosial media, tetapi juga dijajakan berkeliling. Akan tetapi, dewi fortuna belum berpihak. Jajanan itu banyak yang kembali.
Sedangkan penghasilan Safwan, sering kali dibawah lima puluh ribu. Sebab itu, BPJS menunggak dan Arlina tidak pernah bisa memeriksakan kehamilan ke dokter. Dia masih mengikuti posyandu, tetapi hanya sebatas pemeriksaan biasa. Tidak melakukan USG.
Penghasilan Safwan hanya cukup makan secara sederhana. Yang penting kenyang. Tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi dengan baik. Pun beberapa uang yang ada, habis untuk modal kue yang tidak laku.
"Anak saya ...."
"Perawat sudah membawanya. Silakan Bapak urus di ruang jenazah untuk kepulangannya."
"Innalilahi w* innailaihi rojiun."
Safwan bersandar lemah di kursi.
Allahu.
Hatinya remuk. Bagaimana dia akan menyampaikan hal ini kepada Arlina? Bagaimana jika Arlina tidak mampu menerima, padahal kondisinya masih lemah?
"Maafkan ayah, Nak. Maafkan Abang, Dek." Laki-laki itu sesenggukan.
"Sabar, Pak." Dokter menepuk simpati pundak Safwan. Laki-laki itu mengangguk lemah.
"Terima kasih, Dokter. Saya permisi," ucapnya lalu beranjak keluar. Kakinya bagai tak bertenaga menopang tubuh. Berpaut sebentar pada dinding, ia menumpahkan sedih dan sesal yang tak berkesudahan.
"Maafkan ayah, Nak ...." ucapnya kembali seraya terisak pilu.
***
"Pa, kok, mama lemas, ya?" Lesti mengurut dahi, meredakan sedikit pusing yang tiba-tiba mendera. Mereka baru saja tiba dari perayaan anniversary yang mengesankan.
"Habis makan enak, kok, lemes?" goda Yusuf sambil tertawa kecil. Ia membuka pintu mobil. Kemudian berlalu begitu saja masuk ke rumah, tidak peduli pada Lesti yang tersandar lemas di kursi sampingnya.
Lesti mengekor lemah di belakang, demikian juga Alif. Merasakan kondisinya baik-baik saja, perempuan itu justru meminta gawai Yusuf. Tidak sabar memilah foto yang tadi mereka ambil untuk di upload di sosial media.
"Nanti saja papa kirim," elak Yusuf ketika tangannya hendak meraih benda persegi panjang itu.
"Jangan kirim semua, ram hp mama gak cukup. Sini mama pilih saja."
"Nanti saja, belum juga masuk rumah. Tidak sabaran sekali. Buat apa, sih?"
"Iiih, papa kenapa, sih? Aneh." Lesti mendengkus.
"Hp papa lowbat, dicas dulu."
"Itu nyala?"
"Iya. Tapi baterainya lemah. Nanti cepat rusak kalau tidak segera dicas."
Dahi Lesti berkerut. Alisnya bertaut mendapati reaksi Yusuf yang tak biasa. Kemarin-kemarin tidak masalah dia memakai gawai suaminya itu kapan saja, bahkan saat baterainya hanya tersisa lima persen.
Safwan melangkah gontai, beberapa kali ia mengusap wajah dengan gusar, mengusir kabut yang menyungkup netra.Kakinya terasa berat terangkat ketika memasuki area kamar jenazah. Ia mencelos saat menatap salah satu bed, satu tubuh mungil ditutup selimut putih terbujur kaku di sana. Laki-laki itu mendekat perlahan. Sontak ia tergugu."Bangun, Nak," lirihnya, "Ayah bahkan belum mendengar kamu menangis. Menangislah yang kencang, ayah tidak akan marah. Jangan diam saja."Laki-laki itu menelungkupkan wajah di samping tubuh beku yang baru saja hadir ke dunia itu. Tubuhnya berguncang. Isaknya pilu meratapi buah hati yang belum sempat melihat indahnya dunia itu. Hatinya remuk. Jiwanya nelangsa.Setelah cukup lama menangis, ia menguatkan diri mengangkat wajah. Tangannya bergetar membuka kain yang menyelimuti buah hatinya itu.Seraut wajah mungil nan damai menyambut ketika kain itu tera
Yusuf terus berkelit ketika Lesti berusaha meraih ponsel pintarnya, "Papa mau ke kamar mandi, kebelet sejak tadi," ucapnya dan begitu saja ia gegas berlalu."Masa ke kamar mandi bawa hp?" Lesti merengut kesal. Namun, Yusuf tidak memedulikan."Tuh lihat, baterainya sudah merah begini," ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.Ia menyodorkan benda pipih persegi panjang itu pada Lesti, "Kalau dipakai pas baterai lemah, nanti cepat rusak," dalihnya."Heleh, Papa setiap triwulan juga tukar hp yang baru. Rusak pun tidak apa dan tidak akan seberapa.""Gak triwulan lagi sekarang, Ma. Caturwulan.""Beda satu bulan saja. Sinikan hp-nya. Mama pinjam."Yusuf mengulurkan gawai berbentuk persegi panjangnya itu, pun dengan sedikit kesal. Lesti kalau sudah maunya, tidak akan bisa ditahan.Sambil menyandar di pucuk r
"Ingat kata dokter. Mama jangan capek, jangan banyak pikiran," ujar Yusuf. Pagi ini dia mengenakan seragam pemda kebesarannya. Sebenarnya penampilannya sudah rapi. Namun, ia masih mematut diri di depan cermin. Tangannya masih sibuk menarik ulur bagian baju yang tampak kurang rapi, atau menyisir rambut untuk yang kesekian kali.Baju yang Yusuf kenakan press membungkus tubuh, menampilkan gurat ototnya yang atletis. Lengan baju yang menempel ketat, memperlihatkan bentukan otot tangan yang kekar. Pria itu benar-benar terlihat sangat macho di usianya yang matang.Sifat Yusuf yang mudah bergaul, supel dan luwes menambah nilai plus sosoknya di mata para rekan kerja, baik pria maupun wanita.Dia pun pandai berkelakar, hangat saat mengajar. Sehingga sampai saat ini, meskipun sudah menjabat sebagai kepala sekolah, Yusuf tetap menjadi guru idola para siswa.Hanya satu nilai negatif yang
Dada Lesti bergemuruh ketika mendapati Iriana menyambut Yusuf sembari tersenyum lebar. Meskipun dalam jarak beberapa meter, terlihat sekali perempuan itu begitu semringah. Sudut bibirnya terangkat sempurna, menampakkan giginya yang putih. Napas Lesti memburu. Iriana adalah teman yang sama bobroknya dengan dirinya. Sama-sama di-drop out saat kuliah. Bahkan lebih buruk karena tidak bisa mengontrol diri. Dia sering menghabiskan malam bersama pacarnya hingga hamil. Memasuki usia 20 tahun, perempuan itu menikah. Namun, tidak berselang lama rumah tangganya kandas. Selama ini kehidupan Iriana cukup memprihatinkan. Sebagai teman dekat, Lesti selalu ada. Tak segan ia membantu dalam hal finansial. Memberikan uang secara percuma dengan basa basi untuk jajan Kirana, putri Iriana. Sejauh itu ia berbuat untuk sahabatnya, begini balasan yang ia terima?Lesti memegang dada, merasakan nyeri yang tiba-tiba mendera di sana. Ia terkulai lemas di atas sepeda motor, menelungkup pada stang. Napasnya memb
Safwan memapah Arlina turun dari ambulans, lalu membantunya berjalan masuk ke rumah Mak Yati. Mereka baru saja tiba dari rumah sakit."Aku bisa sendiri," ucap Arlina keras kepala sambil menepis tangan Safwan. Namun, lelaki itu bersikeras. Ia khawatir wanita itu terjatuh. Apalagi ketika dilihatnya istrinya berjalan masih terbungkuk-bungkuk karena menahan sakitnya akibat luka bekas caesar."Diamlah, Dek. Abang bantu. Kamu masih kepayahan," ucap Safwan sabar. Dia sadar kesalahannya fatal. Jadi harus banyak-banyak bersabar. Arlina terpaksa menurut."Di mana, Mak?" tanya Safwan ketika sampai di dalam. Ia bertanya ke mana kamar yang akan ditempati Arlina."Di sini, Safwan. Sudah kakak bersihkan." Arni yang menjawab. Selama mereka di rumah sakit, Arni sudah membersihkan rumah Mak Yati yang berantakan saat ditinggal."Iya, Kak," sahut Safwan. Ia mengiring Arlina masuk, membantu Arlina duduk dan berbaring di atas kasur kapuk yang ada di kamar."Abang akan datang setiap hari," ujarnya lembut pa
Sementara itu di kediaman Kirana."Saya terima nikahnya dan dan kawinnya Kirana Lestari Binti Iriana dengan mas kawin sebuah rumah, dibayar tunai."Kemudian seruan sah dari Iriana, juga dua orang saksi yang Yusuf undang menggema. Pernikahan siri yang diwalikan hakim itu terjadi. Lesti yang memaksa hadir, menangis tergugu. Hatinya tersaruk-saruk, pilu. Dia benar-benar tidak menyangka lelaki yang dikiranya mencintainya sungguh-sungguh itu mendua. Bahkan memilih perempuan yang pantas menjadi putrinya, perempuan yang adalah anak sahabatnya sendiri, dan itu menambah luka menjadi berlipat-lipat pedihnya.Napas Lesti tergeragap akibat isak, ia meremas-remas dadanya yang sesak. Kehidupan royal yang menjadi faktor Iriana, sahabat yang sangat dipercayanya mengkhianatinya. Dia benar-benar tidak menyangka. Padahal untuk tetap bisa royal, tak jarang dia harus meminjam.Jika menurutkan rasa sakit, ingin perempuan itu melaporkan perilaku Yusuf yang sangat tidak terpuji itu kepada dinas pendidikan
Safwan turun dari sepeda motornya dengan langkah lebar. Panas menguasai hatinya. Napasnya memburu. Rahangnya mengeras. Rautnya merah padam. Dengan tangan menggenggam kencang, ia mendekat menuju pintu rumah Lesti."Kak!" serunya lantang. Tangannya sontak menggedor pintu dengan keras. Kekesalan yang yang terlalu lama dipendam, memang akan menimbulkan ledakan dahsyat apabila sudah mencapai limitnya. Ia sudah lama bersabar terhadap kakak angkatnya itu. Bagaimana pun perlakuan Lesti yang tidak pernah menyukainya, ia selalu diam. Selalu kasih sayang yang ia tawarkan. Selalu rasa percaya yang ia punya. Dia berikan pinjaman kepada sang kakak dengan penuh rasa percaya, tetapi khianat yang ia dapat. Begitu salahkah dia dengan segala sikap percayanya? Bukankah yang berhutang yang seharusnya tahu diri? Berpikir bahwa yang dipinjam itu harus dikembalikan. Si pengutang harusnya menjaga kepercayaan penuh yang orang berikan. Hati Safwan sudah cukup perih atas kepergian Safna, juga kesedihan Arl
Sepeninggal Safwan, Yusuf masuk ke rumahnya dengan raut kesal. Langkahnya lebar sedikit menghentak."Ma!" serunya lantang bahkan masih beberapa langkah sebelum tiba di muka pintu. "Hmm ...," sahut Lesti malas. Sejak tahu perselingkuhan Yusuf dan Kirana, ia nyaris tidak peduli dengan suaminya itu. Satu-satunya alasan dia bertahan di rumah itu adalah nafkah lahir dan anak-anak mereka. "Selesaikan urusan Mama dengan saudara Mama itu. Jangan libatkan papa! Puyeng tahu, gak?" ucapnya lantang. "Papa berikan uangnya, maka mama selesaikan urusannya. Gampang," sahut Lesti santai."Mengapa papa? Mama yang pinjam?""Tapi Papa yang suruh.""Iya. Waktu itu tunjangan sertifikasi belum cair. Gaji tiga belas tunda. Tapi begitu cair, semua Mama yang pegang, mengapa tidak dibayarkan?""Siapa yang suruh menunda? Katanya mau ganti AC di kamar, kurang dingin. Terus untuk makan-makan, merayakan anniversary.""Apa habis bersih? 'Kan bisa kasih sedikit, tidak perlu lunas?""Sebagian mama tabungkan. Cadan