Mobil bergerak meninggalkan lokasi rapat dengan perlahan. Kulirik kaca spion yang lelaki malang itu berdiri dengan tatapan nanar seolah belum merelakan kepergianku. Mengapa ia lebih memilih menyusahkan hidupnya demi mengejar apa yang sudah hilang dibanding menata apa yang sudah ada.Kuhela napas lalu mengalihkan tatapan pada pria yang sedang mengemudi dengan rahang mengetat dan ekspresi kemarahan yang nampak jelas."Mas ..." Ia hanya menjawab panggilanku dengar gumaman."Aku ... tidak ingin apa yang terjadi barusan terulang lagi," ucapku lirih."Apa maksudmu, kau pikir aku akan suka jika itu terjadi?""Bukan begitu, aku hanya tak mau kau dengan mudah terpancing emosi. Apalagi sampai mengeluarkan senjata hanya karena diprovokasi olehnya.""Jadi, aku harus diam saja ketika istriku digoda mantan suaminya?""Tidak begitu ....""Lalu?" Ia menatapku tajam."Mungkin dia sengaja memancing emosimu untuk mempermalukanmu. Mungkin dia sengaja memprovokasi agar kau bertindak diluar nalar dan ora
Dua Tahun sebelumnya."Assalamualaikum, bisa saya bertemu Mbak sakinah?" tanya wanita berwajah sendu dan dari sudut matanya meluncur air matanya."Ada, tapi masih tidur," jawabku yang saat itu sedang membaca koran online di rumah tamu."Saya Kartika tetangga yang berada diujung jalan, saya mengenal beliau dari Ibu Joko, katanya beliau cari tukang cuci," ujarnya pelan tapi tetap mengusap sudut mata."Iya, betul, tapi, Anda siapa?"tanya siapa."Saya Kartika," jawabnya."Kenapa menangis?""Saya putus asa Pak, saya tidak punya pekerjaan, anak anak saya ingin makan dan saya putus asa.""Oh, kalo begitu akan saya panggilkan Sakinah," balasku sambil beranjak ke dalam.Masih kulihat dari balik kaca jendela bahwa wanita yang berparas cukup ayu khas wanita jawa itu mengusap wajahnya dengan lengan baju, meski dasternya sedikit lusuh tapi sesungguhnya ketika tayapan mata kami bertemu ia membuatku hatiku sedikit bergetar.Entah mengapa ada rasa ingin melindunginya meski aku tak tahu mengapa aku
Pagi menjelang dengan cahaya mentari mengintip dari celah jendela, menjatuhkan sinarnya tepat di wajahku. Dengan menggeliat pelan aku membuka mata dan mendapatkan Kartika sedang duduk terdiam di sisiku."Ada apa?" tanyaku yag aneh melihatnya diam aja memeluk kakinya sendiri."Aku takut, Mas, aku khawatir, Mbak sakinah tahu lalu akan terjadi petaka," bisiknya pelan."Jangan khawatir, Kartika," kataku sambil bangkit lalu memeluknya."Bagaimana kalo Mbak sakinah datang dan menemukan kamu di sini?" "Aku sudah menelponnya dan beralasan bahwa semalam aku kebagia jatah piket di markas," bisikku sambil mencium daun telinganya."Bagaimana kalo Mbak sakinah melihat mobilnya Mas di depan rumahku sepagi ini?""Aku gak pake mobil, aku pake sepeda," balasku yang lalu bangkit, mengenakan pakaian dan mencuci muka di kamar mandinya.*Setelah selesai aku kembali ke kamar dan melihat Kartika sudah mengenakan gaun terusan tidur dengan rambut tergerai sedang membuka jendela.Kuhampiri, lalu kupeluk dan
"Datang dan duduklah kemari aku ingin bicara dengan kalian sebagai keluarga," ucap mas Didit kepadaku dan bela agar kami mendekat dan duduk di ruang keluarga bersamanya."Ada apa, Mas?" tanyaku ketika duduk di dekatnya."Begini, Aku ingin membicarakan hal yang kemarin kemarin belum sempat aku bahas dengan kalian. Aku ingin meluruskan ketidak harmonisan dari hubungan ibu tiri dan anaknya," ujar Mas Didit."Ibu tiri dan anak?" tanya Bella sambil mengangkat alisnya sebelah."Iya, lantas kau sebut apa hubungan ini? papa menikahi dia bukan hanya untuk mencari teman hidup dan bermesra-mesraan, tapi papa sepakat dengan yang untuk membangun rumah tangga agar kami bisa menghabiskan sisa waktu sekaligus melangkah ke arah lebih baik bersama anak-anak yang kami cintai," ujar Mas Didit dengan tatapan penuh kasih pada anaknya sedang Bella hanya mengalihkan tatapan ke arah lain."Adakah hal yang sudah mengusikmu, Bella?""Tidak ada.""Lalu ... Entah mengapa Papa merasa bahwa kamu seolah-olah tidak s
Karena merasa sudah demikian gelisah dengan apa yang terjadi kuputuskan untuk mencari Mas Didit dan menyusulnya.Tapi aga bingung juga, karena setelah mengaktifkan GPS ternyata layanan lokasi hp suamiku dimatikan sehingga aku tak tahu dia di mana."Ya, Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa." Aku membatin sambil mondar mandir gelisah."Kalo Mama merasa tidak tenang, sebaiknya susul aja.""Mama gak tahu harus menyusul kemana," jawabku pelan."Aku harap Om Didit gak berbuat sembrono, bagaimana pun ....""Memangnya tadi Om Didit bawa apa?" tanyaku sambil meraih bahu Imel."Senjata.""Astaghfirullah ...." Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Di sisi lain aku juga yakin bahwa suamiku tak akan semudah ini melakukan hal nekat yang akan merusak karier dan reputasinya, pasti ia hanya ingin menggertak saja. Tapi tandingannya adalah Mas Yadi, tidak akan semudah itu menakuti dan mengancamnya. Dia juga sudah terbiasa dengan aksi tembak menembak di daerah konflik dan peperangan luar negeri. Justru
Gadis itu terkejut dan air matanya seketika tumpah begitu saja. Ia tak mungkin tak mengira bahwa Mas Didit akan memukulnya seperti ini."Apakah kau berencana ingin menjalin hubungan dengan Suryadi?" Tanya mas Didit sambil mencengkeram jemari tangannya ditambah raut wajah yang begitu murka.Gadis itu hanya diam dan menunduk pelan."Katakan, hei!" Mas Didit maju untuk menjambak anaknya namun aku menghalanginya karena kasihan dengan gadis itu. Ia hanya gadis remaja yang dibodohi oleh mantan suamiku."Mengapa kau bungkam? apakah kebungkamanmu adalah pengakuanmu?"Tidak ada jawaban, namun air matanya terus menetes dan jatuh di atas punggung tangannya sendiri."Uhm, biar aku yang bicara pada Bella, Mas keluar aja ya," pintaku sambil berusaha memeluk dan mengajaknya keluar."Aku benar-benar kehilangan kesabaran denganmu Bella, aku benar-benar marah saat ini!""Tolong, Mas, kalau Mas terus berusaha untuk menyakitinya, akan semakin sulit mengajaknya bicara, aku mohon, ya Mas."Semua mendesak
Dua hari setelah kejadian, Mas Didit memarahi bella, gadis itu demam, hingga tak bisa keluar dari rumah untuk melakukan kegiatannya. Aku bisa mengawasinya sementara.Hari ini kamu ada kunjungan ke beberapa TK yang dibawahi oleh organisasi Bhayangkari, jadi aku akan pergi ke sana selaku wakil ketua organisasi Ibu ibu polisi untuk memeriksa kelengkapan sarana sekolah dan mencatatnya."Kamu kelihatan cantik, Sayang," bisik suamiku ketika aku sudah rapi lengkap dengan setelan seragam pink, rambut yang disanggul sederhana dan perhiasan mutiara melengkapi penampilan ini."Iya, dong, Mas. Masak istrinya Mas Didit jelek sih?" ucapku sambil mencuil pipinya."Aku hanya takut, orang yang menatap akan terpesona," gumamnya sambil mencium dan memelukku dari belakang."Aku tidak penting dengan penglihatan orang lain, yang penting adalah kamu bisa bahagia melihat istrimu sendiri," jawabku."Kamu yabg terbaik," ucapnya sambil mendekatkan wajah dan mendaratkan ungkapan cintanya.*"Mama harus pergi, ya
Aku kembali ke rumah dengan hati yang sudah kesal adanya. Aku menyesalkan sekali mengapa tak meningkatkan kewaspadaan sebelum ini. Aku lupa bahwa Mas Yadi bisa berbuat apa saja untuk mempermalukan dan membuat hidupku sulit.Dengan menaiki taksi aku meluncur kembali ke rumah,satu tangan memegang ponsel dan satu lagi memegang sepatuku yang sudah hilang sebelahnya karena menyangkut di mobil Suryadi.Turun dari taksi dan masuk ke halaman rumah ternyata suamiku sedang dudu di kursi teras dan terlihat baru sampai di rumah."Kenapa wajahmu? Dan mana sepatumu?" tanyanya heran."Aku lemparkan ke wajah Suryadi," ujarku sambil mendengkus kesal."Hah? yang benar kamu, Sayang?""Benaran?""Ya ampun, terus bagaimana reaksi dia?""Ya, marah," jawabku sambil duduk di bangku di sebelahnya."Untung dia gak berbuat lebih jauh untuk menyakitimu, Sakinah," gummanya pelan."Aku ingin pindah saja, Mas. Aku ingin pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kita saja," ajakku pada suamiku yang seketika tersenyum