Takut Kehilangan---“Kehilangan terbesar bukanlah kematian. Namun hilangnya komunikasi ketika masih bersama”-Marina-***"Rahma, berhentilah menggerutu, kita berdoa semoga bang Asrul segera sembuh," pintaku setelah kami berdua berada di dalam mobil."Kakak sabar banget ya, jadi orang? Kak Marina tidak dengar bagaimana tadi Risa memanggil kakak hanya dengan sebutan nama saja?" Rahma berkata sambil menatap lekat wajahku."Lalu, apa aku harus menjambak rambut Risa dan mencakar wajahnya, sehingga semua yang ada di rumah sakit jadi heboh? Lagipula, tidak ada keharusan dia memanggilku dengan sebutan kakak atau apa pun, meskipun aku lebih tua darinya," jawabku menanggapi ocehan Rahma."Ih, ya ga gitu juga lah, tapi setidaknya tadi Kak Marina bertindak tegas atas kelancangannya. Ga sopan banget dia," jawabnya dengan wajah yang ditekuk."Aku tahu, dan menurutku tidak ada yang salah kalau Risa hanya memanggilku dengan sebutan nama. Bukankah kami sekarang sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa
Derita Asrul---Aku masih menyeka tangan dan tubuh Bang Asrul, sambil membiarkan pikiranku berkelana entah ke mana. Menyusuri bayangan masa lalu yang datang silih berganti, saat tersadar, kudapati air dalam baskom sudah menjadi dingin. Lalu buru-buru aku mengganti air di baskom, dengan yang baru. Saat mengelap wajah dan tangan bang Asrul, terasa lengket sekali, jadi harus mengganti dengan air bersih. Entah sudah berapa lama bang Asrul tidak membersihkan tubuhnya."Bang Nizar, sejak kapan Risa pergi?" tanyaku pada bang Nizar yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya."Tak lama setelah kalian pulang," jawab bang Nizar singkat.Aku terpekur, menatap air dalam baskom. Pelan aku menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya pelan."Berarti sejak kemarin abang sendirian di sini?" Ucapku kemudian Aku berhenti mengelap tangan bang Asrul, dan merubah posisi dudukku, hingga menghadap bang Nizar. Sementara bang Nizar masih asik memandangi ponselnya."Iya. Seperti yang kubilang kemarin kan, ka
Menahan Emosi---“Hal tersulit dalam hidup adalah, ketika harus mengikhlaskan dan mengakui bahwa sesuatu yang hilang itu tak akan kembali lagi”-Marina-****Kutinggalkan Risa yang masih berdiri mematung di sana. Aku tidak lagi peduli apa yang akan dia lakukan pada Bang Asrul nanti, toh itu bukanlah urusanku, dan aku juga bukan siapa-siapa bagi Bang Asrul. Perasaan dongkol menyelimuti hati, ketika kaki berjalan menyusuri lorong rumah sakit. "Iya, aku memang bukan siapa-siapanya bang Asrul, hanya seorang mantan istri." Berkali-kali kuingatkan diriku sendiri tentang siapa diriku bagi mereka.Akan tetapi, saat ini sebenarnya bukanlah waktu yang tepat untuk meributkan siapa yang paling berhak atau paling berkewajiban untuk merawat bang Asrul yang sedang sakit.Walau merawat bang Asrul sebenarnya bukanlah tanggung jawabku, namun sebagai orang yang pernah dekat dengannya, aku tidak bisa membiarkan dirinya terbaring sendirian tanpa ada sanak saudara yang menemani dan merawat.Terlebih Risa
Hanya Mantan Istri ----Untuk beberapa saat, aku dan Rahma saling berpandangan. Rasa bimbang datang, antara ingin masuk ke dalam ruangan atau tetap menunggu di luar sambil menguping pembicaraan antara bang Asrul dan Risa."Kamu tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan."Terdengar Bang Asrul berkata lagi dengan lirih, namun bisa kudengar dengan jelas dari luar."Kamu ....!" Teriak Risa, dengan tangan yang diangkat ke atas, seolah hendak memukul bang Asrul.Aku dan Rahma spontan berlari masuk ke dalam ruangan. Tapi langkah kami terhenti tepat di depan pintu tatkala kulihat seorang dokter dan perawat berjalan ke arah kami.Kulihat, Risa buru-buru menurunkan tangannya ketika menyadari kehadiran kami.Risa melengos ketika kami mendekat ke pinggir tempat tidur, di mana bang Asrul terbaring. Mungkin dia mengira, aku langsung pulang saat dia datang tadi pagi. Melihatnya seperti itu, aku hanya bisa tersenyum kecut."Bagaimana keadaan Pak Asrul sekarang, apa sudah lebih baik?" tanya dokter
Pulang ke Rumah Nizar----Setelah pikiran menjadi lebih tenang, aku berniat kembali ke dalam ruangan di mana bang Asrul dirawat."Sebaiknya kita kembali masuk, aku takut Risa melakukan sesuatu pada bang Asrul," kataku pada Rahma.Aku menggamit tangan Rahma, untuk mengikutiku. Rahma mensejajarkan langkahnya dengaku, hingga kami berjalan beriringan."Sepertinya, bang Asrul menyembunyikan sesuatu dari Risa deh, Kak," ucap Rahma."Aku juga berpikir begitu, apalagi jika dilihat dari sikap Risa, yang seperti tak menginginkan kesembuhan bang Asrul," jawabku datar.Mungkin, jika tidak melihat sendiri, aku tidak akan percaya. Namun melihat tingkah Risa beberapa hari ini dan ucapan bang Asrul yang kudengar tadi, aku semakin yakin jika Risa tengah mengincar sesuatu, sementara bang Asrul tidak mau memberikannya. Tapi apa?Aku berusaha mengingat segala hal tentang Bang Asrul selama kami bersama dulu.Dan sejauh yang aku tahu, Bang Asrul bukan suami yang suka berbohong atau menyimpan sesuatu untuk
Bang Asrul Tiada ---Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, kami sampai di rumah bang Nizar.Tampak istri bang Nizar menyambut kedatangan kami di depan pintu, dengan senyum ramahnya Aku memeluk istri bang Nizar, ada sedikit haru memuat hati. Karena, ini adalah pertemuan pertama kami sejak aku berpisah dengan banng Asrul.Karena dulu kami sering bertemu ketika ada acara keluarga ataupun acara kantor bang Asrul, di mana sering membawa keluarga masing-masing saat ada kumpul."Marina, apa kabar?" tanya istri bang Nizar sambil memelukku."Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Bagaimana kamu sendiri, Irma, bagaimana dengan si kecil?" tanyaku balik."Alhamdulillah, baik juga, mereka ada di dalam," Irma sambil menjawab menunjuk pada bayi yang sedang tidur pulas di dalam kotak bayi.Bang Nizar dan adik laki-lakinya, membantu bang Asrul masuk ke dalam kamar. Sementara itu, aku berjalan mendekati ke arah kotak bayi, dimana anak bungsu dari bang Nizar dan Irma tertidur.Kuelus pipinya lembu
Risa (1)----Hari itu, aku mendapat kabar dari Nizar kalau bang Asrul berada di rumah sakit. Dan bukan itu saja, Nizar juga menyempatkan untuk memaki diriku lewat telpon, dengan mengatakan bahwa aku adalah istri yang tidak tahu diri.Menurut dirinya, aku juga termasuk istri durhaka, karena meninggalkan suami ketika sedang sakit. Benar-benar menyebalkan sekali dia. Dia pikir dia siapa?Hanya karena berteman baik dengan bang Asrul, lalu bisa seenaknya memaki diriku. Tidak ingin berlama-lama mendengar ceramahnya, kumatikan telpon setelah mendapat alamat rumah sakit, di mana bang Asrul dirawat.Sebenarnya, ketika mengetahui bang Asrul masuk rumah sakit, ada sedikit rasa kasihan di hatiku dan ingin segera menjenguknya. Tapi buru-buru kutepis rasa itu. Bukankah ini yang aku tunggu selama ini? Jika Asrul sakit, maka tujuanku akan segera terlaksana.Pagi itu, setelah menitipkan Ara, anakku pada ibu, aku bergegas menuju ke rumah sakit. Namun dalam perjalanan, aku bertemu Hesti, teman SMA ku d
Risa (2)----Tiga bulan sebelumnya "Bang ... baju-baju ini disimpan di mana? Lemari di dalam kamar sudah penuh dengan baju Abang," Tanyaku pada bang Asrul, ketika kami pindah ke kontrakan yang baru.Sebuah rumah kontrakan yang lumayan besar, dan dekat dengan tempat kerja bang Asrul. Dan itu membuatku sedikit kesulitan.Karena baru kusadari, ternyata kami tidak memiliki banyak perabot untuk mengisi rumah ini. Terutama, menyimpan baju-baju kami, apalagi, bajuku sangat banyak.Sementara, di rumah ini hanya ada satu lemari kecil yang sudah agak usang yang ditinggalkan pemilik rumah."Simpan saja di situ, nanti kalau kita sudah beli lemari dan beberapa perabot lain, baru kita susun."Bang Asrul menjawab tanpa melihat ke arahku dan tetap melanjutkan mengepel lantai. Dengan sedikit kesal, kuhentakkan kaki sebelum berlalu meninggalkan bang Asrul.Aku memilih untuk masuk ke dalam kamar, dan merebahkan tubuh di atas kasur yang di gelar di atas lantai. Karena, kami memang belum memiliki ranjan