Bukan Pernikahan Impian---Semua tamu dan keluarga sudah pulang, rumah orang tua Risa, yang sekarang sudah menjadi mertuaku kembali sepi."Risa, ini anak kamu, dari tadi rewel. Padahal sudah diberi susu," ucap ibu mertua. Beliau kemudian masuk dengan menggendong bayi mungil yang sedang menangis."Bang, gendonglah sebentar, dia sekarang kan anakmu juga. Aku mau ganti baju," ucap Risa.Tanpa menunggu persetujuanku, Risa memberikan bayi itu ke pangkuanku, kemudian dia berlalu."Cup cup cup, dede lapar ya?"Aku berusaha menenangkannya dengan memberi susu yang ada di botol sambil menimang-nimang dan mengajaknya berbicara. Perlahan, bayi mungil itu mulai tenang hingga akhirnya tertidur pulas.Sementara Risa yang sudah mengganti pakaiannya, berbaring di tempat tidur sambil memainkan ponsel, entah apa yang dia lihat di sana."Risa, dede sudah tidur," ucapku padanya. Dede adalah nama panggilan untuk bayi mungil ini."Tidurkan di box nya Bang, itu ada di dekat Abang," jawab Risa sambil menunju
Asrul Sakit ---"Rina ... Asrul sakit."Pesan Bang Nizar pagi itu, namun karena aku terlalu sibuk, pesan itu baru kubuka siang hari, dan langsung membuatku syok dan terkejut.Di bawah pesan tersebut, sebuah foto terpampang, entah foto siapa. Karena aku juga belum sempat mendownload nya.Ponselku hampir saja terlepas, ketika foto tersebut telah terdownload. Sosok yang begitu aku kenal, terbaring di atas tempat tidur.Namun, bukan itu yang membuatku jatuh dan luruh memeluk lutut. Buru-buru kuambil ponsel yang tergeletak di lantai.Mencoba meyakinkan pandangan mataku, dan berharap apa yang kulihat tadi adalah orang lain. Namun, semakin kutatap sosok dalam foto tersebut, membuat hatiku terasa nyeri, sakit.Bang Asul. Laki-laki yang pernah menjadi suamiku selama lima belas tahun itu tampak tak berdaya, di atas tempat tidur.Sosok yang pernah begitu kukenal itu kini begitu kurus, dengan mata cekung dan wajah tirus yang menonjolkan tulang wajahnya. Tak ada lagi kehidupan di sana.Tubuh yang
Ke Rumah Sakit---“Yang menyatukan dua hati selain cinta adalah, Rasa. Rasa saling memiliki dan menyayangi”-Marina----Aku berjalan cepat melewati lorong rumah sakit, salah satu ruangan yang dikatakan bang Nizar kemarin. Perasaan campur aduk kembali memenuhi kepala, kenapa aku begitu takut?Sementara itu, Rahma berusaha menjejari langkahku, kami berjalan cepat tanpa berkata apa-apa.Lalu kami berhenti di depan salah satu ruangan, perlahan kami mendekat. Dari balik kaca, saya melihat dokter memasang selang infus di tangan bang Asrul. Sementara itu, tubuh kurusnya tergolek tidak berdaya.Ada perasaan nyeri di dalan hati menyaksikan semua itu, melihat bagaimana tubuh tidak berdaya Bang Asrul tergolek di dalam sana, kutekan dadaku pelan, agar mengurangi rasa nyeri di dalam sana.Aku menoleh, ketika kulihat bang Nizar berjalan tergesa-gesa ke arah kami. Dia hanya tersenyum untuk menyapa, mungkin tahu, kalau saat itu aku sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja dan lebih memilih untuk d
Takut Kehilangan---“Kehilangan terbesar bukanlah kematian. Namun hilangnya komunikasi ketika masih bersama”-Marina-***"Rahma, berhentilah menggerutu, kita berdoa semoga bang Asrul segera sembuh," pintaku setelah kami berdua berada di dalam mobil."Kakak sabar banget ya, jadi orang? Kak Marina tidak dengar bagaimana tadi Risa memanggil kakak hanya dengan sebutan nama saja?" Rahma berkata sambil menatap lekat wajahku."Lalu, apa aku harus menjambak rambut Risa dan mencakar wajahnya, sehingga semua yang ada di rumah sakit jadi heboh? Lagipula, tidak ada keharusan dia memanggilku dengan sebutan kakak atau apa pun, meskipun aku lebih tua darinya," jawabku menanggapi ocehan Rahma."Ih, ya ga gitu juga lah, tapi setidaknya tadi Kak Marina bertindak tegas atas kelancangannya. Ga sopan banget dia," jawabnya dengan wajah yang ditekuk."Aku tahu, dan menurutku tidak ada yang salah kalau Risa hanya memanggilku dengan sebutan nama. Bukankah kami sekarang sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa
Derita Asrul---Aku masih menyeka tangan dan tubuh Bang Asrul, sambil membiarkan pikiranku berkelana entah ke mana. Menyusuri bayangan masa lalu yang datang silih berganti, saat tersadar, kudapati air dalam baskom sudah menjadi dingin. Lalu buru-buru aku mengganti air di baskom, dengan yang baru. Saat mengelap wajah dan tangan bang Asrul, terasa lengket sekali, jadi harus mengganti dengan air bersih. Entah sudah berapa lama bang Asrul tidak membersihkan tubuhnya."Bang Nizar, sejak kapan Risa pergi?" tanyaku pada bang Nizar yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya."Tak lama setelah kalian pulang," jawab bang Nizar singkat.Aku terpekur, menatap air dalam baskom. Pelan aku menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya pelan."Berarti sejak kemarin abang sendirian di sini?" Ucapku kemudian Aku berhenti mengelap tangan bang Asrul, dan merubah posisi dudukku, hingga menghadap bang Nizar. Sementara bang Nizar masih asik memandangi ponselnya."Iya. Seperti yang kubilang kemarin kan, ka
Menahan Emosi---“Hal tersulit dalam hidup adalah, ketika harus mengikhlaskan dan mengakui bahwa sesuatu yang hilang itu tak akan kembali lagi”-Marina-****Kutinggalkan Risa yang masih berdiri mematung di sana. Aku tidak lagi peduli apa yang akan dia lakukan pada Bang Asrul nanti, toh itu bukanlah urusanku, dan aku juga bukan siapa-siapa bagi Bang Asrul. Perasaan dongkol menyelimuti hati, ketika kaki berjalan menyusuri lorong rumah sakit. "Iya, aku memang bukan siapa-siapanya bang Asrul, hanya seorang mantan istri." Berkali-kali kuingatkan diriku sendiri tentang siapa diriku bagi mereka.Akan tetapi, saat ini sebenarnya bukanlah waktu yang tepat untuk meributkan siapa yang paling berhak atau paling berkewajiban untuk merawat bang Asrul yang sedang sakit.Walau merawat bang Asrul sebenarnya bukanlah tanggung jawabku, namun sebagai orang yang pernah dekat dengannya, aku tidak bisa membiarkan dirinya terbaring sendirian tanpa ada sanak saudara yang menemani dan merawat.Terlebih Risa
Hanya Mantan Istri ----Untuk beberapa saat, aku dan Rahma saling berpandangan. Rasa bimbang datang, antara ingin masuk ke dalam ruangan atau tetap menunggu di luar sambil menguping pembicaraan antara bang Asrul dan Risa."Kamu tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan."Terdengar Bang Asrul berkata lagi dengan lirih, namun bisa kudengar dengan jelas dari luar."Kamu ....!" Teriak Risa, dengan tangan yang diangkat ke atas, seolah hendak memukul bang Asrul.Aku dan Rahma spontan berlari masuk ke dalam ruangan. Tapi langkah kami terhenti tepat di depan pintu tatkala kulihat seorang dokter dan perawat berjalan ke arah kami.Kulihat, Risa buru-buru menurunkan tangannya ketika menyadari kehadiran kami.Risa melengos ketika kami mendekat ke pinggir tempat tidur, di mana bang Asrul terbaring. Mungkin dia mengira, aku langsung pulang saat dia datang tadi pagi. Melihatnya seperti itu, aku hanya bisa tersenyum kecut."Bagaimana keadaan Pak Asrul sekarang, apa sudah lebih baik?" tanya dokter
Pulang ke Rumah Nizar----Setelah pikiran menjadi lebih tenang, aku berniat kembali ke dalam ruangan di mana bang Asrul dirawat."Sebaiknya kita kembali masuk, aku takut Risa melakukan sesuatu pada bang Asrul," kataku pada Rahma.Aku menggamit tangan Rahma, untuk mengikutiku. Rahma mensejajarkan langkahnya dengaku, hingga kami berjalan beriringan."Sepertinya, bang Asrul menyembunyikan sesuatu dari Risa deh, Kak," ucap Rahma."Aku juga berpikir begitu, apalagi jika dilihat dari sikap Risa, yang seperti tak menginginkan kesembuhan bang Asrul," jawabku datar.Mungkin, jika tidak melihat sendiri, aku tidak akan percaya. Namun melihat tingkah Risa beberapa hari ini dan ucapan bang Asrul yang kudengar tadi, aku semakin yakin jika Risa tengah mengincar sesuatu, sementara bang Asrul tidak mau memberikannya. Tapi apa?Aku berusaha mengingat segala hal tentang Bang Asrul selama kami bersama dulu.Dan sejauh yang aku tahu, Bang Asrul bukan suami yang suka berbohong atau menyimpan sesuatu untuk