Sumini menatap pilu kepada Menik yang berjalan dengan dengan anggun menuju lelaki yang baru saja mengucap ijab kabul untuknya, semua menatap kagum kearah Menik dan tak seorangpun menghiraukan kehadirannya. Menik terlihat begitu bahagia hari ini, sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya kini. Dia merasa begitu kesepian diantara riuhnya undangan yang datang. Semua datang dengan rona bahagia bersama keluarga masing-masing, sedangkan dirinya hanya sendiri. Bahkan kehadiranya seolah tak ada yang menyadari. Sungguh dia menyesali keputusannya untuk datang ke acara ini, untuk apa? Hanya untuk menertawakan kemalanganya? Untuk menjadi saksi mereka yang sedang berusaha memamerkan kebahagiaan? Menik adalah manusia munafik baginya, semua orang menggaung-gaungkan kesetiaan yang dimiliki seorang menik, nyatanya apa? Kini dia lebih memilih untuk berbahagia bersama lelaki lain. Lelaki yang dulu begitu di cemburui suaminya, nyatanya benar, kini mereka bersatu dalam ikatan pernikahan bukan?
Seperti janji Tuhan, semua akan menuai sesuai apa yang sudah mereka tanam. Yang baik akan mendapat karma baik, sedangkan yang jahat akan mendapat karma buruk pula. Persis seperti yang tengah Menik dan Sumini alami saat ini.Hidup menik kini penuh dengan limpahan kebahagiaan, dia kini hidup bahagia, bersama orang yang mencintainya dan juga dia cintai. Lelaki yang hanya memandang dirinya sebagai satu-satunya wanita yang dipilih sebagai pendamping hidup, teman berbagi segala hal, dan juga lelaki yang benar-benar menjadikanya seorang Ratu. Anak-anak nya telah sukses dalam meniti karir dan Asmara. Wijaya Sukses mengembangkan perkebunan dibawah bimbingan Rudi. Jika sejak dulu kopi-kopi itu dijual begitu saja, kini Wijaya sudah memiliki sebuah pabrik yang mengolah kopi-kopi itu menjadi kopi bubuk yang siap seduh dan sudah memiliki brand. Kian hari usahanya itu kian berkembang pesat. Wijaya juga menikah dengan seorang wanita sholeha. Wanita sederhana bertutur lembut, yang mampu memikat hat
Jika boleh memilih, Sumini pasti akan memilih terlahir dikeluarga yang normal. Memiliki seorang bapak dan ibu, tak perlu hidup kaya rasa, sederhana pun tak mengapa asal cukup. Bisa bermain bersama bapaknya setiap saat, adalah impian terbesarnya ketika masih kecil. Mengadu bila ada teman yang usil, tempat berlindung dari omelan sang ibu. Dia penasaran bagaimana rasanya belanja bersama ibunya, lalu masak barsama dan menunggu seorang bapak pulang ke rumah dengan sambutan penuh cinta dan syukur. Namun nyatanya semua itu hanya hayalan. Nyatanya, seumur hidup dia tak pernah merasakan kasih sayang tulus dari seorang lelaki, entah itu ayah, kakek atau bahkan seorang suami. Dia tak pernah mengenal bagaimana rasanya memiliki seorang bapak. Hanya rasa iri setiap kali melihat tetangganya bermain bersama orangtua mereka, mengadu ketika dimarahi sangat ibu. Nyatanya sekalipun Sumini tak pernah dimarahi ibunya, karena Sumini selalu menjawab iya setiap apapun perintah sang ibu. Namun disaat kini
"Dimana aku?""Alhamdulillah mak, njenengan sudah sadar. Kita ada dirumah sakit mak, sekarang njenengan sedang diperiksa dokter."Sekar mengelus tanganya yang sudah keriput dengan lembut, seolah berusaha memberi kekuatan lebih kepada Sumini, tatapan matanya seolah menjelaskan bahwa dia tak lagi sendiri kini, wanita itu akan bersedia merawat nya. Namun ketika perasaan itu menghangatkan hatinya, justru rasa sakit luar biasa kembali menyerang kakinya. Baru dia sadari bahwa badannya kembali menggigil saking kuatnya menahan sakit luar biasa pada kakinya. Dia meringis merintih mengaduh kepada sang dokter. "Lutut saya sakit sekali dok, rasanya kaki saya juga sangat lemah, saya ini sakit apa to dok?"Sang dokter dan para perawat pun menatapnya dengan tatapan iba. Membuat hati Sumini dilanda kawatir dengan apa yang akan disampaikan sang dokter. Hatinya berdegup dengan kencang. Dia yakin Tuhan tak mungkin sejahat itu kepadanya, semua akan baik-baik saja. Dia tak memiliki siapapun, dia harus
Hari Raya idul fitri adalah hari dimana yang dikota kembali ke desa, yang merantau pulang kepada keluarga, para anak berduyun-duyun mengunjungi orang tua. Bahkan pemakaman pun ramai oleh peziarah dengan bunga setaman yang mereka taburkan diatas gundunkan tanah. Namun berbeda dengan Sumini, hari Raya idul fitri justru menambah sesak didadanya menahan nelangsa yang tak berkesudahan. Siapa yang dia nanti? siapa yang dia tunggu? Satu-satunya keluarga yang masih mau peduli terhadapnya adalah Wijaya dan Sekar, namun hari Raya seperti ini yang pada umumnya mereka yang dikota kembali ke desa untuk merayakan bersama keluarga. beda hal dengan Wijaya dan Sekar, mereka justru memilih merayakan dikota, karena semua keluarga mereka ada disana, menyisakan dirinya yang terkungkung sepi, sendiri. Sumini sudah mandi dan berganti dengan busana terbaiknya sedari pagi. Meski dengan keterbatasan, namun dia masih bisa melakukan semua kegiatan seperti biasa diatas kursi roda. Sumini bahkan nyaris tidak mem
Pov Alina. "Jadi seperti itu bu masa lalu mbah Sum? Jahat juga ya, pantas saja masa tuanya seperti itu!"Aku tak menyangka mbah Sum dimasa lalu adalah seorang wanita yang begitu jahat, sehingga mampu menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisinya. Ibu tersenyum mendengar pernyataanku, dan aku justru bingung."Bararti kamu tak bisa menangkap maksut dalam cerita ibu tadi, fikiran kamu terpusat pada siapa dicerita ibu tadi?""Mbah Menik""Bukankah awalnya kamu ingin tahu tentang mbah Sum? Apa yang kamu tangkap tentang cerita mbah Sum? " Seorang perebut suami orang yang berhati jahat, yang menghalalkan segala cara demi tercapainya sebuah ambisi!" Jawabku berapu-api. "Benar, tapi bukan itu maksut yang ingin ibu sampaikan dalam cerita barusan. Mbah Sum itu pada dasarnya orang baik nduk, dia berbuat jahat itu karena memang tidak pernah diarahkan kearah yang benar oleh orangtuanya. Bahkan, justru sang ibu lah yang menjadikan mbah Sum sebagai boneka untuk mencapai tujuanya, namun mbah S
Menik dan keluarga datang setelah proses pemakaman selesai. Begitu sampai, mereka langsung menuju kerumah Sumini. Disana sudah terlihat sepi, hanya Darso Darsih dan Alina yang terlihat sibuk sedang membersihkan rumah Sumini. "Assalamu'alaikum""Walaikumsalam, bulek Menik, monggo-monggo, alhamdulillah njenengan mpun dateng, dhospundi bulek perjalanan, lancar?""Alhamdulillah Sih lancar, oh Iyo Sih pie critane mbak Sum? Kok mendadak sekali? Maaf ya sih aku telat, kamu jadi kerepotan""Halah, bulek ini bicara apa, sudah kewajiban kita sesama muslim to ngurusin jenasah saudaranya, lagian para tetangga semuanya juga datang bulek buat bantuin.""Iya iya, alhamdulillah kalau begitu. Memang ceritanya gimana to sih, kok bisa mbak Sum tiba-tiba ngak ada seperti itu, aku tadi dikabari Wijaya juga kaget. Untungnya masih ada tiket untuk penerbangan hari ini, kita langsung ambil Sih, tapi maaf Astutik nggak bisa ikut, anaknya masih kecil, kerjaanya juga ngak bisa kalau minta cuti mendadak""Iya bu
Pov Wijaya. Entah apa yang menggerakkan kakiku sehingga begitu ringanya melangkah ke areal pemakaman ini. Padahal selama ini aku sangat jarang berkunjung ke makam, sekalipun itu makam bapak. Bagiku bapak akan lebih membutuhkan doa ku dibanding dengan kunjungan, toh meskipun aku datang kita juga tak bisa bercengkrama. Namun hari ini aku begitu ingin datang kemari, tempat dimana disemayamkan jasad seorang wanita yang dulu pernah sangat aku benci. Berbeda dengan makam yang lain yang penuh dengan taburan bunga dari para keluarga yang datang untuk mendoakan, sudah menjadi tradisi bahwa menjelang ramadhan seperti ini pihak keluarga akan datang mengunjungi makan lalu tabur bunga sekaligus membersihkan areal makam yang mungkin hanya setahun sekali mereka kunjungi. Tempat dimana orang yang mereka cintai terbaring dibawahnya. Namun berbeda dengan makam mak Sumini, begitu dulu aku memanggilnya, ketika wanita itu masih sebagai sahabat ibu. Lalu setelah dia menikah dengan bapak, tak pernah l