Tanpa pikir panjang, Arjuna pun turun. Dan, langsung mengikuti langkah Teddy, yang kebetulan mobilnya terparkir di luar. Jarak kantor Arjuna dengan Bandara Soekarno Hatta sangatlah jauh. Menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, itupun kalau tidak ada halangan."Saya hanya bisa bilang sabar sama bapak, in syaa Allah semoga ibu baik-baik saja, dan selamat," ucap Teddy yang menjabat sebagai manajer divisi keuangan."Terima kasih."Tak banyak pembicaraan di antaranya. Dalam perjalanan, Arjuna tak putus memantau lewat siaran langsung melalui ponselnya. Sedangkan, Teddy fokus mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi tapi cukup stabil. Apalagi setelah masuk jalan tol. Menuju area bandara, semakin dipadati lautan manusia. Terlebih setelah kasus pesawat tergelincir dan terbakar itu.Arjuna berlari sekuat tenaga setelah mobil berhenti di parkiran. Tak sabar rasanya ingin mengetahui kondisi Shanti. Tentu saja sebagai anak Bram berharap, Shanti selamat dan tak kurang satu apapun.Lobby bandara
Setelah diberi pengertian, Devina pun akhirnya mengalah untuk tidak jadi berlibur ke Bali."Ma, kok nggak dimakan? Padahal rendang dagingnya enak lho," celetuk Devina heran, kala melihat tangan Ratna tak menyentuh nasi yang ada di piring."Mama kepikiran sama mamanya Oom Arjuna, Na. Yang diberitakan baru nama beberapa korban yang selamat," sahut Ratna dengan tatapan kosong."Nana juga sedih dengarnya.""Iya, Nana habiskan dulu makannya, ya. Abis itu belajar, besok 'kan ujian lagi.""Baik, Ma."Sudah satu jam berlalu, Arjuna belum juga mengabari Ratna, pun berita yang disiarkan, masih memberi tahu korban yang selamat dari insiden kecelakaan pesawat itu. Korban yang selamat ada yang mengalami luka berat dan ringan. Dan, para korban sudah dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diberikan pelayanan pertama.Sedangkan, korban yang dinyatakan meninggal dunia sudah dievakuasi sebanyak sepuluh orang. Namun, ini menunggu hasil otopsi terlebih dahulu.Ratna yang tak bisa membendung gelisahnya pun
"Tolong … hok … hok ….""Tolong ….""Saya disini, terjebak." Terdengar suara parau disela asap yang masih saja berkeliaran di bangkai pesawat."Arjuna … tolong mami …."Dengan sisa tenaga yang dipunya, Shanti tanpa lelah terus menyeru meminta tolong. Dalam pikirannya, dirinya sudah menyeru sekeras mungkin, padahal kenyataannya sama sekali tak terdengar. Belum lagi suaranya pelan dan parau itu terkalahkan oleh suara hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk di luar. Menyelamatkan para korban yang sempat lolos dari kobaran api."Ya Allah, beri hamba kesempatan," rintihnya berderai air mata. Wajah cantik nan glowing tak berbentuk. Beberapa sisi penuh luka, darah yang seharusnya merah tak ditemukan di wajahnya, sudah bercampur dengan sisa bakaran bangkai pesawat.Shanti benar-benar tak berdaya, lebih dari enam jam menahan sakit, akibat terperangkap, terjebak di bawah bangku bagian depan."Mami disini Arjuna …."Di bagian depan pesawat para tim SAR masih menjajaki bangkai pesawat yang sudah berha
Shanti tampak susah payah membuka matanya. Awalnya blur perlahan menjadi terang."Dimana saya?" rintihnya menahan sakit, seraya menoleh ke kanan ke kiri. Menyisir pandangan yang terbatas karena ditutupi dengan tirai pemisah. Detik kemudian, barulah Shanti sadar jika dirinya selamat dari ajal. Dan dia …"Alhamdulillah Ya Allah, atas pertolonganmu," ucapnya bersyukur. Dalam rasa syukurnya, Shanti mencoba mencari tahu anggota bagian tubuhnya yang mana nyeri hebat. Dia menggerakkan kedua tangan, meraba wajahnya, akan tetapi tak ditemukan satupun perban di sana. Hanya terasa perih karena beberapa titik di wajahnya itu baret-baret kecil.Namun, saat mencari bagian mana yang perih, barulah Shanti sadar jika bagian pinggang hingga ujung kakinya tak bisa digerakkan."Toloooong …," pekiknya menggelegar."Dokteeeerrr … Susteeeeerrr … tolooong …."Mendengar suara histeris Shanti, salah satu perawat pun berlari ke sumber suara."Ibu sudah sadar," ucap sang perawat dengan napas tersengal-sengal."K
Saat Shanti menarik-narik dengan kuat, tiba-tiba perawat datang membuat sebuah suntik yang sudah berisi cairan, dan menyuntikkan obat tersebut ke bahu kanan Shanti. Dan, beberapa detik kemudian, obat tersebut langsung bekerja. Shanti yang tadinya begitu tempramen, tampak tenang "Semoga obat ini bisa membuat pasien lebih tenang dan bisa juga beristirahat," ucap dr. Salsa."Banyak-banyak berdoa ya, Bu. Semoga Allah berikan ibu kemudahan dan kelapangan hati. Sekarang ibu istirahat."Shanti mengangguk pasrah, tak lagi berontak seperti tadi."Saya tinggal dulu." Dr. Salsa dan perawatnya bersamaan meninggalkan Shanti."Identitasnya juga tidak ada bu. Harusnya kita sudah bisa lapor," ucap perawat."Harusnya begitu, hanya saja, ketenangan pasien tersebut lebih diutamakan saat ini. Jangan sampai dia depresi berat." Kemudian, keduanya berpencar sesuai tugas masing-masing.Kurang lebih tiga puluh menit merasa tenang, Shanti pun tertidur. Jika tidak ada kondisi lain, Shanti bisa tudur dengan pul
"Nanti kami jelaskan jika bapak sudah di sini," sahut perawat singkat dan detik kemudian perawat tersebut berpamitan untuk menutup telepon.Dibalik leganya mendengar maminya selamat maut, sisi lain yang tak bisa diredam, debar jantung Arjuna semakin tidak karuan. Terbayang sudah hal paling buruk di benaknya."Tidak … Tidak … Jangan sampai hal buruk itu terjadi," gumamnya menepis bayangan buruk tadi."Yang penting mami selamat."Arjuna membangunkan Pak Sobri yang ternyata sudah terlelap tak lama mereka saling mengelak untuk tidak beristirahat."Pak … Pak … bangun …!" Arjuna memukul pelan bagian kaki Pak Sobri, akan tetapi lelap yang menyelimuti tak mampu membuat Pak Sobri terjaga.Dia mengulang memanggil hingga tiga kali banyaknya, tetap saja tak membuahkan hasil.Akhirnya, Arjuna memutuskan untuk bangkit dari sofa, bertolak ke kamar mandi untuk cuci muka. Kemudian, dia ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Tidak mungkin sekali terbang ke Jogja dalam keadaan kumal dan bau keringat seper
Belum sempat terlontar pertanyaan dari mulut Arjuna setelah melihat secara langsung keadaan Shanti, sang perawat sudah langsung mengambil sikap."Mari ikut saya, Pak. Ada dokter yang lebih berkompeten menjelaskan."Mbak, Anda itu sengaja membuat saya semakin panik, ya? Kenapa saya nggak dari tadi dipertemukan dengan dokternya. Kalau begini sama saja buang energi saya. Kini suara Arjuna sudah mulai sedikit lantang.Kurang tidur, belum makan, ditambah lagi diperlakukan seperti itu membuat Arjuna tak bisa lagi sabar menghadapi situasi.Tahu keluarga pasien yang ditanganinya itu semakin panik hingga mengeluarkan suara yang lebih vokal, perawat itu pun meminta maaf."Maaf, Pak. Bukan berniat membuat keruh dan panik, tapi biarlah yang kompeten menjelaskan ke bapak. Saya tadi begitu, biar bapak nggak shock saja. Sekali lagi saya minta maaf."Perawat itu mengetuk pintu ruangan dokter yang menangani Shanti."Permisi, Dok." Disertai dengan ketukan pintu."Anak dari pasien atas nama Ibu Shanti s
"Anak ibu sudah sampai di sini, sekarang sedang sarapan di kantin," jelas perawat.Tadi, saat berpapasan di dekat IGD, Arjuna sempat berpesan pada perawat."Mbak lagi nggak bohongin saya 'kan?""Mana mungkin saya bohong, Bu. Selepas saya mint nomor hapenya sama ibu, saya langsung hubungi."Mata Shanti yang tadinya penuh kecewa, berubah berbinar karena haru."Suruh dia kesini, Mbak! Saya nggak sabar ingin bertemu." Shanti memegang tangan perawat itu dengan tatapan penuh harap."Iya, akan saya telepon, tapi ibu harus semangat buat sembuh, biar kita sama-sama klop berjuangnya, gimana?""Iya, saya janji."Perawat itupun merogoh ponsel dari saku bajunya, kemudian menghubungi Arjuna melalui ponsel pribadinya."Halo, Pak. Saya ingin memberitahu jika ibu sudah bangun.""Oh, oke. Saya segera kesana."Detik itu juga Arjuna langsung membayar dan bertolak ke ruangan IGD. Dalam hatinya jelas tak sabar ingin segera bertemu Shanti."Miii …," panggilnya seraya menyibak tirai.Shanti menoleh bersamaan